Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISMAIL Saleh meluncur ke Kejaksa-an Agung, Senin pagi pekan lalu. Menteri Kehakiman pada zaman pemerintahan Soeharto itu hendak- meminta pencabutan pencekal-an atas bekas bosnya, Soeharto. Ia juga mempertanyakan alasan hukum me-ngapa kejaksaan menghidupkan kembali perkara korupsi sejumlah yaya-san yang dipimpin bekas penguasa Orde Baru itu.
Sejak dua pekan lalu, Jaksa Agung Ab-dul Rahman Saleh memang getol men-desak tim dokter kepresidenan meme-riksa kembali kesehatan Soeharto. Pada 2000 Soeharto sempat diadili, walau ia tak pernah hadir di ruang pengadilan. Proses pengadilan itu dihentikan- lantar-an tersangka sakit. Tim dokter kepresi-denan menyimpulkan lelaki yang ki-ni berusia 85 tahun itu mengalami- gang-guan- fungsi otak yang bersifat permanen. Ini mempengaruhi kemampuannya berbicara.
Tapi akhir-akhir ini Soeharto rajin- tampil ke khaya-lak ra-mai-. Ketika me-nikah-kan cucunya pada April lalu, ia hadir sebagai saksi. Ia terlihat segar-bugar. Kebugaran itu ju-ga terlihat ketika men-jamu karib lama-nya, Maha-thir Moha-mad, man-tan Perdana Menteri Malaysia, tiga pekan lalu.
Mungkin karena itulah kejaksaan ke-mudian mendesak tim kedokter-an me-meriksa kembali- kesehatan Soeharto. Ce-laka-nya, Soeharto ma-lah jatuh sa-kit. Sejak dua pekan lalu ia dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Selain men-jenguk, sejumlah karib dan bekas bawah-annya juga berusaha sekuat te-naga- meng-hadang pembukaan kemba-li kasus korupsi Soeharto.
Ismail Saleh, contohnya. Ketika da-tang ke Kejaksaan Agung pada Senin pe-kan lalu, ia bertemu dengan salah se-orang jaksa di sana. Tak jelas apa hasil pertemuan di kejaksaan itu. Orang de-kat Ismail Saleh menuturkan bahwa- Ismail sempat pula menelepon Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Cuma, sum-ber ini tidak tahu isi pembicaraan keduanya.
Pulang dari kejaksaan Agung, Ismail lang-sung menuju RS Pertamina untuk me-nengok Soeharto. ”Di sana Bapak yang biasanya berjalan ditemani petugas tergesa-gesa menuju lantai lima. Namun Bapak tersandung dan jatuh,” kata orang dekat Ismail. Akibatnya, kaki ki-ri kakek berusia 80 tahun itu patah. Ki-ni ia malah terpaksa ikut dirawat di Ru-mah Sakit Pertamina.
Seorang anggota ke-luar-ganya menu-turkan- Ismail harus lebih ba-nyak- istirahat. Ang-g-ota keluarganya itu mem-benar-kan kedatangan Ismail ke Kejaksaan Agung Senin pekan lalu itu. Sedang-kan Abdul Rahman Sa-leh membantah ada-nya tel-epon dari Mantan Menteri Kehakim-an itu. ”Nggak ada itu,” katanya kepada Ramidi dari Tempo.
Silang sengketa kasus Soeharto pun ra-mai sepanjang pekan lalu. Sikap peme-rintah sen-diri terlihat simpang-siur. Sesudah menje-nguk- Soeharto pada Se-nin pekan lalu di ru-mah sakit, Wakil Pre-siden Jusuf Kalla- mene-gaskan, ”Buat apa kita berpikir te-ntang proses hukum be-kas presiden yang da-lam kesehatan se-perti itu?”
Dua hari kemudian, Rabu pekan lalu, ju-ga sesudah menjenguk Soeharto di rumah sakit, Menteri Sekretaris Negara Yusril Izha Mahendra menjelaskan bahwa pe-merintah menghen-tikan kasus hukum Soe-harto. Bentuknya ma-sih dipertimbangkan: amnesti, abolisi, atau men-deponir perkara. Hal itu di-sampaikan Yusril setelah Pre-si-den bertemu de-ngan pe-tinggi lembaga ting-gi negara di kantor Pre-siden.
Esoknya, -Yusril kembali memastikan-, ”Insyah Allah, mungkin da-lam wak-tu -de-kat ini Jaksa Agung akan me-nge-luar-kan kepu-tus-an peng-hen-tian pe-nuntutan per-kara,” katanya kepada- wartawan seusai menjenguk Soeharto- kedua kaliny-a. Publik kemudian men-duga bahwa kasus Soeharto tutup bu-ku.
Entah kenapa dua pernyataan Yusril- itu ke-mudian dianulir Andi Malla-ra-ngeng, ju-ru bicara Presiden Susilo- Bambang Yudhoyono. Kamis pekan la-lu, dia menegaskan, ”Presiden belum meng-ambil keputusan atas kasus Soeharto.” Presiden, tuturnya, masih me-ngum-pulkan dokumentasi kasus ini, juga menunggu laporan dari sejumlah men-teri.” Tak jelas mana yang benar. Se-jumlah kalangan mengkritik kesimpang-siuran ini.
Sehari berselang, barulah Presi-den Yudhoyono menggelar siaran pers di -Ban-dar Udara Halim Perdanakusu-ma, -se-belum bertolak ke Bali. Dia meng-umum-kan kasus korupsi mantan Pre-siden Soe-harto diendapkan. Sekuat te-naga Yudho-yono meyakinkan publik- bahwa keputusan itu diambil guna me-redam ”ge-lom-bang pro dan kontra yang bisa memunculkan perpecahan”.
Anehnya, Kejaksaan Agung kemudian menerbitkan keputusan yang bukannya mengendapkan, tapi justru mengunci ka-sus itu. Pada Jumat pekan lalu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Dengan surat ketetapan itu, kata Abdul Rahman, Soeharto bebas secara hukum, walau bisa dicabut kembali jika ditemukan alasan baru.
Pengusutan kasus korupsi Soeharto- ini sesungguhnya amanat Ketetapan MPR Nomor XI 1998. Pa-sal 4 ketetapan itu menyebutkan, upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus tegas terhadap siapa pun, termasuk mantan presiden Soeharto.
Pemerintah Abdurra-h-man Wahid per-nah menye-ret Soeharto ke pengadil-an. Ia dituduh melak-ukan korupsi dana lima ya-yasan. Salah satu yayasan itu ada-lah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang menampung dana wajib pajak. Dana itu dikumpulkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Isinya: wajib pajak berpenghasilan seratus juta ke atas diimbau menyetor 2 persen laba ke yayasan.
Kasus korupsi ini sempat disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2000. Pemerintah Abdurrahman- Wahid saat itu yakin bisa mengadili- Soeharto. Tapi tampaknya tidak mu-dah-. Sejumlah menteri Soeharto zaman Orde Baru aktif meyakin-kan pemerintah bahwa bekas bos mereka tak layak diadili.
Marzuki Darusman, misalnya, pernah diundang seorang mantan menteri ke kediaman Sudharmono, wakil presiden 1987-1992, yang kini sudah almarhum, di Jakarta Selatan. Isinya membicarakan kasus korupsi Soeharto itu.
Hadir dalam pertemuan itu, kata Marzuki, antara lain Sudharmono, bekas Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Ismail Saleh, bekas Kepala Bulog Bus-tanil Arifin, bekas Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Haryono Suyono, bekas Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Widjojo Nitisastro, dan bekas Menteri Sekretaris Negara (1997-1998) Saadilah Mursjid, yang kini sudah almarhum.
Dimulai pukul sepuluh pagi, pertemu-an berlangsung tegang. Sejumlah bekas menteri itu ngotot mempersoalkan landasan hukum pemerintah menyeret- Soeharto. Menurut para bekas menteri itu, semua yayasan yang dipersoalkan itu tidak pernah macet alias masih hidup. Semua utang juga rutin dibayar. ”Lalu apa gunanaya Soeharto dituntut?-” -ser-gah seorang peserta.
Beberapa menteri yang hadir di situ memang duduk dalam kepengurusan yayasan yang bermasalah itu. Semuanya- bertanya tapi, ”Yang paling sering mencecar dua orang,” kata Marzuki.
Berlangsung lebih dari dua jam, pertemuan itu diselingi makan siang. Menunya nasi kotak dari restoran Jepang. Sumber Tempo yang juga hadir dalam pertemuan itu menuturkan, Marzuki juga ngotot bahwa proses hukum atas Soeharto cukup beralasan. Dalam suasana yang tegang itu Marzuki bahkan menambahkan bahwa kejaksaan tidak cuma memeriksa lima tapi tujuh yayasan. ”Lha kok, jadi melebar,” tanya seorang peserta.
Rapat ini bubar tanpa kesimpulan. Se-jumlah mantan menteri yang hadir di situ menilai Marzuki berkeras menye-ret Soeharto. Satu-satunya peserta yang memahami sikap Marzuki adalah Moer-diono. Bekas Menteri Sekretaris Ne-gara itu, kata Marzuki, sempat bilang, ”Kita harus memahami posisi Marzuki se-bagai Jaksa Agung.”
Selain pertemuan dengan sejumlah men-teri Orde Baru itu, Marzuki juga pe-r-nah diundang bertemu Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Pertemu-an itu atas inisiatif Sudharmono. Adalah Roem Ali, Pemimpin Redaksi Media Karya—sebuah koran milik Golkar—yang diminta Sudharmono merayu Marzuki. Roem adalah kawan lama Jaksa Agung ini, juga sohib Sudharmono.
Pertemuan akhirnya berlangsung se-kitar pertengahan April 2000. Marzuki tiba di Jalan Cendana sekitar pukul tujuh malam. Disuguhi teh dan kue, pertemuan berlangsung di ruang keluarga. Hadir dalam pertemuan itu adalah Soeharto, putri tertua Soeharto Siti Hardijanti Rukmana, Sudharmono, Marzuki Darusman, dan Roem Ali.
Mengenakan baju batik, Soeharto selalu tersenyum ramah kepada tetamunya. ”Ia masih gagah, tapi bicaranya pelo,” kata Roem Ali. Tutut kerap kali mem-berikan penjelasan tambahan jika Soeharto berbicara kurang jelas. Marzuki sempat bertanya tentang keadaan Soeharto. Menurut Roem Ali, saat itu Soe-harto sempat bilang, ”Pikiran saya se-hat. Masih bisa mengingat. Cuma su-sah ngomongnya.”
Pertemuan itu, kata Marzuki, digelar- setelah tim dokter kepresidenan menya-takan Soeharto menderita kerusakan saraf permanen. Marzuki datang ke Cendana memastikan keadaan Soeharto sesungguhnya. Menurut Marzuki, ”Kesimpulan saya saat itu Soeharto masih sehat. Cuma belum tentu sehat secara medis.”
Soal perkara korupsi yang membelit- Soeharto tidak banyak dibicarakan da-lam pertemuan itu. Soeharto masih sem-pat mengantar Marzuki ke parkiran di sebelah kanan rumah. Ia berdiri cu-kup lama di pintu karena mobil pribadi Marzuki ngadat. Harus distarter ber-kali-kali.
Proses pengadilan atas kasus Soeharto- itu kemudian dihentikan karena alas-an kesehatan. Pemerintah Abdurahman Wahid lalu mengirim Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, menemui keluarga Cendana, memberikan tawaran damai. Syaratnya, Cendana sudi mengembalikan sejumlah kekayaan. Saat itu hasilnya mengambang, sementara pemerintahan kemudian berpindah ke tangan Megawati Soekarnoputri.
Selama pemerintahan Megawati, kasus Soeharto ini juga terus diambangkan. Kasus ini riuh kembali sejak dua pe-kan lalu itu. Hasilnya mengambang pu-la. Yudhoyono menyatakan masih me-ngen-dapkan, tapi pernyataan Yusril dan keputusan yang dikeluarkan kejaksa-an berbicara lain. Jaksa Agung Abdul Rah-man Saleh jelas menyatakan pember-hentian penuntutan kasus Soeharto. Ter-sangka juga dibebaskan dari status cegah alias larangan pergi ke luar ne-ge-ri.
Pemerintah tampak bersikap mendua: berusaha meredam kalangan yang meng-inginkan Soeharto tetap diadili, tapi di sisi lain juga ingin memenuhi keinginan keluarga Soeharto dan kroni-kroninya.
Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi-, yang biasanya suka memberikan penjelasan kepada wartawan, kini jadi pelit bicara. Ditemui Tempo di sela-sela acara Konferensi Tingkat Tinggi D8 di Bali pada -Jumat pekan lalu, dia hanya- me-ngatakan bahwa sikap pemerintah- seperti yang dijelaskan Yudhoyono. ”Penjelasan Pre-siden itu yang final,” -katanya.
Wenseslaus Manggut, Purwanto, Widiarsi Agustina, Budi Setyarso dan Kurniasih Budi
Mereka Bicara Kasus Soeharto
Kebijakan pemerintah menghentikan penuntutan kasus Soeharto mengundang kontroversi. Ada yang menyokong, tak sedikit yang mencelanya. Inilah pendapat mereka:
Adnan Buyung Nasution Advokat Senior
”Kasus Soeharto semestinya diserahkan ke mekanisme hukum, bukan mekanisme politik. Seharusnya hukum jadi panglima.”
Amien Rais Bekas Ketua MPR
”Di awal reformasi saya sudah mengusulkan, sebaiknya Soeharto diproses hukum, harta bendanya diambil negara, baru kemudian diampuni. Kini rakyat rugi karena ada hukum pilih kasih.”
Jusuf Kalla Wakil Presiden
”Proses persidangan tidak bisa dilanjutkan selama Soeharto masih sakit. Kasus ini akan diendapkan dulu menunggu Presiden kembali dari Bali.”
Johnson Pandjaitan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
”Ada manipulasi dalam menentukan status hukum Soeharto. Pernyataan Sekretaris Negara dan Jaksa Agung mengesankan mereka seolah-olah adalah pengacara Soeharto.”
Rachmawati Soekarnoputri Ketua Umum Partai Pelopor
”Soeharto sekarang bisa bebas bolak-balik ke rumah sakit. Dulu, Bung Karno mau diobati saja harus minta izin.”
Todung Mulya Lubis Ketua Transparency International Indonesia
”Kalaupun mengingat besar jasa Soeharto kepada negara sehingga pengampunan diberikan, itu pun harus merupakan bagian dari proses hukum.”
Zainal Maarif Wakil Ketua DPR
”Saya sudah meminta Jaksa Agung mempertimbangkan sisi kemanusiaannya. Karena sudah sangat tua, apa masih layak kasus Soeharto diteruskan?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo