Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koalisi masyarakat sipil mengendus dugaan kuat pasal kontroversial PKPU caleg disisipkan menjelang penerbitan.
Pasal janggal diusulkan Dewan dalam pertemuan tertutup di Hotel Ayana.
Motif usulan perubahan pasal PKPU caleg terjawab dari dokumen pengajuan calon di daerah.
JAKARTA – Dalang di balik munculnya sejumlah pasal kontroversial dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 mulai terendus. Hasil penelusuran Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan—gabungan dari sejumlah lembaga yang mengawal isu ini—menguatkan dugaan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam PKPU tentang pencalonan anggota legislatif tersebut disisipkan beberapa saat sebelum disahkan pada 17 April 2023. "Kami duga untuk mengakomodasi kepentingan partai politik," kata Hurriyah, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia, yang menjadi bagian dari koalisi tersebut, Rabu, 24 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hurriyah mengatakan, indikasi pertama penyelundupan pasal ini terbaca dari dua agenda pembahasan terbuka untuk publik sepekan sebelum PKPU tersebut diterbitkan. Pada 8 Maret 2023, KPU menggelar uji publik rancangan PKPU pencalonan anggota legislatif. Empat hari berselang, pada 12 April 2023, rancangan PKPU tersebut juga dibahas secara terbuka dalam rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pemerintahan. Dalam dua kesempatan pembahasan itu, draf rancangan PKPU tak banyak berubah dibanding PKPU lama, termasuk pada Pasal 8 yang mengatur penghitungan syarat 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan di daerah pemilihan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi, penyelundupan aturan baru dilakukan diam-diam dalam pertemuan tertutup yang tak melibatkan publik,” kata Hurriyah. “Karena pasal yang diuji publik tentang kuota perempuan masih disepakati sesuai dengan draf awal rancangan PKPU dalam rapat dengar pendapat, yaitu pembulatan ke atas berapa pun hasil pecahan desimalnya.”
PKPU 10/2023 mengubah PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sejumlah pasal dalam aturan anyar ini kini menuai polemik. Pasal 8 yang dipermasalahkan koalisi masyarakat sipil mengatur persyaratan pengajuan bakal calon anggota Dewan oleh partai politik. Di dalamnya termasuk soal cara menghitung syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan.
PKPU terbaru mengubah skema penghitungan syarat tersebut. Jika 30 persen dari kursi daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan dua desimal di belakang koma kurang dari 50, hasil penghitungan dibulatkan ke bawah. Jika dua angka di belakang koma di atas 50, pembulatan dilakukan ke atas. Cara ini berbeda dengan PKPU sebelumnya yang semua penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.
Suasana di depan kantor KPU, Jakarta, 1 Mei 2023. ANTARA/Aprillio Akbar
Perubahan cara menghitung itu berpengaruh dalam menggerus kuota bakal calon perempuan dalam Pemilu 2024. Di daerah pemilihan dengan jatah empat kursi, misalnya, penghitungan 30 persen akan menghasilkan angka 1,2, sehingga dibulatkan ke bawah menjadi satu kursi untuk perwakilan perempuan. Padahal satu bakal calon perempuan dari alokasi empat kursi yang tersedia tak memenuhi batas minimal 30 persen, melainkan hanya 25 persen. Koalisi masyarakat sipil menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 245 Undang-Undang Pemilu yang mensyaratkan adanya keterwakilan perempuan untuk menjadi anggota legislatif paling sedikit 30 persen.
PKPU 10/2023 juga mengandung pasal-pasal lain yang tak kalah janggal. Regulasi baru menghapus kewajiban pelaporan harta kekayaan bagi calon anggota Dewan, kendati KPU mengklaim akan mengaturnya dalam peraturan terpisah tentang penetapan calon terpilih. Selain itu, PKPU tersebut melonggarkan ketentuan bagi mantan terpidana untuk menjadi calon anggota parlemen. Menurut Hurriyah, sepertinya pasal tentang keterwakilan perempuan, pasal-pasal bermasalah tersebut, juga belum ada saat draf rancangan PKPU dipaparkan dalam uji publik pada 8 Maret lalu. "Ini jelas ada persekongkolan," kata Hurriyah.
Diduga Berubah dalam Pertemuan Tertutup di Hotel
Seorang petinggi lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mengetahui soal pembahasan-pembahasan PKPU 10/2023 menceritakan, usulan perubahan pasal-pasal dalam draf rancangan PKPU tersebut muncul pertama kali dalam pertemuan tertutup sebelum digelarnya rapat dengar pendapat DPR pada 12 April lalu. Persamuhan bertajuk konsinyering itu diinisiasi Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan. "Pembahasan pasal penghitungan keterwakilan perempuan diusulkan anggota Komisi II," kata sumber Tempo yang mengikuti konsinyering tersebut.
Namun dia belum bisa menyebutkan detail mengenai siapa anggota Komisi II yang mengusulkan perubahan pasal tersebut. Begitu pula soal bagaimana hingga akhirnya KPU memenuhi permintaan Dewan. Sumber Tempo ini hanya mengungkapkan bahwa rapat konsinyering itu tak digelar di Kompleks DPR, Senayan. "Rapatnya di Hotel Ayana, Jakarta," kata dia.
Komisioner KPU Idham Holik tidak membantah bahwa lembaganya mengikuti rapat konsinyering bersama Komisi II di Hotel Ayana, Jakarta, sebelum membawa draf rancangan PKPU pencalonan anggota legislatif dalam rapat dengar pendapat, 12 April lalu. Pertemuan itu juga diikuti oleh perwakilan lembaga penyelenggara pemilu lainnya dan Kementerian Dalam Negeri.
Namun Idham tak menjawab tegas konfirmasi dari Tempo soal dugaan perubahan draf rancangan PKPU terjadi dalam rapat tertutup di hotel tersebut. "Dalam rapat, dinamika banyak," ujarnya.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kiri), Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar, dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Heddy Lugito menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 12 April 2023. ANTARA/Galih Pradipta
Dugaan Motif Partai Usulkan Pasal Kontroversial
Kuatnya dugaan kepentingan partai politik dalam perubahan PKPU pencalonan anggota legislatif juga diendus oleh peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay. Turut menyokong koalisi masyarakat sipil, Komisioner KPU periode 2012-2017 itu mendapatkan segepok data pengajuan bakal calon anggota legislatif dari sejumlah wilayah. Hasil penelusuran sementara Hadar membuktikan bahwa pencalonan anggota legislatif yang diajukan sejumlah partai tak akan memenuhi syarat jika cara penghitungan keterwakilan perempuan minimal 30 persen tetap menggunakan pembulatan ke atas sebagaimana pada peraturan lama.
Salah satu daerah pemilihan yang terbukti tak memenuhi ketentuan PKPU lama itu berada di Sumatera Barat. Tempo telah melihat dokumen pengajuan calon anggota Dewan tersebut. Kepada Tempo, komisioner KPU daerah di wilayah tersebut juga membenarkan bahwa dokumen tersebut valid. “Jadi, silakan buka-bukaan data," kata Hadar, kemarin.
Menurut Hadar, kajian cepat terhadap dokumen pengajuan calon tersebut menunjukkan bahwa daerah pemilihan dengan jatah jumlah kursi 4,7, 8, dan 11 kebanyakan tidak memenuhi syarat 30 persen jika pembulatan ke atas dalam penghitungan lama diterapkan. Di salah satu daerah pemilihan wilayah Sumatera Barat, misalnya, hanya tercatat 18 bakal calon legislator perempuan atau 2,27 persen dari total 79 bakal calon yang didaftarkan oleh partai. "Kasatmata dari sini saja terbukti partai tak akan memenuhi syarat pencalonan jika menggunakan pembulatan ke atas," ujarnya.
Dari analisis sementara tersebut juga diperoleh kesimpulan bahwa 10 dari 17 partai yang mendaftarkan bakal calonnya lolos karena pencalonan menggunakan pembulatan ke bawah. Sebagian besar daerah pemilihan tempat partai yang semestinya tidak memenuhi syarat dalam PKPU lama tersebut memiliki alokasi delapan kursi. “Kalau aturan yang lama, dapil yang delapan kursi wajib menyediakan tiga kursi untuk perempuan karena pembulatannya ke atas. Tapi kalau sekarang, 10 partai itu hanya mengajukan dua bakal calon perempuan karena pembulatannya dibolehkan ke bawah,” kata Hadar. “Saya sangat yakin ini terjadi di banyak daerah di Indonesia, dan menjadi motif draf rancangan PKPU 10/2023 berubah saat diterbitkan."
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia tidak merespons konfirmasi Tempo soal rapat konsinyering dan munculnya pasal bermasalah dalam PKPU pencalonan anggota legislatif terbaru. Sedangkan anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, membenarkan soal adanya rapat konsinyering sebelum pembahasan draf rancangan PKPU dalam rapat dengar pendapat. Menurut dia, konsinyering itu biasa dilakukan untuk harmonisasi peraturan sehingga digelar secara tertutup bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah.
Guspardi menilai isi PKPU 10/2023 tak melanggar peraturan perundang-undangan. “Jadi, kalau memang ada yang menganggap ada aturan yang bertentangan, saya lebih mengapresiasi aturan itu digugat melalui uji materi di Mahkamah Agung. Karena di sana sarananya untuk mengoreksi aturan yang dianggap bermasalah,” kata politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Sejumlah pengurus dan kader DPC Partai Gerindra Kota Bogor saat pendaftaran bakal calon anggota legislatif di kantor KPU Kota Bogor, Jawa Barat, 13 Mei 2023. ANTARA/Arif Firmansyah
Dalih Menolak Tuntutan Revisi Dianggap Bermasalah
KPU memberi sinyal tidak akan merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, regulasi soal mekanisme penghitungan keterwakilan perempuan dalam PKPU tersebut tidak menabrak UU Pemilu. Menurut dia, Pasal 245 UU Pemilu hanya mengatur daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Dia menilai pasal tersebut tidak mengatur penghitungan paling sedikit 30 persen diterapkan di setiap daerah pemilihan. “Ada-tidak yang kami langgar dalam pembuatan PKPU,” ucapnya.
Sikap KPU menolak tuntutan revisi PKPU semakin kuat setelah mereka mendapatkan dukungan dari semua fraksi di Komisi II DPR. Sokongan Dewan ini dikantongi dalam rapat dengar pendapat Komisi II pada 17 Mei lalu, yang digelar setelah polemik tentang PKPU tersebut memuncak. Dalam rapat dengar pendapat tersebut, disimpulkan bahwa KPU tidak melanggar aturan karena keterwakilan perempuan yang mendaftar menjadi caleg secara akumulasi nasional telah melampaui angka 30 persen. “Komisi II DPR meminta KPU tetap konsisten melaksanakan PKPU 10 Tahun 2023,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia saat itu.
Permintaan Komisi II dan sikap KPU sebenarnya bertolak belakang dengan hasil rapat tripartit antara tiga lembaga penyelenggara pemilu pada 10 Mei lalu. Saat itu, KPU bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melontarkan komitmen untuk merevisi PKPU 10/2023, terutama pada bagian cara penghitungan keterwakilan perempuan. Rapat tripartit digelar setelah Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan mengajukan protes kepada Bawaslu agar lembaga tersebut "menyemprit" KPU karena membuat regulasi yang menyimpang.
Hadar Nafis Gumay menilai klaim DPR dan KPU yang mendasarkan penghitungan pada akumulasi kursi nasional bermasalah. Pasalnya, UU Pemilu jelas mengatur kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan dihitung untuk setiap daerah pemilihan. “Jadi, bukan akumulasi atau rata-rata nasional. Sudah jelas dalam Pasal 244 UU Pemilu,” ucapnya.
Pasal 244 UU Pemilu yang dimaksudkan Hadar menyatakan bahwa daftar bakal calon memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Menurut Hadar, pasal itu secara tegas menunjukkan bahwa alokasi kursi bakal calon dihitung per daerah pemilihan. “Memangnya ada daerah pemilihan satu wilayah Indonesia? Jangan menyesatkan,” ujarnya.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo