SEBELUM kedua Mike sibuk baku bogem di ring, sejumlah orang sudah terlebih dulu sibuk. Ada persaingan ketat yang lebih seru di kalangan caloncalon penyelenggara. Mereka :1 sadar pertemuan Mike Tyson dengan Michael Spinks termasuk satu pertandingan terbesar dalam sejarah tinju. Artinya, dari segi bisnis, ini melibatkan modal besar, nama besar, dan keuntungan besar. Siapa tidak suka? Kali ini orang yang beruntung adalah Donald J. Trump, pengusaha muda Amerika yang sedang menanjak cepat. Pemilik Atlantic City Trump Plaza ini berhasil memboyong Tyson, Spinks, dan tentu saja Don King, sang promotor, ke hotelnya. Jutaan dolar sudah membayang di setiap sudut langit-langit hotel. Donald Trump tinggal menunggu hari " H" pertarungan terbesar - setidaknya bayaran bagi kedua petinju memecahkan rekor - dalam sejarah adu bogem ini. Donald Trump mengaku sebagai pencinta tinju nomor wahid. Boleh jadi, itu kata-kata promosi. Namun, ia yang tampan dan tak pernah ermlmpi merebut juara tinju kelas berat profesional ini sesungguhnya kepalan tangannya jauh lebih dahsyat daripada kepalan Tyson - yang cuma harus menghadapi satu Spinks. Trump lawannya lebih dari satu. Tapi ia berhasil mengibaskan saingan-saingannya habis keluar ring. Las Vegas Hilton, misalnya, atau Madison Square Garden - tempat Muhammad Ali pernah terpontal-pontal melawan Joe Frazier - harus mengelus dada atas kemenangan Trump. Itu mungkin soalnya bila Trump di hari-hari belakangan ini sering terlihat terpingkal-pingkal. "Inilah aku," sumbarnya gagah sambil tak lupa, itu tadi, berpromosi. "Semua jenis olah raga sebenarnya saya suka. Tapi 'kan boleh-boleh saja kalau saya lebih mencintai tinju?" Lalu dia berfilsafat, "Di ring, manusia betul-betul bergantung pada dirinya sndiri. Ini hukum dasar perkelahian. Dan saya suka itu." Yang jelas, buat modal acara besar ini Trump siap menyediakan US$ 11 juta. Modal yang tak kecil, yang ia pertaruhkan untung ruginya pada jumlah penonton, sponsor, dan penjualan hak penyiaran pada jaringan televisi. Anggaran sebesar itu merupakan rekor baru penyelenggaraan pertandingan tinju, memang. "Saya tak bermaksud menjadi kaya raya lantaran pertarungan ini. Saya cuma berpikir bahwa peristiwa tinju terbesar dalam sejarah harus dilaksanakan di sini," kata pengusaha yang kini 42 tahun itu. Tentu saja Trump bukan sejenis spekulator yang tanpa perhitungan. Dalam buku yang ditulisnya bersama Tony Schwartz, buku tentang bagaimana cara dia berbisnis, yang baru terbit tahun lalu, ia menulis: "Saya selalu melihat bisnis dari segi terburuknya. Bila Anda siap dengan yang terburuk - bila Anda bisa menerima yang terburuk - keuntungan biasanya selalu datang dengan sendirinya." Sesungguhnya, Trump memiliki pengalaman menarik sejak Trump Plaza dimanfaatkan sebagai ajang tinju, Mei 1986. Sebelumnya, tempat ini hanya sebuah hotel yang menyediakan ruang kasino, seperti layaknya hotel-hotel di bilangan Las Vegas. Lantaran simpatinya pada tinju, seperti diakuinya, Trump coba-coba memasuki bisnis tinju. Awalnya kecil-kecilan. Baru pada 15 Juni 1987, Trump berhasil menjaring pertandingan bergengsi Spinks melawan Cooney. Pada pengakuan Mark Grosinger Etess, Wakil Presiden Direktur Eksekutif Trump Plaza, khusus pada malam itu mereka harus menyediakan US$ 7,2 juta. Artinya, ongkos sehari-hari US$ 6 juta lebih besar dibandingkan bila tanpa Spinks vs. Cooney. Dalam dua hari, sehari sebelum dan saat pertandingan berlangsung, uang masuk mencapai US$ 10 juta. Itu belum termasuk penerimaan dari kamar taMbahan, hasil penjualan makanan dan minuman. Sejak itu tampaknya Trump betul-betul mabuk tinju. Arena ring tinju dibenahi apik, rayuan gombal terus dilancarkan ke sasana-sasana akbar, dan predikat pencinta tinju sejati senantiasa dikumandangkan. "Trump tahu apa yang mesti dia lakukan," komentar Herbie Hoops Lambeck, seorang pengamat bisnis di Las Vegas. Pada 16 Oktober 1987, kembali Trump menggaet kubu Tyson dan Biggs untuk berlaga di hotelnya. Malam itu kembali US$ 7 juta masuk ke kasnya. Lalu, pada 22 Januari 1988, ketika berlangsung duel Tyson vs. Larry Holmes, lebih dari US$ 8,5 juta uang masuk. Melihat jumlah uang yang dahsyat itu, pengakuan Trump sebagai pencinta tinju boleh dibilang meragukan. Sebenarnya, ia lebih mencintai tinju atau uang? "Saya pikir dua-duanya," jawab Etess, Wakil Presiden Direktur Trump Plaza itu, kalem. "Bisnis jotos memang berpotensi besar untuk memasarkan Trump Plaza," tambahnya. Apa pun anggapan orang, Trump tak peduli. Ia terus jalan tanpa mengabaikan kewaspadaan. Jauh-jauh hari ia sudah berpikir tentang keamanan. Sepasukan polisi dipersiapkan dengan bayaran 200.000 dolar, termasuk biaya pengarahanpengarahan, untuk pertandinan Tyson vs. Spinks. Dan penjualan tiket pun sudah diblokir sedemikian rupa, sehingga selain Trump Plaza tidak ada pihak lain yang boleh menjualnya. "Pertarungan-pertarungan raksasa berikutnya akan saya selenggarakan kembali di sini. Kami mampu melakukannya," ujar Trump menawarkan dagangannya. Bisa dipastikan, rencana jangka pendek yang tersemat di benaknya adalah menghitung keuntungan seusai Tyson-Spinks berkelahi. Itulah Trump generasi ketiga, yang punya pedoman selalu bercita-cita tinggi. "Saya suka memikirkan sesuatu yang besar. Alasannya mudah: bila kamu berniat memikirkan sesuatu, pikirkanlah sesuatu yang besar. Banyak orang memikirkan yang kecil-kecil, karena mereka takut sukses, takut membuat keputusan, takut menang ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini