Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERPUTAR-PUTAR di sekitar Pulau Nau, Kepulauan Yapen, Irian Barat, pesawat amfibi Amerika Serikat kemudian mendarat di perairan. Silas Papare, juru rawat di wilayah itu yang sedang memancing, langsung berenang menuju arah pesawat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentara Amerika yang berada di pesawat lantas menarik senjata laras panjang dan mengarahkannya kepada Silas. “Kemudian, saya ditarik ke dalam pesawat,” ujar Silas dalam catatan hariannya di buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1997.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilot kapal, Letnan Van Large, dan dua tentara lain sempat kesulitan berbicara dengan Silas. Anak ketujuh Silas, Musa Antonius Papare, mengatakan saat itu ayahnya tak fasih berbahasa Inggris dan hanya lancar berbahasa Belanda. Mereka pun berbicara menggunakan isyarat.
Dari pembicaraan itu, keempatnya bersepakat bahwa mereka punya musuh yang sama: Jepang. “Mereka akhirnya merokok Lucky Strike bersama-sama,” kata Musa di rumahnya di Kelurahan Fandoi, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Ahad, 30 Juli lalu.
Musa yang mendapat cerita dari Silas mengatakan bahwa pasukan Amerika mencari ayahnya karena mengetahui peta kekuatan Jepang di Kepulauan Yapen dan Waropen. Tentara Amerika mendapat informasi itu dari pasukan Belanda yang menjadi sekutu Abang Sam.
Silas bukan perawat biasa yang bekerja untuk pemerintah Belanda. Ia direkrut Belanda menjadi agen intelijen. Bahkan Silas pernah dikirim ke Brisbane, Australia, untuk menjalani latihan militer. Setelah itu, ia kembali ke Irian Barat. Sejak menjadi perawat pada 1935, Silas kerap berkeliling Serui, Kepulauan Yapen, hingga Jayapura.
Seusai pertemuan dengan tentara Amerika, seperti tertulis dalam buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare, Silas pun terlibat dalam sejumlah perang. “Papa kaki tangan Sekutu, Amerika,” ucap Musa. Silas diberi pangkat militer letnan satu dan menjadi pemimpin gerilya masyarakat lokal.
Pasukan Silas memetakan kekuatan Jepang di Manokwari dan Nabire. Adapun Silas menyusun pertahanan di Serui. Pada 5 Juli 1944, pasukan Amerika dan Silas mengebom kapal Jepang, Daito Maru, di sekitar Pulau Mionum. Silas memperkirakan Daito Maru membawa logistik untuk pasukan Jepang di Serui. Mereka menyerang Jepang hingga September 1944 di Manokwari.
Bantuan itu membuat Amerika memberikan penghargaan untuk Silas. Penghargaan diteken oleh Mayor Jenderal Charles A. Willoughby pada 31 Oktober 1945. Menurut Musa, penghargaan tersebut membuat Silas kerap dicap sebagai agen badan intelijen Amerika, CIA. “Itu tuduhan dari mereka yang tidak menyenangi Papa,” kata Musa.
Dalam dokumen wawancara tim Universitas Cenderawasih dengan istri Silas, Regina Aibui Rumbewas, disebutkan, setelah membantu Amerika, Silas dan keluarganya tinggal di Kampung Harapan yang saat itu disebut sebagai Kota Nica. “Silas bekerja sebagai tenaga kesehatan,” ujar Regina.
Di Kampung Harapan, Silas bertemu dengan bekas tahanan di Boven Digoel, termasuk Soegoro Atmoprasodjo. Soegoro tokoh Tamansiswa Yogyakarta bentukan Ki Hadjar Dewantara. Ia memperkenalkan nasionalisme Indonesia di tanah Papua. Soegoro dibuang ke Boven Digoel karena terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda di Jawa Tengah.
Soegoro juga memimpin lembaga pendidikan sekolah bestuur atau pamong praja di Jayapura. Ia mengajarkan kemerdekaan kepada para pemuda Papua. Selain Silas yang menjadi muridnya, ada Marthen Indey, Frans Kaisiepo, Corinus Krey, dan Lukas Rumkromen.
Pertemuan Silas dengan Soegoro membuat dia memahami konsep kemerdekaan. Silas pun menginginkan Irian Barat berada di bawah Indonesia. Berupaya mewujudkan keinginan itu, Silas bersama teman-temannya di sekolah bestuur sempat berencana membuat pemberontakan. Tapi gerakan itu tercium lebih dulu oleh Belanda.
Saat diwawancarai tim Universitas Cenderawasih pada 2 September 1990, Regina mengatakan Silas diberhentikan sebagai petugas kesehatan di Kampung Harapan karena terlibat pemberontakan. Silas ketika itu memimpin Batalyon Papua. “Dipecat lalu pulang ke Serui akhir tahun 1945,” kata Regina. Di Serui, Silas malah menjabat Kepala Rumah Sakit Zending.
Menurut Musa, ayahnya juga kecewa kepada Belanda. Sebab, pangkat letnan yang diberikan tentara Amerika diturunkan menjadi sersan oleh tentara Belanda di Jayapura. “Dia kecewa. Karena kejengkelan pribadi, akhirnya Papa ikut Indonesia,” ujar Musa.
•••
SILAS Papare lahir di Pulau Nau, Kepulauan Yapen, pada 18 Desember 1918. Orang tuanya, Musa Papare dan Dorkas Mangge, memberi nama lengkap Silas Ayari Donrai Papare. Meski lahir di keluarga petani dan nelayan, Silas memiliki semangat belajar yang tinggi dan giat bersekolah.
Pendidikan pertama yang ditempuh Silas adalah sekolah desa atau volkschool di Pulau Nau pada 1927-1930. Di sana ia kerap mendapatkan peringkat atas di antara teman-temannya. “Papa bercerita bahwa dia salah satu bintang kelas,” ucap Musa Antonius.
Setelah lulus, Silas tak langsung menempuh pendidikan selanjutnya. Ia membantu kedua orang tuanya. Satu tahun kemudian atau pada 1931, barulah Silas masuk ke sekolah juru rawat di Serui, Kepulauan Yapen.
Anak ketujuh Silas Papare, Musa Antonius Papare (kanan), dan istrinya, Agusthin Wabisen Papare, dengan latar belakang foto Silas Papare di rumahnya di Kabupaten Biak Numfor, Papua, pada 30 Juli 2023. Tempo/ Husein Abri Dongoran
Dalam buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare tertulis bahwa ayah Silas, Musa Papare, sebetulnya menginginkan anaknya menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Tujuannya agar Silas bisa menjadi pegawai negeri.
Namun, karena saat itu Serui dilanda penyakit malaria, pes, dan kolera, Musa Papare ingin anaknya menjadi dokter atau perawat. “Kondisi dan kemauan orang tua yang membawa Silas menjadi juru rawat,” ujar salah satu penulis buku biografi, Onnie Lumintang, melalui wawancara daring, Rabu, 21 Juni lalu.
Silas lulus sekolah juru rawat itu pada 1935. Menurut Musa Antonius, selama belajar menjadi perawat, ayahnya juga menempuh pendidikan koperasi, kebidanan, dan apoteker di sekolah yang sama. “Di sana Papa Silas menunjukkan banyak kemajuan,” katanya. Ketua yayasan sekolah juru rawat itu, Yaqub Bitrahel, lalu merekrut Silas menjadi asistennya.
Pekerjaan pertama Silas adalah bertugas di Rumah Sakit Zending Serui, yang kini menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Serui. Di rumah sakit milik pemerintah Belanda itu, Silas juga bertemu dengan jodohnya, Regina Aibui Rumbewas, yang sedang menempuh pendidikan di sana. Silas dan Regina menikah pada 12 April 1936.
Dua tahun bekerja di Rumah Sakit Zending, Silas ditawari oleh Yaqub Bitrahel menjadi mantri di rumah sakit perusahaan minyak bumi Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij atau NNGPM di kawasan Babo, Teluk Bintuni. Silas menerima ajakan Yaqub.
Catatan keluarga Silas menyebutkan, sebelum mengajak sejumlah mantri andalannya pindah ke rumah sakit NNGPM, Yaqub berkonflik dengan pemerintah Belanda. Ia pun memilih hengkang dari Rumah Sakit Zending. Yaqub menyatakan bahwa tenaga kesehatan tak lagi dibutuhkan di sana.
Di NNGPM, Silas bertemu dengan sejumlah juru rawat dari Jawa dan Belanda. Ia juga bekerja di yayasan internasional Fellow. Menurut Musa Antonius, ayahnya bertugas menanggulangi masalah kesehatan jika terjadi perang di kawasan Irian Barat. “Papa juga bekerja sebagai intelijen Belanda,” ucapnya. Silas bekerja di NNGPM hingga 1940.
Merangkap agen intelijen, Silas kerap mengamati kondisi di sekitarnya. Ia, misalnya, bisa mengetahui jumlah personel dan kekuatan pasukan di satu daerah. Kelak informasi ini digunakannya saat melawan Belanda.
Yorrys Raweyai, anak pahlawan nasional asal Serui, Thung Tjing Ek, mengatakan Silas salah satu mantri beken di Serui. Keluarga Thung pun berobat kepada Silas. Yorrys menyimpan sejumlah surat dari pasien yang pernah diobati oleh Silas. Warkat itu ditemukan oleh Yorrys di sebuah karung di bawah kasur ayahnya.
Salah satu surat yang dibaca Tempo menyebutkan seorang warga Serui berterima kasih kepada Silas karena ia bisa mengobati penyakit yang diderita kerabatnya. “Dulu mantri atau dokter masih sangat terbatas,” tutur Yorrys di rumahnya di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Sabtu, 24 Juni lalu.
Cresensia Setiawati, 79 tahun, warga Biak, mengatakan suaminya, Alexander The, juga pernah diurus oleh Silas dan keluarganya saat masih berusia di bawah lima tahun. Ketika itu ibu Alexander tak bisa menyusui. Akhirnya Alexander ikut menyusu pada istri Silas, Regina.
Saat Jepang menjajah Indonesia, termasuk ke Papua pada 1942, banyak warga Serui masuk ke hutan untuk menghindari perang. Saat itu Silas ditugasi oleh pemerintah Belanda mengeluarkan warga yang masuk hutan di Serui, Biak, dan Manokwari. Silas mengenal daerah tersebut karena kerjanya merangkap sebagai agen intelijen Belanda.
Upaya mengeluarkan warga dari hutan itu pun sukses. Pada 5 April 1945, Silas Papare mendapat penghargaan berupa bintang emas dari Kerajaan Belanda. Karena kondisi yang makin genting setelah Jepang masuk ke Papua, Silas pun membawa istri dan anaknya ke kampung halamannya di Pulau Nau. “Papa mengamankan keluarga,” ujar Musa Antonius.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mantri Intelijen Pengebom Jepang"