Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH besar dengan kolam renang itu lengang. Hanya ada dua petugas pengamanan berseragam Partai Demokrat di teras rumah. Seorang pegawai lain berkantor di sekretariat Komite Konvensi itu. Di ruang tamu rumah seluas 500 meter persegi di Jalan Pati Unus 75, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini tertata rapi seperangkat kursi kayu berukir.
Foto wajah para calon presiden dipajang di dinding. Di ruang tengah, meja rapat memanjang dilingkari 20-an kursi hitam baru. Di situ terpacak dua poster besar konvensi Demokrat. Di ruang staf, tujuh meja berikut kursi seperti tak pernah disentuh. Tak ada komputer, kertas, bahkan alat tulis. "Pimpinan biasanya datang sekitar pukul lima sore," kata seorang petugas, Kamis sore pekan lalu.
Inilah kantor baru Komite Konvensi Partai Demokrat. Baru ditempati sebulan terakhir, kantor ini menggantikan kantor sebelumnya di lantai 11 Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan. Ketua Komite Maftuh Basyuni menampik kabar bahwa kantornya sepi dari keriaan konvensi. "Di ruangan banyak yang bekerja," ujarnya.
Suasana kantor Komite sesenyap perhelatan konvensi. Hingga tiga bulan berlangsung, gaung penjaringan calon presiden dari partai berkuasa itu tak terasa. Sebelas peserta mengikuti kegiatan ini, yang dimulai pada 22 September lalu dan akan berakhir April 2014. Mereka adalah Ali Masykur Musa, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang.
Sejak itu, mereka dibiarkan bebas blusukan-tanpa arahan dan pembagian wilayah. Belum terasa pula "kemeriahan" yang dimunculkan Komite untuk menyedot perhatian publik sekaligus menjajakan para calon. Satu-satunya acara yang bikin heboh publik adalah penayangan siaran tunda deklarasi dan penyampaian visi-misi calon pada saat pembukaan di Hotel Sahid Jakarta oleh TVRI. Belakangan, Komisi Penyiaran Indonesia memutuskan stasiun televisi pelat merah itu melanggar prinsip keberimbangan, independensi, dan netralitas lembaga penyiaran publik karena menerima blocking time.
Dewan Pengawas TVRI pun memutuskan memecat direksi TVRI. Gedung parlemen di Senayan ikut bergolak, walau akhirnya pemecatan dibatalkan. "Masalah TVRI sangat memukul kami," ucap Suaidi Marasabessy, Sekretaris Komite.
Konvensi diadakan buat mendongkrak elektabilitas Demokrat yang anjlok setelah sejumlah petinggi partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini terlibat pelbagai kasus korupsi. Nyatanya, konvensi belum mampu menaikkan pamor Demokrat. Dalam survei nasional elektabilitas partai oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada April lalu, Demokrat berada di peringkat keempat, di bawah Partai Gerindra, dengan 7,1 persen. Angka itu turun lagi menjadi 7 persen pada survei bulan lalu.
Pelaksanaan konvensi tak lepas dari keinginan Presiden Yudhoyono, Ketua Majelis Tinggi merangkap Ketua Umum Demokrat, meniru sistem di Amerika. Meski kondisi dan budaya politik di Indonesia berbeda, ia ingin Demokrat tetap menggelar konvensi. "Walaupun begitu, idenya baik," kata anggota Komite, Soegeng Sarjadi.
Pembahasan konsep konvensi dilakukan pada Januari lalu. Serangkaian diskusi lantas dilakukan Presiden Yudhoyono dengan sejumlah ahli. Sumber Tempo yang mengetahui pembahasan konsep konvensi sejak Januari silam menuturkan, semula diusulkan hanya ada sekali survei, yakni pada akhir konvensi. "Untuk apa dua kali? Kan, enggak ada sistem gugur," ujarnya Rabu pekan lalu. Pelaksana survei juga cukup dua lembaga. Tapi akhirnya ada dua kali survei oleh tiga lembaga.
Soal pelaksanaan konvensi juga sempat diusulkan meniru hal serupa di Amerika Serikat. Di sana, survei tetap dilakukan plus ada pemilihan di sejumlah negara bagian. Hasil pemilihan lalu diangkat ke tingkat pusat untuk dijadikan landasan penentuan pemenang. Struktur partai dan masyarakat di daerah bakal terlibat aktif dengan cara ini. Maka yang disebut peserta konvensi sebenarnya masyarakat pemilih, bukan para calon presiden itu. Usul itu tak diterima mungkin akibat masalah pendanaan.
Konsep konvensi Demokrat akhirnya dilahirkan. Suaidi menjelaskan, setelah deklarasi pada akhir September, kegiatan konvensi dilanjutkan dengan wawancara panel calon dengan para akademikus-direncanakan pada Oktober-November. Liputan media bakal digenjot dalam acara yang terbuka untuk umum di sekretariat Komite. Di sela-sela itu, para calon dibebaskan berkampanye secara pribadi lepas dari Komite.
Kemudian, mulai awal Desember, digelar survei nasional oleh tiga lembaga survei. Pengumuman survei tahap pertama itu direncanakan pada Januari 2014. Bersamaan dengan itu, tim evaluasi survei bekerja untuk memastikan sigi dilakukan secara independen dan akurat. Semua jadwal itu meleset sejauh ini.
Pada Januari, rencananya akan digelar road show para calon di sepuluh kota besar di Indonesia. Di kota-kota itu bakal dilakukan debat calon yang terbuka untuk umum. Liputan media digenjot lewat kerja sama dengan tiga stasiun televisi swasta. "Semua ongkos dibiayai Komite, dari transportasi, akomodasi, sampai konsumsi," kata Maftuh. "Tapi, kalau calon mau berkampanye masing-masing, ya, keluar biaya sendiri."
Survei final akan dilakukan pada April, setelah pemilu legislatif. Hasil survei inilah yang dibuka kepada publik. Sedangkan survei pertama hanya menjadi pegangan Komite untuk bahan analisis dan masukan kepada para calon. Hasil survei kedua akan memunculkan pemenang yang kemudian diserahkan kepada Majelis Tinggi.
Komite merahasiakan nama tiga lembaga survei dengan alasan khawatir dipengaruhi para calon. Tapi sumber Tempo menuturkan tiga lembaga itu adalah Lembaga Survei Indonesia yang dipimpin Dodi Ambardi, MarkPlus Consulting di bawah Hermawan Kartajaya, serta Populi yang didirikan Nico Harjanto. Suaidi dan Maftuh tak membantah bekerja sama dengan ketiga lembaga itu.
Kenyataan tak seindah impian. Komite mengakui pelaksanaan konvensi melenceng dari rencana semula. Jadwal pun berantakan. Kasus TVRI menjadi pangkal soal penundaan sejumlah kegiatan strategis. Komite kalang-kabut harus menjadi pemadam kebakaran. "Akibatnya, stasiun televisi lain takut menyiarkan acara kami," kata Suaidi. Ia bahkan menilai ada "tangan-tangan lain" yang berupaya menjatuhkan pamor Komite melalui kasus TVRI. "Ini kan politik," ucapnya.
Menurut Suaidi, sejumlah pertemuan dan lobi dengan pengampu kepentingan TVRI dilakukan agar konvensi dan Demokrat tak kena getahnya. Komite berupaya agar pemecatan direksi TVRI tak terjadi. Kalau itu terjadi, Demokrat menjadi tertuduh sengkarut di tubuh TVRI. Tudingan intervensi kekuasaan di balik penayangan blocking time pun sulit ditepis. "Kami punya tanggung jawab moral meski penayangan itu keputusan TVRI," ujar purnawirawan letnan jenderal ini.
Baik Maftuh maupun Suaidi menampik kabar bahwa seretnya anggaran menjadi penyebab utama konvensi kacau-balau. "Enggak seret dananya. Kami memang mintanya tidak seluruhnya," kata Maftuh.
Seorang anggota Komite mengakui masalah dana mencari persoalan pokok-meski kasus TVRI ikut andil menghambat penyebaran informasi konvensi lewat media massa. "Dana agak kesulitan," ujarnya. Menurut dia, seharusnya debat calon presiden sudah digelar. Namun duit tak tersedia. Ia menduga Demokrat sudah tak lagi memiliki sumber dana setelah citra partai terpuruk. "Orang pada meninggalkan Demokrat," katanya lagi.
Ketua Harian Demokrat Syarief Hasan memastikan dana konvensi cukup. "Dana dari saweran anggota partai," ujarnya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Tapi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah ini menyatakan pengurus pusat tengah berupaya menekan biaya konvensi agar tak sampai Rp 50 miliar. "Kami mau menghemat," ucapnya seraya menolak menyebutkan berapa maksimal biaya konvensi.
Syarief juga mengakui perhelatan konvensi sunyi sepi. Namun ia menolak anggapan bahwa hal itu lantaran fulusnya seret. "Gimana mau ramai, wartawan enggak mau meliput."
Seorang anggota tim pemenangan calon presiden mengeluh soal penyelenggaraan konvensi, yang dinilainya tak jelas. Informasi dan agenda tak pernah gamblang diberikan. "Seperti setengah hati," ujarnya. Menurut dia, tak ada arahan yang jelas mengenai sosialisasi para calon. Kontestan konvensi dibiarkan jalan sendiri-sendiri hingga tiga bulan konvensi berlangsung.
Ketidakjelasan juga sempat dialami lembaga-lembaga survei di tengah negosiasi. Menurut sumber Tempo, selain tiga lembaga itu, CSIS diundang dalam pembicaraan awal pada akhir September lalu. Survei elektabilitas calon dipastikan akan dilakukan secara nasional dengan 3.000 responden oleh tiap lembaga dengan sistem multi-stage random sampling. Bulan selanjutnya, lembaga-lembaga itu diminta mengajukan konsep sigi dan penawaran biaya. "CSIS mundur," katanya.
Setelah itu, hampir satu bulan tak ada kabar. Dodi menyatakan sampai lupa sudah berapa lama menunggu. "Lama banget," ujarnya Jumat pekan lalu. Sumber Tempo tadi menjelaskan, baru pada akhir November ada pertemuan di kantor Pati Unus. Lalu, pada awal Desember, kontrak ditandatangani. Untuk tiga lembaga itu, Komite total membayar Rp 8,4 miliar.
Para anggota tim audit survei juga dibikin repot. Sejak mereka bekerja Oktober lalu, belum ada kontrak dan kejelasan kerja berikut gaji. Undangan rapat juga dilakukan mendadak sehari sebelum rapat via pesan pendek. "Saya mundur saja mulai awal bulan ini," kata pakar psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, Kamis pekan lalu. Dua rekannya, Andrinof Chaniago dan Thamrin Amal Tomagola, bertahan dan akan bekerja bersama dua anggota dari Komite, yaitu Almuktabar dan Christianto Wibisono. "Enggak mungkin kami kerja bakti di sini," ujar Andrinof.
Suaidi menanggapi enteng pengunduran diri Hamdi. "Lagi pula belum ada surat keputusan pengangkatan tim audit," katanya. Soal gaji, ia memastikan sedang dibicarakan usul sebesar Rp 450 juta untuk tiga anggota dari kalangan akademikus sampai tugas berakhir pada April tahun depan. "Mungkin segitu termasuk untuk petugas di lapangan."
Jobpie Sugiharto, Widiarsi Agustina, Kartika Candra, Muhammad Muhyiddin
Terus Menukik
Survei CSIS menunjukkan popularitas Partai Demokrat semakin turun.
Januari 2013
1. Partai Demokrat 12,6 persen
2. Partai Golkar 10,5 persen
3. PDI Perjuangan 7,8 persen
4. Partai Kebangkitan Bangsa 4,4 persen
April 2013
1. Partai Golkar 13,2 persen
2. PDI Perjuangan 12,7 persen
3. Partai Gerindra 7,3 persen
4 .Partai Demokrat 7,1 persen
November 2013
1. PDI Perjuangan (17,6 persen)
2. Partai Golkar (14,8 persen)
3. Partai Gerindra (8,6 persen)
4. Partai Demokrat (7 persen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo