Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT berlogo kepresidenan itu sampai di tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, 7 Desember lalu. Di bawahnya ada pula carbon copy kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bertuliskan memorandum di kepalanya, memo bernomor R001 itu berklasifikasi rahasia. Pengirimnya orang nomor satu di republik ini: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nota kepada dua menteri Kabinet Indonesia Bersatu berisi tiga poin singkat. Pertama, menjelaskan dasar dikeluarkannya memo itu yakni permintaan lisan Wakil Presiden pada 6 Desember 2006 kepada Presiden soal penyelesaian 10 helikopter yang didatangkan dari luar negeri untuk kepentingan bencana alam. Kedua, para menteri ini diperintahkan agar menyelesaikan proses perizinan dan administrasi atas 10 helikopter itu. Ketiga, mereka diminta berpedoman pada undangundang dan peraturan yang berlaku.
Memo biasa? Tidak juga. Lebih dari sekadar perintah rutin Presiden kepada menterinya, memo itu menyiratkan kemelut tersembunyi antara Wakil Presiden, Presiden, dan kedua menteri—terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebuah kisruh yang membuat Wakil Presiden langsung menekuk wajah jika soal ini ditanyakan kepadanya.
Kemarahan Kalla berkaitan dengan penyegelan petugas Bea dan Cukai, badan di bawah Departemen Keuangan, terhadap 10 heli BO 105 asal Jerman di bandar udara Talang Betutu, Sumatera Selatan, 11 November 2006. Alasannya, capung besi itu menunggak pajak impor Rp 2,1 miliar. Wakil Presiden yang juga Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas) menganggap Bea Cukai kelewat kaku: heli yang tengah dipakai untuk memadamkan kebakaran hutan di Sumatera itu dibeslah untuk urusan yang ”sepele”. ”Ini apa? Mau pilih api padam atau pilih prosedur!” kata Kalla seperti ditirukan sumber Tempo di Istana Wakil Presiden, ketika tahu capung besinya ”dikunci”.
Karena jengkel itulah Kalla lalu menemui Yudhoyono dan lahirlah memo rahasia tersebut. Soal surat itu, sekretaris pribadi Presiden Kurdi Mustopa memilih tak bicara. ”Saya nggak tahu,” katanya. Sri Mulyani pun mengunci bibir. ”Wah, kalau soal itu, entar aja deh,” katanya kepada Anton Aprianto dari Tempo, awal bulan lalu.
SEBELUM tersesat dalam labirin persoalan, mari kita urut cerita ini dari awal. Pada September 2005, kebakaran hebat melanda hutan di Sumatera serta Kalimantan, dan asapnya membubung hingga Malaysia, Singapura, dan Thailand. Pemimpin ketiga negara protes karena Indonesia dianggap tak becus menangani petaka itu.
Presiden Yudhoyono lalu memerintahkan kebakaran hutan dihentikan. Apalagi tak lama lagi ia akan menghadiri pertemuan Negara Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan Konferensi Tingkat Tinggi Asean. Yudhoyono kabarnya marah besar ketika beberapa menteri bergurau di rapat kabinet. ”Ada bencana asap begini kok kalian masih tertawatawa,” kata Presiden seperti ditirukan seorang sumber.
Di tempat yang lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla melihat kebutuhan Indonesia akan helikopter sebagai peluang. Apalagi saat itu sebagian Indonesia baru saja dihumbalang tsunami. Indonesia membutuhkan banyak helikopter.
Kalla mengaku kapok dengan bantuan asing. Kata seorang kepercayaannya, Wakil Presiden sebal karena bantuan 70 negara asing di Aceh terpakai untuk ongkos sewa pesawat. Australia, yang memberikan bantuan US$ 10 juta, 80 persennya kembali ke ”kantong” mereka karena soal pesawat itu (Tempo, 26 November 2006).
Maka, pada awal 2005, Jusuf Kalla secara informal meminta Iwan Hardja mencari helikopter yang ”murah tapi bermanfaat”. Iwan, 55 tahun, adalah mantan karyawan PT Bukaka Teknik Utama dan selama seperempat abad mengabdi pada perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu.
Iwan segera bergerilya dan mendapat informasi bahwa di Bavaria, Jerman, Vebeg—perusahaan pelelangan barang bekas milik pemerintah Jerman—memiliki heli BO 105. Murah meriah. Harga satu heli ”cuma” US$ 300 ribu (sekitar Rp 2,7 miliar). Ini sudah plus tetekbengek ongkos kirim. Jumlahnya pun puluhan.
Harga ini kabarnya bahkan di bawah harga pasaran heli bekas di dunia yang mencapai US$ 1 juta. Juga lebih murah daripada heli BO 105 baru buatan PT Dirgantara Indonesia yang dilego US$ 2 juta sebiji. Barang apkiran tentara Jerman ini pun masih mulus. Jam terbang heli yang dibuat antara 1981 dan 1987 ini baru 3.000—jauh di bawah batas pakai 20 ribu jam terbang untuk kemudian turun mesin.
Sempat terdengar kabar, sebelum dijajakan ke Bakornas, heliheli itu hendak dijual ke pihak lain. Departemen Pertahanan, misalnya, pernah diundang berkunjung ke Jerman untuk menengok heli tersebut. ” Itu heli militer yang digrounded karena suaranya bising,” kata Sekretaris Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin kepada Tempo, Desember lalu. Tapi rencana ini batal karena pihak Jerman menolak jika helikopternya digunakan untuk kepentingan militer. Departemen Kehutanan pernah pula ditawari, tapi tak jadi karena dinilai pemerintah tak punya pengalaman mengurus pesawat.
Pilihan paling masuk akal adalah menjual 12 dari 40 heli yang direncanakan itu kepada Bakornas. Mestinya semua berlangsung mulus karena Ketua Bakornas adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri.
Maka diangkatlah Iwan menjadi utusan khusus Bakornas, Juni 2005. Dua bulan kemudian, 10 heli sudah dikapalkan ke Indonesia. Dua heli lainnya menyusul pada awal November. Soal fulus jangan khawatir. Kata Iwan, duit US$ 2,5 juta atau sekitar Rp 22,5 miliar ia peroleh dari konsorsium Urban Sky Corporation, yang bermarkas di British Virgin Islands. ”Siapa saja para penyandang dananya, saya tidak berani buka. Mereka bisa ngomel,” kata Iwan Hardja kepada Tempo, November lalu.
Untuk membayar heli bekas tersebut, Sekretaris Bakornas Gembong Priyono pada November 2005 mengirim surat ke Menteri Keuangan, yang ketika itu adalah Jusuf Anwar. Intinya, ia minta disediakan duit Rp 84 miliar untuk membeli 28 helikopter. Tapi Jusuf Anwar tak merespons. Pada Oktober 2006, permintaan itu diulang tapi dengan jumlah yang lebih kecil: Rp 60 miliar. Departemen Keuangan, lagilagi, tak membalas. ”Kata Departemen Keuangan, anggarannya belum bisa dimasukkan,” ujar Gembong.
Capek menunggu, Iwan Hardja kemudian membatalkan penjualan helinya ke Bakornas, 14 Oktober 2006. Kali ini ia tak lagi bicara atas nama utusan khusus lembaga itu. Soalnya, awal 2006, ia mendirikan PT Air Transport Services, sebuah kelompok usaha di bawah bendera Bukaka. Adik Jusuf Kalla, Achmad Kalla, ikut bergabung di sana. Surat izin usaha perusahaan itu baru dikeluarkan Dirjen Perhubungan Udara M. Iksan Tatang pada 3 Oktober 2006. Dengan kata lain, perusahaan itu baru dibentuk setelah Departemen Keuangan menghidupkan lampu merah tanda menolak membeli heli bekas tersebut.
Agar heli tak menjadi besi tua karena urung dibeli Bakornas, Iwan Hardja mengganti skenario. Dimintalah Bakornas menyewa pesawat itu. Kebutuhan bukan tak ada: kebakaran hutan masih menggila di sejumlah tempat di Kalimantan dan Sumatera.
Dengan harga carter US$ 1.500 per jam, diperkirakan dalam 45 hari terkumpul Rp 22 miliar—pas dengan modal awal yang telah dikeluarkan PT Air Transport. Adapun 12 pesawat itu—aha!—tetap menjadi milik perusahaan Wakil Presiden tersebut. Tapi alam berkehendak lain. Belum lagi 45 hari terlampaui, hujan datang. Kebakaran hutan padam oleh air dari langit. Bakornas tak punya alasan untuk tetap menyewa.
DI tempat yang berbeda, Bea dan Cukai meradang. Soalnya, 12 heli yang dibawa ke Indonesia dengan alasan bencana itu belum membayar Rp 2,1 miliar pajak impor. Itulah sebabnya, November tahun lalu, 10 pesawat disegel di Palembang. Sisanya masih tersimpan di Cengkareng.
Memo Presiden yang bikin heboh itu lalu keluar. Bea Cukai membebaskan ke10 pesawat dengan syarat PT Air Transport mesti menyertakan jaminan asuransi. Maksudnya, jika setelah tiga bulan tunggakan pajak itu belum juga lunas, asuransi yang menalangi. PT Air Transport lalu menunjuk PT Asuransi Indo Trisaka sebagai penjamin.
Belakangan diketahui, jaminan PT Asuransi ternyata cuma angin kosong. Jaminan kepabeanan (custom bond) yang ditanggung Indo Trisaka senilai Rp 9 miliar ternyata tak bisa dicairkan. Staf Ahli Wakil Presiden, Alwi Hamu, adalah salah seorang pemegang saham perusahaan asuransi itu. Tapi kepada Tempo ia membantah ikut campur dalam ”penjaminan palsu” tersebut.
Bea Cukai meradang. Heliheli itu kembali dibeslah. ”Dua belas heli itu belum punya sertifikat kelayakan dan izin Bea Cukai,” kata Kepala Bea Cukai Bandara Soekarno Hatta Agung Kuswandono. Bila sampai sebulan tak dilunasi, Bea Cukai mengancam akan merampas heli itu untuk negara.
Menurut Iwan Hardja, ia tak diberi tahu Bea Cukai bahwa harus segera melunasi bea masuk. ”Waktu itu kan darurat asap, jadi saya minta perusahaan asuransi milik Pak Alwi Hamu untuk membantu. Yang penting heli bisa jalan, kan sudah dapat penangguhan,” katanya.
TERBITNYA memo Presiden dalam soal heli swasta menambah rumit silang sengkarut. ”Masak, Presiden ikut ngurusi segel heli swasta, sih? Itu kan sudah di luar kewajaran,” kata Emir Moeis, Ketua Panitia Anggaran DPR.
Panitia Anggaran kini tengah menyoroti sejumlah pelanggaran dalam pengadaan barang bekas ini. Ketika heli datang pada 2005, misalnya, tidak ada pengajuan anggaran heli dari pemerintah ke DPR. Selain itu, Bakornas tak memiliki hak membeli barang modal. ”Yang bisa membeli adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebagai pemilik anggaran,” kata Emir. Cuma, jika dibeli Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pun persoalan tak selesai. ”Menko Kesra kok punya armada heli? Siapa yang mau ngurus?” kata Emir tertawa. Karena itulah politisi PDIP itu menyetujui sikap Departemen Keuangan. ”Sampai jontor pun duitnya tak bakalan dikasih,” kata Emir menirukan seorang petinggi departemen itu.
Mendengar heli milik Bukaka terancam dirampas negara, giliran Jusuf Kalla yang berang. ”Kalau tidak ada yang mau, buang saja ke laut!” katanya, seperti ditirukan sumber Tempo. Sayang, Kalla menolak permintaan wawancara Tempo. Dua kali tim majalah ini bertemu khusus dengannya, namun yang ia berikan hanya keterangan off the record. ”Bapak cuma bilang yang penting niatnya baik. Kalau tidak bisa diterima, ya mau bagaimana lagi,” kata Mukhlis Hasyim, koordinator pers di Istana Wakil Presiden.
Arif A.K., Badriah, Agus Supriyanto, Joniansyah
Memacu Heli Jerman Terbang
2005
Juni 2005 Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan Iwan Hardja, bekas eksekutif Bukaka, mencari heli bekas yang dianggap murah untuk kepentingan penanganan bencana.
18 November 2005 Sekretaris Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Gembong Prijono mengirim surat ke Menteri Keuangan, meminta dana Rp 84 miliar untuk pengadaan 28 helikopter pada tahun anggaran 2006. Permintaan ini tidak ditanggapi.
2006
10 Oktober 2006 Sekretaris Bakornas Gembong Priyono kembali mengirim surat ke Menteri Keuangan. Angkanya menyusut menjadi Rp 60 miliar. Selain untuk helikopter, dana itu dipakai buat pengadaan peralatan pemadam kebakaran. Surat diteken Gembong Prijono dengan tembusan ke Panitia Anggaran DPR. Tidak ada tanggapan.
12 Oktober 2006 Pemerintah mengumumkan menyiapkan dana Rp 100 miliar untuk penanganan bencana asap. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie melapor ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan mengumumkan pemerintah memutuskan akan menyewa pesawat BE200 dari Rusia, plus heli pengebom air dari Malaysia dan Australia.
14 Oktober 2006 Iwan Hardja, kini mewakili PT Air Transport Services, menarik rencana penjualan heli ke Bakornas. Alasannya, janji pembelian tak kunjung terealisasi sejak 2005. Pemilik heli, Urban Sky Corporation, menarik niatnya untuk menjual. Hak pengelolaan di Indonesia dipegang oleh Air Transport Services.
17 Oktober 2006 Kepala Pelaksana Harian Bakornas Syamsul Ma’arif membuat surat yang menyatakan pemerintah batal membeli heli eks Jerman itu. Namun, dalam surat yang sama, Syamsul menyatakan heli tersebut diperlukan untuk menanggulangi kebakaran hutan. Ia meminta BeaCukai mengeluarkan heli tersebut dari Kawasan Berikat Cengkareng.
20 Oktober 2006 Dana awal penanggulangan asap dikeluarkan Departemen Keuangan. Antara lain sebesar Rp 32,4 miliar untuk uang muka sewa BE200 dan Rp 11 miliar untuk uang muka sewa heli Malaysia. Namun, oleh Bakornas, penyewaan heli Malaysia itu diganti dengan sewa heli BO 105 eks Jerman yang tak jadi dibeli Bakornas. Malaysia menuntut pembayaran denda pembatalan Rp 672,3 juta.
22 Oktober 2006 Heli eks Jerman terbang ke Sumatera untuk mengerjakan proyek Bakornas. Mulamula tiga helikopter dan akhirnya total menjadi 10 helikopter. Mereka dikerahkan ke Sumatera Selatan—titik paling rawan bencana.
11 November 2006 Sepuluh heli yang bekerja memadamkan asap di Sumatera disegel BeaCukai di Bandara Talang Betutu, Palembang. Alasannya, mereka tidak membayar pajak impor dan bea masuk sebesar Rp 2,1 miliar.
7 Desember 2006 Presiden Yudhoyono menulis memo ke Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan untuk mencabut segel atas pesawat itu. Memo ini dibuat atas permintaan lisan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memprotes penyegelan heli eks Jerman oleh BeaCukai.
14 Desember 2006 Segel dilepas BeaCukai, setelah Air Transport mendapat jaminan dari perusahaan asuransi Indo Trisaka. Heli lalu diterbangkan pulang ke Jakarta.
20 Desember 2006 Tahun anggaran 2006 habis. Bakornas terlambat menyelesaikan bukti tagihan penanggulangan asap. Pertanggungjawaban mundur. Departemen Keuangan memberikan tenggat 9 Januari 2007.
27 Desember 2006 Air Transport mengembalikan sisa sewa heli untuk proyek asap Rp 3,8 miliar ke Bakornas.
2007
15 Januari 2007 Departemen Keuangan menyatakan jangka waktu penerimaan bukti pertanggungjawaban bencana asap berakhir. Biaya sewa heli BO 105 oleh Bakornas tercatat Rp 7,3 miliar. Pengeluaran total hanya Rp 83 miliar.
21 Februari 2007 Direktur Jenderal BeaCukai Anwar Supriyadi memerintahkan pembatalan perpanjangan penangguhan pajak dan bea masuk heli milik Air Transport. Jaminan pembayaran bea masuk dari perusahaan asuransi ternyata bodong.
1 Maret 2007 BeaCukai kembali menyegel heli eks Bakornas. Lima helikopter disegel di halaman PT Bukaka Trans System di Citeureup, Bogor. Turut disegel satu heli yang disimpan di Cengkareng. Enam unit heli lain yang tak diketahui keberadaannya dinyatakan buron. PT Air Transport diberi waktu untuk melunasi hingga 21 hari sebelum heli dirampas buat negara.
9 Maret 2007 Iwan Hardja dari Air Transport mengirim surat permintaan ke BeaCukai agar enam heli BO 105 lainnya tidak disegel. Keenam heli itu dilaporkan tersebar di Medan, Makassar, dan Poso. Heliheli itu akan dipakai untuk peragaan pemadaman asap di Jambi, 28 Maret 2007. BeaCukai Cengkareng tetap memerintahkan penyegelan.
15 Maret 2007 Dirjen Bea Cukai Anwar Supriyadi mengirimkan surat peringatan kepada Air Transport untuk segera membayar kembali pajak.
21 Maret 2007 Dirjen BeaCukai memberikan perpanjangan penangguhan pajak kembali untuk masa dua bulan.
Aturan yang Diterjang
- Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (revisi Keputusan Presiden Nomor 80/2003 serta Penetapan Presiden Nomor 61/2004, 32/2005, dan 70/2005)
- UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo