Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATRICK Magee, 35 tahun, melenggang masuk Grand Hotel di Kota Brighton, kota wisata di Inggris bagian tenggara, September 1984. Kepada petugas penerima tamu, lelaki berkumis tebal ini mengaku bernama Roy Walsh. Ia memesan kamar dan selama tiga hari menginap di ruang 629.
Patrick bukan tamu biasa. Ia milisi Tentara Pembebasan Irlandia Utara (IRA) yang tengah mempersiapkan aksi maut membunuh Perdana Menteri Inggris Margaret Hilda Thatcher. Kala itu konflik Inggris-Irlandia sedang panas-panasnya.
Patrick menyelundupkan bom waktu seberat 15 kilogram dan menanamnya di balik dinding kamar mandi. Tak seperti pelaku bom di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Jumat dua pekan lalu, Patrick bukan pengebom bunuh diri. Setelah menyetel timer, ia hengkang. Bom dirancang meledak 24 hari kemudian, tepatnya 12 Oktober 1984.
Itulah hari terakhir musyawarah tahunan Partai Konservatif yang berlangsung empat hari di sebuah gedung di Kota Brighton. Margaret Thatcher dan sejumlah menteri meng inap di hotel yang telah dipasangi alat peledak.
Pada hari yang direncanakan, 12 Oktober, pukul 02.40 pagi, Thatcher tengah menyusun naskah pidato yang akan dibaca sang wanita besi beberapa jam kemudian di kamar suite tempatnya menginap. ”Sebuah pidato yang baik tidak bisa ditulis jauh-jauh hari,” kata Thatcher dalam biografi nya, The Downing Street Years, yang terbit pada 1993. Setelah pidatonya rampung, ia masih pula memelototi dokumen tentang rencana festival kebun di Liverpool, Inggris.
Beberapa detik setelah itu, pukul 02.54, bum…, ledakan keras terdengar. Sebagian gedung runtuh seketika. Kaca jendela suite itu pecah bertebaran di atas karpet. Dalam bukunya, Thatcher menulis, ”Saya pikir itu bom mobil yang meledak di luar.”
Bom meledak beberapa lantai di atas kamar Thatcher. Sang Perdana Menteri selamat meski bom sempat merusak kamar mandi. Bagian tengah hotel runtuh hingga tingkat delapan. ”Teroris salah menaruh bom,” kata Thatcher dalam biografinya. Ia, suaminya, dan anggota kabinet selamat, tapi lima petinggi partai tewas. Patrick belakangan ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup. Ia dibebaskan pada 1999 menyusul penandatanganan traktat damai IRA dan pemerintah Inggris.
Aksi pengeboman dengan menyelundupkan bom ke lokasi juga terjadi di Burma, 9 Oktober 1983. Targetnya Presiden Korea Selatan Chun Doo hwan, yang sedang berkunjung ke Ibu Kota Rangoon. Chun dijadwalkan menghadiri upacara peringatan pahlawan di Monumen Martir. Dua puluh satu orang tewas di lokasi, termasuk empat menteri Korea Selatan. Tiga bom dipasang di atap monumen, tapi cuma satu yang meledak.
Menggunakan sinyal radio sebagai pemantik, peledakan itu ditengarai prematur karena pelaku mengira Presiden Chun sudah tiba di lokasi. Padahal kendaraan Chun terlambat datang karena macet. Dua hari setelah ledakan, polisi Burma menangkap tiga warga Korea Utara yang mengaku diperintah intelijen negaranya untuk menghabisi Chun. Hubungan Korea Selatan dan Korea Utara ketika itu sedang buruk-buruknya pascaperang saudara kedua negara.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo