Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“MEREKA memanggilku Ratu Adil,” demikian Raymond Westerling berucap kepada Johan de Vries (Martijn Lakemeier). Sang protégé menatapnya dengan sinar mata takjub.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, setahun sebelumnya. Jepang sudah pergi meski masih ada sisa-sisanya yang mencoba mengais pengaruh dan harta, sementara Belanda berkeras bahwa Indonesia—atau Hindia Belanda bagi mereka—adalah koloni yang harus mereka dekap seeratnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raymond Westerling (diperankan dengan baik oleh Marwan Kenzari) tengah menikmati makan malam di Semarang, setelah Johan de Vries diam-diam menyelinap dari pasukannya dan mendampingi Westerling melakukan serangkaian operasi “gelap” yang hanya diketahui beberapa petinggi.
“Pahamkah kau apa arti Ratu Adil?” tanya Westerling menatap Johan dengan tajam. Johan menggelengkan kepalanya.
Westerling menjelaskan kepercayaan penduduk tentang “sang penyelamat” yang kelak datang. “Mereka menganggap saya penyelamat itu,” kata Westerling sembari menceritakan bagaimana selama ini dia menjadi orang yang selalu didatangi penduduk jika diganggu begal, perampok, atau apa yang dia sebut sebagai “teroris”. Pada saat itulah kita mulai mengenal sosok Raymond Westerling yang selama ini hanya dikenal dari baris-baris buku sejarah sebagai pembantai penduduk Sulawesi.
Adegan dalam film De Oost. YouTube Amazon Prime Video Nederland
Sutradara Jim Taihuttu sengaja menciptakan sosok fiktif Johan de Vries yang bisa mewakili penonton. Johan adalah lelaki muda penuh semangat yang masih mudah takjub pada kegagahan dan keberanian seperti yang diperlihatkan Westerling. Dia bergabung dengan pasukan sukarelawan Belanda agar bisa merebut Hindia Belanda kembali ke pangkuan Kerajaan.
Film ini dimulai dengan Johan yang melangkahkan kakinya ke tanah Indonesia, yang tembok-temboknya di sepanjang jalan dengan berani menampakkan grafiti “Dutch, go home”. Juga nama Sukarno yang menjadi pembicaraan di mana-mana, termasuk dalam pidato para komandan. Nama pemimpin Indonesia ini menjadi momok bagi petinggi militer Belanda yang kebelet ingin “merebut” kembali apa yang dianggap milik mereka: Indonesia.
Dengan cermat dan perlahan, beberapa puluh menit awal film ini masih mencoba membangun sebuah suasana perkenalan dan renungan Johan. Ia bertanya-tanya, mengapa tak ada aksi apa pun? Sebab, berhari-hari mereka hanya berpatroli. Sesekali, ketika mereka melihat warga desa saling membunuh pun, komandan bersabda bahwa mereka tak perlu melakukan apa pun. Maka tak mengherankan ketika pertama kali Johan bertemu dengan Westerling dalam sebuah insiden di pasar, dia langsung kagum. Dari kawan-kawannya, dia mengenal nama The Turk, julukan Westerling, yang memang lahir di Istanbul, Turki, dari orang tua Belanda dan Yunani.
Reputasi The Turk alias Westerling tengah meteorik terutama karena rekam jejak pelatihan yang diperolehnya di Skotlandia yang keras dan berat sebelum akhirnya dia ditugasi ke India.
Film ini sesungguhnya kisah tentang sepak terjang Westerling dari sepasang mata biru Johan de Vries. Johan sendiri digambarkan sebagai tentara Belanda yang agak berbeda dari kelompoknya. Meski Johan adalah tentara yang merasa harus membela “wilayah Kerajaan Belanda”, dia menyempatkan diri mempelajari bahasa Indonesia dan membiarkan dirinya mempunyai kedekatan emosional dengan penduduk, terutama seorang perempuan Semarang bernama Gita (Denise Aznam).
Film ini baru mulai terasa bergerak lebih cepat setelah 30 menit, ketika tokoh Raymond Westerling mulai mendominasi serangkaian operasi membasmi kelompok pemberontak. Adalah salah satu penduduk kampung bernama Bakar (Lukman Sardi) yang meminta pertolongan Westerling untuk membasmi “pemberontak yang mengganggu keluarga saya”. Itulah operasi gelap pertama yang melibatkan Johan sebagai anggota pasukan Westerling. Dan, pada titik ini, film mulai terasa dinamis.
Dalam beberapa hal, Jim Taihuttu bersetia pada data sejarah, misalnya fakta bahwa Westerling menerima carte blanche untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan melakukan aksi pembersihan. Dia diangkat menjadi Komando Depot Pasukan Khusus atau Depot Speciale Troepen (DST) dan melatih 120 anggota DST yang kemudian dibawa ke Makassar. Sebelum berangkat, Westerling menguarkan pidato bahwa mereka bertugas melakukan “cleansing” atau pembersihan tanah Sulawesi dari pemberontak “demi perdamaian”. Semua aturan militer dan tata cara politik yang biasa menjadi pegangan tentara dibuang dan Westerling menggunakan cara sendiri—yang kelak dikenal sebagai Pembantaian Westerling.
Di sinilah kita menyaksikan wajah Johan yang semula penuh ketakjuban pada pemimpinnya perlahan menjadi ragu, tak nyaman, dan belakangan meningkat menjadi gelisah. Ketika Westerling dan pasukan DST menggunakan metode Gestapo dalam membakar, menangkapi, menembak penduduk desa (dalam sejarah Indonesia mencapai 40 ribu orang), Johan nekat memberanikan diri menemuinya untuk mempertanyakan metodenya. “Kita tak bisa seratus persen yakin penduduk yang langsung ditembak itu memang terlibat dalam pemberontakan,” ujar Johan mencoba meyakinkan Westerling, yang saban hari mempunyai jadwal menembaki sederetan warga.
Westerling tentu saja mengabaikan protes itu.
Dalam catatan sejarah, Westerling dipuja-puji media dan masyarakat Belanda saat itu, sementara sebagian petinggi Belanda konon gerah terhadap metodenya. Setelah dua tahun, wewenang Westerling dihentikan. Meski tetap populer di banyak kalangan Belanda, toh, dia akhirnya hidup nyaris seperti buron VIP yang tetap dilindungi orang-orang yang menyukainya.
Tapi kisah Westerling yang sesuai dengan fakta berhenti di situ karena Jim Taihuttu memilih menyelesaikan kisah Johan de Vries. Johan yang merasa “termanipulasi” oleh gelora Westerling mempunyai agendanya sendiri. Taihuttu menggunakan kebebasan lisensi kreativitasnya untuk membuat sebuah ilusi bagaimana seharusnya seorang Westerling. Apa yang terjadi dalam hidup nyata memang tak adil karena Westerling tak pernah menjalani pengadilan pelanggaran hak asasi manusia, dan dia meninggal karena sakit.
Tak mengherankan Taihuttu kemudian menampilkan beberapa adegan fiktif di antara gelora adegan opera.
Dari sisi sinematografi dan seni peran, film ini sungguh berhasil mencengkeram perhatian kita sepanjang film. Baik Marwan Kenzari sebagai Westerling yang dingin, taktis, dan penuh perhitungan maupun Martijn Lakemeier yang mengalami perkembangan karakter, keduanya berhasil meniupkan roh ke dalam karakter masing-masing. Scoring musik di tangan Gino Taihuttu yang sangat tepat hanya sesekali menggunakan gamelan dengan subtil pada saat-saat sunyi justru menunjukkan bahwa scoring tak berarti harus berisik dengan musik.
Bagi penonton Belanda, tampaknya tak semuanya bisa menyaksikan film ini dengan nyaman karena mereka seperti dipaksa menguak lembaran gelap dalam sejarah mereka. Bagi penonton Indonesia, film ini tetap sebuah film Belanda, bukan hanya karena rakyat Indonesia dalam film yang berada pada posisi peripheral (antara lain pemberontak, pelacur, penduduk yang menyajikan kelapa muda), tapi juga lantaran film tersebut memang dibuat dari mata Belanda yang ingin mengakui apa yang pernah terjadi dalam sejarah mereka. Sementara dalam sejarah Indonesia pembantaian Westerling dicatat dengan huruf kapital dan darah, sosok Westerling masih penuh kontroversi di Belanda.
Jim Taihuttu menyutradarai sebuah film yang tak mudah, tapi dia sudah pasti menghasilkan film yang penting. De Oost adalah sebuah pengakuan, sebuah interpretasi, dan pada saat yang sama sebuah pertanyaan (kembali) kepada kita semua: bagaimana kita harus mendefinisikan sebuah peristiwa berdarah?
LEILA S. CHUDORI
Poster film De Oost. New Amsterdam Film Company
DE OOST
Sutradara:
Jim Taihuttu
Penulis skenario:
Mustafa Duygulu, Jim Taihuttu
Pemain:
Martijn Lakemeier, Marwan Kenzari, Jonas Smulders, Joes Brauers, Lukman Sardi, Yayu Unru
Produksi:
New Amsterdam Film Company, Salto Films, Wrong Men North
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo