BETERNAK sapi secara tradisionil memang sudah lama dilakukan
penduduk Kalimantan Selatan. Tentu saja, tak begitu membawa
banyak hasil. Sebab bobot dagingnya, tak seperti sapi-sapi
kereman yang dipelihara secara layak. Sebab dengan cara
tradisionil, hewan-hewan yang dipelihara untuk diambil dagingnya
itu, dibiarkan berkeliaran di hutan dan lembah-lembah
perbukitan. Bila pemiliknya butuh duit buat kenduri atau
keperluan lain barulah ditangkap untuk dijual. Makanannya berupa
ilalang liar. Sedang buat memperoleh ilalang muda dan segar,
para peternak biasanya membakarnya di akhir musim kemarau. Agar
di musim penghujan tiba, ilalang muda bisa muncul. Wajar bila
hewan-hewan ternak tersebut punya tubuh seadanya pula: kerempeng
dan berdaging tipis.
Cara beternak yang kurang menguntungkan tersebut pernah
merisaukan Yusri Kaderi, Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah
Laut (Peleihari). Di tahun 1960-an ia pernah mencoba mengubahnya
dengan cara membuat perkebunan rumput di kawasan'tempat
kerjanya, Tambang Ulang. "Saa mula-mula ditertawakan orang.
Bahkan ada yang mengira, saya sudah sinting", tutur Yusri, yang
beberapa tahun kemudian, di 1971, usahanya ternyata mendapat
sambutan dunia peternakan di sana. Kebunnya yang semula cuma
beberapa Ha, membiak jadi sekitar 173 Ha. Dan kini usahanya
dilanjutkan R. Paidi, petugas penggantinya. Tak kurang dari 14
buruh lepas ikut menggarap. Hingga biaya mahal pun tak
terhindarkan, Rp 50 ribu per Ha. Apalagi bibitnya mesti
didatangkan dari Brazilia dan Australia. Menurut Paidi, rumput
jenis Arundinella Nephalensis dan Stylosanlthe Guyanensis
terpandang sebagai unggul. "Tahan panas. Meski dilalap api, toh
masih bisa tumbuh lagi, malah tambah subur", tutur Paidi
membanggakan percobaan-percobaannya. Keistimewaan lainnya: 2
jenis rumput itu dapat mematikan ladang". Cara menanamnya semula
distek, tapi kemudian dengan biji, karena lebih praktis.
Harganya bibit biji itu Rp 3000 per kg.
Subardjo
Meski begitu, usaha tersebut mendapat dukungan ir. Endjang
Manshur dari Dinas Peternakan Propinsi, yang juga menggarap
proyek serupa di wilayah kerjanya. Tahun depan ia akan mengimpor
sedikitnya 8 ton bibit rumput itu. Dan membuka 168,47 Ha
perkebunan baru. Juga Gubernur Subardjo menyambut proyek jenis
ini dengan menggalakkan peternakan sapi dengan Imban Ranchnya.
Kiriman 10 ekor sapi Unggul luar negeri jenis Sinta dan Brahman
hadiah Presiden Suharto, tentu saja disambut senyum hangat
Subardjo. Bahkan H. Yusus, Kepala Dinas Peternakan Kodya
Banjarmasin, secara emosionil sesumbar: "Akhir Pelita II nanti,
Kalseltak mengimpor sapi potong lagi".
Bukan tak bisa dipercaya. Sebab yang terlihat sekarang ialah
kesibukan mengimpor bibit rumput. Terutama buat usaha peternakan
yang besar-besar seperti Imban Ranch, Atu At Ranch dan Artha
Ranch yang punya luas kebun rumput 300, 20 an 75 Ha. Sementara
peternak-peternak kecil seperti Pengaron di Manunggal (Kabupaten
Banjar) Sungai Raya (Hulu Sungai Selatan) Maburai, Tanta
(Kabupaten Tabalongj, cukup mengambilnya dari perkebunan besar
tadi.
Namun sebegitu jauh belum terlihat usaha tersebut memancing
cara-cara peternakan di Kalsel. Sebab seperti diakui ir. Endjang
Manshur, "usaha kereman sapi di Kalsel belum dapat ditrapkan,
karena faktor rumput dan pembiayaan". Tampak pula kesadaran
meningkatkan bobot sapi dengan rumput yang cukup belum merata di
kalangan para peternak. Berarti usaha yang dirintis Yusri Kaderi
dan kini digalakkan ir. Endjang Manshur itu masih belum mendapat
pendukung secara merata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini