Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menegakkan Benang Basah

Bagaimana Korea Selatan dan Meksiko melakukan reformasi hukum?

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA pun yang mencoba menggagas pembaruan hukum di Indonesia tampaknya harus frustrasi. Tak hanya hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari krisis multidimensional yang luas dan mendalam. Krisis hukum negeri ini telah mencapai tahap yang sulit dicari padanannya di dunia. Profesor Daniel Lev, ahli Indonesia dari Universitas Washington, Amerika Serikat, mengaku susah mencari negara yang punya kesulitan sepadan dengan Indonesia dalam melakukan reformasi lembaga peradilan. "Kerusakan sistem hukum di Indonesia ini sudah sangat kronis," ujarnya. Lembaga peradilan Indonesia, menurut Lev, sudah mulai dihancurkan sejak 1960-an. Pada masa Orde Baru, rezim militer Indonesia merontokkannya secara lebih sistematis dan bahkan menjadikan dirinya sebagai hukum satu-satunya. Kediktatoran bukanlah khas Indonesia, tapi di Thailand, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan, mereka menyisakan institusi-institusi hukum yang cukup baik dan dipercaya. Penyakit yang parah hanya bisa disembuhkan lewat operasi—sebuah upaya radikal—untuk membongkar sumbernya. Dalam kasus hukum, pembenahan radikal harus dimulai dari mata airnya: Mahkamah Agung. Dan itulah yang dilakukan oleh Meksiko atau Korea Selatan. Meski tidak mirip benar, Meksiko dan Korea Selatan punya sejarah politik yang tak jauh berbeda dari Indonesia. Keduanya menderita kerusakan hukum parah setelah tergerogoti kediktatoran militer (Chun Doo Hwan di Korea Selatan) dan sistem partai tunggal yang korup (Partai Kelembagaan Revolusioner di Meksiko). Indonesia memang lebih parah: kediktatoran militer sekaligus sistem kuasi partai tunggal (Golkar). Reformasi lembaga peradilan di Meksiko dipicu perubahan politik penting. Pada 1988, Partai Kelembagaan Revolusioner (PRI), yang terus-menerus berkuasa selama setengah abad terakhir, merosot popularitasnya. Tahun itu mereka hanya meraih 50 persen suara, tidak seperti biasanya yang mencapai 70 persen. Partai ini memang berhasil mendudukkan calon presidennya, Carlos Salinas de Gortary. Namun, PRI harus membayar besar—untuk sesuatu yang pastilah disyukuri oleh publik pemilihnya. Salinas, doktor ekonomi lulusan Universitas Harvard, memenuhi janji kampanyenya, yakni merombak sistem politik dan ekonomi Meksiko yang saat itu mirip dengan Indonesia pada akhir era Soeharto: kekuasaan negara sudah begitu tiranik dan korupsi serta nepotisme sudah amat berkarat. Salinas melakukan reformasi politik antara lain dengan membatasi masa jabatan presiden dan memberikan kelonggaran kepada oposisi, suatu hal yang juga dilakukan B.J. Habibie di sini. Namun, tak cukup memuaskan. Di tengah perolehan suara yang terus merosot, pada 1994 presiden baru dari PRI, Ernesto Zedillo, melakukan langkah lebih jauh: reformasi lembaga yudikatif. Sekitar 40 hakim agung diuji ulang kredibilitasnya. Mereka harus mengikuti tes kemampuan dan kecakapan untuk tetap menduduki hakim agung. Hanya sekitar 15 persen yang lolos, selebihnya dibebaskan selamanya dari posisi hakim agung. Langkah ini membuahkan hasil: peradilan Meksiko mulai bisa menyidangkan skandal-skandal besar yang melibatkan politisi dan konglomerat. Korea Selatan juga melakukan hal serupa. Pemerintahan Kim Dae Jung akhirnya bahkan bisa menyeret mantan presiden Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo ke pengadilan. Mereka dinyatakan bersalah. Meski pemerintahan Kim akhirnya memaafkan keduanya, proses pengadilan yang jernih itu sendiri telah memulihkan kewibawaan lembaga peradilan dan memberikan bukti bahwa hukum telah ditegakkan. Melihat dua contoh tadi, reformasi hukum tak bisa dipisahkan oleh reformasi politik. Namun, pembaruan sistem politik saja tidak cukup jika tak dibarengi oleh kesediaan para politisi untuk melakukan langkah yang berisiko. Mungkinkah itu dilakukan di Indonesia? Presiden Abdurrahman Wahid sebenarnya memperoleh legitimasi politik yang cukup besar untuk membuat langkah yang sama radikalnya. Namun, dia lebih menonjolkan pemberian maaf kepada Soeharto, misalnya, ketimbang menegakkan kewibawaan hukum. Juga masih diragukan keberanian dia, bersama kalangan wakil rakyat seperti Akbar Tandjung dan Amien Rais, untuk menerapkan langkah tidak populer mendukung reformasi tuntas di Mahkamah Agung. Bahkan Benjamin Mangkoedilaga, salah satu tokoh yang disebut-sebut sebagai kandidat Ketua MA mendatang, menyatakan ragu bahwa resep Meksiko bisa dilakukan di sini. "Jika itu diterapkan secara ketat di Indonesia, bisa memunculkan gejolak," katanya. Tidak ada upaya tanpa risiko. Namun, sayang, kebanyakan orang tidak bersedia menanggung risiko. Farid Gaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus