Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN kasasi perkara Muhammad Nazaruddin bolehlah dianggap angin segar di tengah pengap perang melawan korupsi. Memperberat hukuman terpidana kasus suap proyek Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang itu, vonis Mahkamah Agung ini selayaknya dijadikan standar untuk perkara lain yang serupa.
Majelis hakim agung yang dipimpin Artidjo Alkostar mengambil putusan tepat. Mereka mengoreksi vonis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Nazaruddin dinyatakan tak sekadar melanggar Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman 1-5 tahun, melainkan Pasal 12 ayat b yang diancam 4-20 tahun penjara.
Vonis pengadilan tingkat sebelumnya tidak menunjukkan semangat perlawanan yang taasub terhadap korupsi. Hakim menyatakan Nazaruddin hanya melanggar pasal "penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaannya". Artinya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu dianggap menerima suap secara pasif. Dia pun dihukum 4 tahun 10 bulan penjara.
Kenyataannya, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Nazaruddin aktif mengatur sejumlah pertemuan guna memenangkan PT Duta Graha Indah dalam proyek Wisma Atlet. Nazar dan perusahaannya lalu menerima sejumlah imbalan. Mahkamah Agung menganggapnya telah "menerima hadiah karena melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban penyelenggara negara". Hukumannya pun diperberat menjadi tujuh tahun penjara dan dendanya ditingkatkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta.
Hukuman bagi Nazar semestinya dijadikan standar—bahkan standar terendah—untuk menjerat terdakwa kasus korupsi, termasuk penerima suap dan pemberinya. Para pejabat itu telah menggadaikan kewenangan mereka, bersekongkol dengan pihak lain, menggerogoti keuangan negara. Tanpa hukuman keras, kejahatan yang semakin "menjerat leher" ini akan sulit dibendung.
Satu perkara di depan mata: kasus korupsi pembahasan anggaran di Kementerian Pendidikan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Angelina Sondakh, politikus Partai Demokrat terdakwa kasus itu, 4 tahun 6 bulan penjara—jauh dari 12 tahun tuntutan jaksa. Seperti Nazar, Angelina hanya dinyatakan menerima "suap secara pasif", melanggar Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengajukan permohonan banding terhadap vonis Angelina. Pengadilan Tinggi, dan kemudian Mahkamah Agung, semestinya menggunakan putusan kasasi Nazar sebagai "benchmark" untuk menetapkan hukuman bagi mantan anggota Dewan itu. Sebab, dari keterangan sejumlah saksi, ia juga aktif mengatur manipulasi anggaran di dua kementerian itu.
Demi perang melawan korupsi, hakim semestinya juga perlu menerapkan standar hukuman tambahan berupa perampasan kekayaan setiap terpidana kasus rasuah. Meski telah tercantum dalam Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, aturan ini jarang sekali digunakan para pengadil. Hakim seolah-olah membatasi hukuman perampasan harta hanya pada terpidana perkara yang "merugikan keuangan negara dalam arti sempit", tidak termasuk kasus suap. Pemampatan tafsir ini menutup peluang pemiskinan terpidana korupsi—hukuman terberat bagi setiap koruptor.
berita terkait di halaman 28
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo