Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya dalam dua hari, 21 dan 23 Maret kemarin, dua pengaduan berturut-turut ke Komisi Ombudsman Nasional menyeret namanya. Tak tanggung-tanggung, ketua mahkamah yang mestinya amat terhormat itu malah disangkutkan dengan praktek berbau mafia peradilan.
Yang pertama adalah pengaduan vonis palsu dari seorang pensiunan polisi, Kolonel Rudi Hendrawidjaja. Rudi, tersangka kasus pemalsuan tanda tangan dalam perkara jual-beli tanah di Ujungpandang itu, terbelalak kala melihat amar putusan kasasi yang semula membebaskannya mendadak berbalik arah. Rudi kontan menuding majelis hakim yang diketuai Sarwata telah bermain mata.
Keanehan dimulai ketika ia melihat perkaranya tiba-tiba masuk golongan "satgas". Ini istilah untuk kelas perkara yang diprioritaskan. Kelar dalam waktu setahun dan tak mesti mengantre tahunan seperti ribuan kasus yang kini menumpuk di Gedung MA. Jalur tol ini, menurut Rudi, tak lepas dari peran Sarwata. Dan tentu saja, ada ongkosnya. "Mana ada yang tak pakai duit?" katanya.
Pengaduan berikut lebih telak. Kali ini nama putra kesayangan Sarwata, Wawan, ikut terseret. Sang pelapor, Ernanto Soedarno, adalah kuasa hukum Perkumpulan Pra Yuwana Surabaya, sebuah yayasan pendidikan anak nakal. Pada 1995 silam, Pra Yuwana merasa dicurangi dalam proses jual-beli tanah seluas 5.100 meter persegi senilai Rp 2 miliar dengan PT Bina Mobira Raya. Tapi, apa daya, majelis hakim di Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang dipimpin Gde Soedharta dan Mahkamah Agung yang diketuai Sarwata telah mengetukkan palunya: tanah itu mesti segera diserahkan ke PT Bina.
Kekalahan pihaknya itu, menurut Ernanto, dipenuhi sejumlah kejanggalan yang berujung ke sebuah permainan berbau mafia peradilan. Saat perkaranya diproses di pengadilan tinggi, diantar Wawan Sarwata, pihak lawannya diketahui pernah menemui Soedharta. Pada 6 Maret 1998, Ernanto kembali memergoki pihak lawannya itu pergi sekendaraan dengan Soedharta. Kecurigaannya makin tebal ketika belakangan Soedharta dan Sarwatalah yang mengetuai majelis hakim yang memeriksa perkaranya. Bahkan, dua perkara Pra Yuwana lainnya di tingkat kasasi juga langsung dipegang Sarwata. "Tampak ada indikasi suap," katanya menuding. Saat mengurus perkara, ia mengaku pernah menolak tawaran seorang staf hakim agung untuk menyetor "uang perkara" Rp 130 juta.
Nama Wawan memang sudah tak asing lagi di kalangan yang tengah berperkara di MA. Sejumlah pengacara dan mayoritas responden penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjuknya sebagai calo perkara nomor wahid. Tarifnya pun selangit. Menurut seorang sumber yang tengah mengurus kasasi, harga sekali pertemuan dengan Sarwata via Wawan mencapai Rp 50 juta. Sepak terjang Wawan ini juga dikukuhkan Ketua Komisi Hukum Nasional J.E. Sahetapy. "Perbaikan WC di Gedung MA saja pasti dia ambil," katanya. Seorang mantan hakim agung bahkan sampai jengkel berujar, "Bagaimana mau memperbaiki diri kalau anak Ketua MA sekarang terus berkeliaran."
Sayang, ketika dikonfirmasi, Sarwata dan Wawan memilih tak berkomentar. Surat permohonan wawancara, sejumlah telepon, dan upaya TEMPO menemui kedua anak-beranak itu tak bersambut. Bantahan datang dari Sekretaris Jenderal MA, Pranowo, karib dan kolega Sarwata di peradilan militer. Selama ini, Pranowo mengaku cuma pernah dua kali bertemu Wawan di kantor. Itu pun ketika Wawan mengurus pengadaan 50 komputer MA. Masih menurut Pranowo, Sarwata bahkan pernah meminta dia agar mencegah jikalau anaknya ikut-ikutan mengurus perkara.
Gde Soedartha, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta yang dicalonkan menjadi hakim agung, adalah nama berikut yang juga amat beken dalam pusaran jual-beli perkara. Seorang sumber menyodorkan penanganan kasus Hotel Legian Garden di Bali sebagai contoh kasus. Sengketa ini berawal ketika pemilik Hotel Legian, PT Pondok Asri Dewata, dianggap mengemplang kredit senilai Rp 130 miliar dari Bank Universal. Buntutnya, melalui rapat umum pemegang saham, hotel itu disepakati untuk diserahkan ke pihak Universal. Belakangan, keberatan dengan proses pengambilalihan itu, pemilik lama mengajukan gugatan. Tak dinyana, pada April lalu, ketua majelis hakim yang dipimpin Ida Bagus Ngurah Somya mengeluarkan putusan pendahuluan. Isinya, hotel mesti diserahkan kembali ke pemilik lama. Sejak itu Hotel Legian kembali dikuasai PT Pondok.
Kemenangan ini pun ternyata tak lepas dari permainan sebuah sindikat peradilan. Berbagai kejanggalan meruap. Seperti ramai diberitakan, setelah diadukan pengacara Bank Universal I Wayan Sudirta, Somya dinonpalukan karena dinilai terlibat kasus legalisasi pemalsuan surat tagihan utang PT Pondok. Belum lagi, kata sumber itu, Somya selama ini dibekingi sebuah jaringan yang melibatkan Soedharta dan Wakil Ketua MA I Ketut Suraputra.
Di belakang mereka, berdiri seorang calo perkara wahid asal Surabaya, Daniel Djoko Tarliman. Di berbagai pengadilan, nama Daniel memang kondang. Ia dikenal bertangan dingin, tak pernah kalah dalam berperkara. Pengacara ini dikenal menguasai hakim di wilayah Bali, Surabaya, Semarang, sampai Jakarta. Kedigdayaannya itu tak lepas dari hubungan intimnya dengan Suraputra. Untuk menunjukkan derajat kedekatannya, ke mana-mana Daniel sampai mengendarai mobil dinas Suraputra dan menenteng-nenteng KTP Suraputra. Dalam kasus Hotel Legian, salah seorang ipar Suraputra juga diketahui menjadi anggota tim pembela PT Pondok. Rumah pribadi Suraputra di Singaraja, Bali, pun kabarnya dibangun dari kocek Daniel.
Kesaktian Daniel, tuding sumber itu, tak sebatas mengatur perkara dari balik layar. Ia juga begitu berpengaruh dalam mengatur penempatan para hakim karibnya ke berbagai pos strategis. Soedharta dikenal mulai lengket dengannya ketika menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Indikasi lain adalah ketika ia bersama Suraputra gencar berupaya menggeser Ketua Pengadilan Negeri Denpasar Hesmu Purwanto, yang dinilai kelewat lurus dalam menangani perkara Hotel Legian.
Kepada TEMPO, Hakim Hesmu yang membatalkan putusan provisi Somya mengaku pernah "diperingatkan" ihwal ipar Suraputra yang menjadi pengacara PT Pondok itu. Juga, adanya ancaman bakal dimutasi dari Denpasar. Toh, Hesmu tak menggubrisnya.
Salah satu pengacara Daniel, Riad Balhmar, pun pernah dipergoki sumber TEMPO saat mencoba "membeli" surat sakti MA untuk membatalkan putusan Hakim Hesmu itu. Harga yang diajukan luar biasa, mencapai Rp 800 juta. Tawar-menawar itu berlangsung sekitar Februari lalu di ruangan dekat kantor Wakil Sekjen MA di lantai satu Gedung MA.
Keberadaan jaringan itu dikukuhkan seorang petinggi MA. "Gde Soedharta itu alap-alap," ujarnya. Sebuah analogi tak sedap. Alap-alap adalah sejenis elang pemangsa burung kecil yang kerap dijadikan julukan "kehormatan" bagi seorang pencoleng kawakan. Bakat ini mulai menempel sejak hakim pemilik mobil luks Mercedes Benz dan sejumlah rumah mewah ini bertugas di Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Soedharta juga dikenal luas sebagai "orangnya" Ketut Suraputra.
Sayang, Soedharta dan Suraputra tak dapat dimintai penjelasan. Setelah dikontak berulang kali dan didatangi ke rumahnya di kawasan Kuningan, Jakarta, Suraputra tak bisa dihubungi. Gde Soedharta sama saja. Adik iparnya menyatakan Soedharta tak bisa diwawancarai karena sedang tergolek sakit. Tapi Sekjen MA Pranowo tegas membantahnya. "Memang, saya mendengar soal mafia Bali itu, tapi saya kira itu tidak ada," katanya.
Daniel dan Riad juga tegas membantah tudingan itu. Selain urusan pelesir ke Bali, Daniel menyatakan tak pernah punya satu pun perkara di daerah ini. Mereka berdua malah mengaku tak saling kenal, apalagi bekerja sama dalam sebuah jaringan mafia peradilan. Begitu pula soal kedekatan mereka dengan Soedharta dan Suraputra. Riad menuding balik. Menurut dia, salah seorang pengacara pihak Bank Universal tak lain adalah anak seorang Ketua Muda MA. "Jadi, yang sebenarnya mafia itu siapa?" katanya.
Terlepas dari siapa yang benar dari saling tuding itu, fakta keberadaan mafia peradilan agaknya tak terbantahkan. Survei ICW terhadap 103 pihak yang pernah berperkara di MA itu menunjuk ke satu arah. Mahkamah Agung, yang mestinya jadi pengawas terdepan bagi setiap praktek kotor ala mafia peradilan, kini justru berkubang di dalamnya. Mayoritas responden mengaku pernah didatangi para calo--mulai dari panitera sampai orang suruhan para hakim agung--dan pernah membayar sejumlah upeti. Penelitian itu, kata Koordinator ICW Teten Masduki, juga mengungkap berbagai modus praktek mafia peradilan seperti yang terungkap dalam contoh kasus di atas. Praktek jual-beli vonis, pengaturan majelis hakim, sampai keterlibatan sejumlah calo perkara dari kalangan anak petinggi MA adalah sebuah kenyataan di depan mata.
Jadi, tak terlalu berlebihan kiranya jika Mahkamah Agung kini dijuluki sebagai sarang pencoleng.
Karaniya Dharmasaputra, Dwi Arjanto, Rommy Fibri, Jalil Hakim (Surabaya), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo