Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di Bontang

Sejak karyawan bechtel membangun proyek lng di bontang, kal -tim, berdatangan pula wts-wts. pihak keamanan telah membentuk tim pengelola untuk mencegah masalah tersebut. (dh)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan cerita dalam film. Tapi kejadian di daerah Bontang, pantai timur Kaltim yang kaya minyak itu. Sejak Bechtel membawa ribuan karyawan untuk membangun proyek LNG di sana, berdatangan pula WTS-WTS mencari mangsa. Dan sementara Bechtel mengusahakan penyelesaian garapannya, ada pula yang mengusahakan komplek WTS. Rupanya cukup laris juga hingga dipandang perlu menambah WTS-WTS baru. Tiga orang gadis asal Surabaya, bulan lalu termasuk yang nyaris terperosok ke "pasar cinta" itu. Pada mulanya tiga gadis tersebut bernama W, S dan R -- didatangi seorang dengan cara baik-baik. Mereka yang baru tamat SMP, SMEA dan PGA itu ditawari pekerjaan sebagai tukang cuci dan tukang masak di Bontang dengan gaji Rp 75.000/bulan. Jumlah gaji yang menggiurkan di tengah-tengah sulitnya mencari pekerjaan itu tampaknya cukup membuat mereka untuk memutuskan segera berangkat. Orang tadi mengantarkan mereka sampai ke kapal tanpa diketahui siapa nama dan di mana rumahnya. Yang jelas, sesuai dengan perjanjian, mereka diterima oleh seseorang yang tak dikenal di pelabuhan Balikpapan. Dari situ mereka langsung dibawa ko Bontang untuk segera dipekerjakan. Tetapi betapa terkejut mereka ketika pengusaha tadi membawanya ke komplek WTS. Tentu saja mereka tak mau. Cukup sudah mereka bertengkar dengan sang germo tapi apalah daya wanita. Merekapun disekap di kamar tahanan yang sengaja dibikin untuk mengurung korban-korban yang bandel. Tiga hari sudah mereka menderita, tapi sang germo belum juga berhasil membujuk mereka untuk menjadi pelayan hidung belang. Malam ke empat, ketika orang sudah hampir tidur mereka bertiga berhasil keluar dari kurungan dan lari ke pelabuhan. Untung saja di pelabuhan kecil itu sedang ada perahu ketinting (3 PK) yang dikemudikan Nanang yang akan meninggalkan daerah itu ke Bontang-kota. Karena si Nanang tak keberatan, merekapun naik ke perahu. Dasar sial, ketika perjalanan belum dapat separoh, mesin ketinting rusak. Cukup sudah Nanang berusaha menghidupkannya tapi tak juga berhasil. Padahal malam itu sangat kelamnya. Posisi perahu pun berada di pinggir pantai yang lebat dengan hutan rumbia. Nanang membujuk ketiga dara itu untuk ikut kembali ke daerah semula sambil mendayung perahu, namun mereka berkeras tak mau. Mereka takut kalau sang germo siap menghadang dengan kemarahan. Mereka memilih diturunkan di pantai terdekat meskipun di pantai itu hanya berupa rimba rumbia. Nanang mengingatkan akan banaya yang mengancam mereka kalau turun di hutan itu, namun mereka lebin takut kepada germo. Walhasil Nanang menurunkan mereka di hutan rumbia itu disaksikan oleh gelapnya malam. Menjelang subuh, Nanang sampai kembali di pelabuhan dekat kompleks WTS. Dan benar, ia dituduh melarikan ketiga gadis tersebut. Untunglah Nanang segera mendapat perlindungan dari seorang brimob yang ada di sana. Kasbon Siang harinya, kebetulan rombongan camat meninjau kawasan itu. Maka si Nanang pun melaporkan kejadian semalam dengan maksud turunnya sebuah pertolongan. Mendengar laporan Nanang camat Yusran Zafrie segera minta pihak keamanan mencari gadis malang itu. Tapi sayang sang gadis sudah tak lagi diketemukan di tempat semula. Rupanya mereka telah memasuki hutan rimba itu tanpa tahu arah tujuannya. Baru esok harinya lagi polisi menemukan mereka yang terduduk kelelahan di bawah sebuah pohon dalam hutan. Bajunya juga sudah kelihatan compang-camping dijawil ranting-ranting dahan. Melihat kedatangan polisi itu mereka masih berusaha lari, namun karena kelelahan akhirnya berhasil dikejar dan dibawa ke kecamatan. Beberapa hari kemudian pemerintah kecamatan memberi sangu mereka untuk kembali ke Surabaya lagi. Rupanya turun tangan berwajib hanya sampai di situ. Buktinya "pedagang wanita" yang mendatangi kejadian serupa itu tetap tenang-tenang saja, tanpa mendapat tindakan yang tegas. Ini tentu dapat dimaklumi. Sebab petugas-petugas di kawasan itu kabarnya enggan menghadapi germo yang mendapat julukan killer itu. Baru sebulan kemudian dibentuk team pengelola yang diketuai Dan Ramil setempat. Langkah pertama team juga sudah mulai tampak: yakni memungut bayaran bagi pengunjung yang memasuki komplek @ Rp 100. Dari retribusi zinah ini kabarnya berhasil dikumpulkan uang Rp 30 hingga 40.000/malam. Ini berarti hampir separoh penduduk di sana -- 5.000 di antaranya karyawan Bechtel -- menjadi langganan. Khusus bagi karyawan LNG itu konon biar tak berduit bisa saja menikmati WTS asal dihitung dalam kasbon. Nah, akhir bulan mereka melunasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus