Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Skripsi A.D. Pirous diterbitkan menjadi buku.
Skripsi Pirous mengenai poster-poster perjuangan yang dibuat selama zaman Jepang dan era kemerdekaan.
Menurut Pirous, keterampilan para perupa Indonesia membuat poster propaganda digembleng di Keimin Bunko Shidoso.
DARI informasi foto di majalah Seniman terbitan 1947, ukuran gambar propaganda tersebut cukup besar: 5 x 3 dan 1,2 meter. Pasti semacam baliho yang dipancangkan di tempat umum. Propaganda buatan 1946 itu dibuat Surono, perupa kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, yang pada 1945-an banyak membuat poster perjuangan di Yogyakarta. Baliho itu dibuat untuk memperingati Hari Pahlawan. Surono menampilkan gambar seorang pejuang Indonesia berdiri dengan kedua tangan memegang senapan. Di atas ada tulisan: “10 Nopember Hari Pahlawan”. Dan di bawah ada teks: “Kami tahu kami pembela Kemerdekaan Manusia”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari majalah Seniman terbitan 1947 itu juga terdapat data foto bahwa Surono dan kawan-kawan membuat baliho sablon lain berukuran 3,5 x 3,5 meter. Baliho itu menampilkan teks besar bertulisan: “Many thanks and best wishes Australia”. Di atas teks dengan huruf bold hitam itu terdapat gambar sepasang laki-laki dan perempuan bersayap mengarungi bintang gemintang. Baliho itu dibuat Surono untuk menyampaikan rasa simpati Indonesia kepada serikat kaum buruh pelabuhan Sydney, Australia, yang pada 16 April 1946 mogok menolak bekerja di tujuh kapal Belanda yang berlabuh di dermaga Sydney. Sebab, kapal itu membawa persenjataan dan amunisi untuk menyerang Indonesia. Para buruh itu mendukung kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar, kalimat, dan tipografi teks di kedua baliho tersebut diulas oleh Abadul Djalil Pirous dalam skripsinya. Menariknya, skripsi Pirous bukan mengenai sejarah lukisan abstrak atau berkaitan dengan dunia seni lukisan abstrak. Bukan juga tentang kaligrafi atau bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipresentasikan dalam seni kontemporer Indonesia. Ini dua hal yang melekat pada A.D. Pirous kini. Karya A.D. Pirous yang satu ini mengulas poster-poster perjuangan yang dibuat selama zaman Jepang dan era kemerdekaan. Sekalipun pada era sekarang studi tentang propaganda di zaman Jepang sudah cukup banyak (misalnya pengamat seni rupa Antariksa, Mikke Santoso, dan Aminuddin Th. Siregar pernah memaparkannya dalam beberapa seminar terpisah), ada info-info pada skripsi A.D. Pirous yang jarang diulas dan bisa diriset lebih jauh.
Poster mengenai keganasan Westerling di Sulawesi. Reproduksi dari Documenta Historica. Buku Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan
Misalnya tentang bagaimana Surono melukis baliho yang menyatakan simpati kepada serikat pekerja pelabuhan Australia tersebut. Selama ini peristiwa pemogokan tersebut kita ketahui dari buku Rupert Lockwood, Armada Hitam, yang diterjemahkan Koesalah Soebagya Toer, dan dari film dokumenter Indonesia Calling karya Joris Ivens. Ivens adalah sineas dokumenter terkenal Belanda. Dia terkenal antifasis dan banyak membuat film dokumenter antiimperialis di Cina, Uni Soviet, Spanyol, sampai Vietnam. Indonesia Calling yang diproduksi oleh Waterside Worker Union Australia pada 1946 menampilkan rekaman para pekerja pelabuhan Australia menyokong para pelaut Indonesia yang bekerja di Australia. Mereka menamakan kapal-kapal Belanda sebagai armada hitam. Mereka mogok massal. Adegan mengharukan adalah saat pihak Belanda bisa menitipkan kargonya ke sebuah kapal yang dinakhodai pelaut India dan “lolos”. Para buruh pelabuhan Australia dengan boat mengejar kapal dan berteriak: “Indonesia dan India sama-sama antikolonialisme”. Sampai akhirnya para pelaut India balik, tak mau membawa kapal. Info Pirous bahwa Surono pernah membuat baliho soal itu menjadi penting.
Tahun 1964 tatkala Pirous membuat skripsinya, di Jakarta dan Bandung masih banyak dihiasi oleh baliho-baliho dan spanduk raksasa program Sukarno, seperti “Pengganyangan Malaysia”, “Ganefo”, dan “Konferensi-konferensi Buruh Asia-Afrika”. Agaknya suasana itu membuat Pirous tertarik menelusuri pariwara perjuangan. Bagaimana perupa Indonesia seperti Sudjojono, Affandi, dan Srihadi, aktif memproduksi poster-poster perjuangan. Pirous banyak mewawancarai mereka.
Pariwara propaganda sendiri adalah hal umum di masa perang. Menurut Pirous, pada Perang Dunia I, Inggris mencetak dua setengah juta lembar poster seruan perjuangan. Poster-poster ini dibuat oleh lebih dari 100 seniman. Tema-tema peringatan seperti “Awas mata-mata musuh” adalah tema umum sepanjang Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Namun, menurut Pirous, kebanyakan poster perjuangan tema, desain, bentuk, dan tipografinya tidak beranjak jauh dari poster pariwara pasta-pasta gigi, sabun-sabun mandi, margarin, dan sebagainya. Perbedaannya hanya terletak pada teks yang garang.
Keterampilan para perupa Indonesia membuat poster propaganda, menurut Pirous, digembleng di Keimin Bunko Shidoso. Seniman seperti Sudjojono, Subanto Surjosubandrio, dan Surono belajar kepada perupa Jepang: Kohno, Yasioka, Ono Saseo, Yamamoto, dan Tamura. Mereka inilah yang menjadi inti dalam menggerakkan pembuatan seni pariwara dalam format besar. Di zaman Jepang propaganda-propaganda raksasa banyak dipasang di jalan. Sayembara-sayembara membikin pariwara untuk umum dan anak sekolahan juga diadakan.
Poster yang digagas oleh Sudjojono dan dibuat oleh Surono, mengimbau agar para perempuan turut terjun ke revolusi. Buku Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan
Pirous menganalisis berbagai gambar propaganda di zaman Jepang. Salah satu yang dianggapnya menarik adalah poster bertulisan: “Awas moesoeh mengintai mangsanja”. Seluruh bidang poster itu didominasi oleh susunan huruf, hanya di bagian pojok kanan atas ada gambar kalajengking. Poster itu, menurut Pirous, sangat berhasil meski minim ilustrasi. Pirous mengamati berbagai gaya tipografi dan gambar poster berkaitan dengan pengganyangan Sekutu. Salah satu pariwara berukuran besar yang muncul di zaman Jepang tapi terus bertahan pada zaman revolusi adalah baliho buatan 1944: “Amerika Kita Setrika, Inggris Kita Linggis”. Baliho itu menggambarkan Winston Churchill bersosok cebol kelabakan menampung jatuhnya bom-bom Jepang.
Pirous melihat banyak inovasi desain baru saat zaman Jepang. Dalam poster-poster tampilan semboyan-semboyan lebih padat, tidak bertele-tele, dan cepat menggugah perasaan. Gambar-gambar pun lebih sederhana dan menekankan kesegaran yang mudah dimengerti publik. Pirous menyebutkan gaya Subanto Surjosubandrio menciptakan poster sangat berpengaruh bagi seniman Indonesia. Sayang, dia tidak menjelaskan lebih dalam riwayat Subanto. Ini menurut saya merupakan peluang bagi peneliti seni rupa kita untuk membuat monografi yang mendalami riwayat Subanto. Pun monografi tentang Surono yang menurut Pirous dari zaman Jepang sampai pasca-1945 tak henti-hentinya bergulat membuat baliho-baliho gigantik.
Tatkala Jepang angkat kaki, tak syak ujung tombak pembuat baliho perjuangan adalah bekas-bekas anggota Keimin Bunka Shidoso, seperti Sudjojono, Surono, dan seniman-seniman dari Seniman Indonesia Muda yang didirikan Sudjojono pada 1946 di Madiun, Jawa Timur. Sebuah poster yang mengimbau agar para perempuan turut terjun ke revolusi, misalnya, digagas oleh Sudjojono dan eksekusi visualnya oleh Surono. Poster itu menampilkan wajah close-up seorang perempuan dari samping memanggul senjata, dengan siluet para serdadu laki-laki di belakangnya, bertulisan: “Betina dan Djantan Sama”. Dalam wawancaranya dengan Surono, Pirous mendapat info bahwa tatkala delegasi Komisi Tiga Negara (Amerika, Australia, dan Belgia) datang ke Yogyakarta pada Agustus 1947, seniman banyak membuat baliho-spanduk-poster dari Bandar Udara Maguwo sampai tengah kota.
Di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Malioboro, misalnya, Surono membuat pariwara besar yang gambarnya diambil dari lukisan revolusi rakyat Prancis, karya Delacroix buatan 1830: “Liberty leading the people”. Pariwara itu menampilkan seorang pejuang berdiri mengacungkan tangan dikelilingi pejuang lain. Di atas gambar ada teks berbunyi “Allons enfants de la patriel Le jour de gloire est arrive” yang merupakan petilan bait lagu kebangsaan Prancis: “La Marseillaise”. Di bagian bawah gambar terdapat kalimat: “Madjoelah madjoelah anak djantan tanah airkoe hari kemerdekaan pasti datang”. Tentu saja zaman itu bukan hanya Sudjojono dan Surono yang membuat propaganda perjuangan. Sebuah poster kuat yang berkaitan dengan kekejaman Westerling, misalnya, yang menurut Pirous tidak diketahui pembuatnya. Poster itu bergambar serdadu Belanda dengan tank-tank di belakangnya yang siap menembak ratusan warga yang dikumpulkan. Di atas gambar itu terdapat teks: “11 Desember 1946, 40.000 korban di Sulawesi”. Di bawah gambar terdapat kalimat: “Darah mengalir djiwa melayang. Pembersihan bengis kedjam yang tak kundjung padam”.
Salah satu poster propaganda zaman pendudukan Jepang yang dianalisis oleh Pirous. Digambar kembali berdasarkan gambar asli dari Majalah Djawa Baroe, 2603 (1943). Buku Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan
Dalam wawancaranya dengan Pirous, Surono mengatakan yang paling utama dalam penciptaan pariwara perjuangan adalah adanya gagasan yang jitu. Motifnya tidak dibuat-buat, harus wajar, dan logis. Bagi Surono, nilai gambar tidak begitu penting dibanding gagasan dan semboyan yang dikemukakan. Bila tidak menyentuh persoalan, pariwara itu bagi Surono akan gagal. Telaah skripsi Pirous ini semua didasarkan pada analisis atas foto-foto poster, spanduk, dan baliho yang termuat di majalah. Bukan dari baliho atau spanduk fisik asli yang masih tersimpan. Meski pembuatan skripsi ini hanya berpaut sekitar 20 tahun dari masa-masa perjuangan—mungkin sudah susah mendapatkan pariwara-pariwara yang tadinya dipasang di jalanan tersebut—itu berbeda dengan lukisan. Sebagian besar lukisan perjuangan masih dikoleksi Istana Negara.
Pameran “Revolusi!” di Rijksmuseum Amsterdam yang masih berlangsung saat ini, misalnya, semula menginginkan tujuh masterpiece lukisan perjuangan Indonesia dari Dullah, Henk Ngantung, Sudjojono, Basoeki Abdullah, Affandi, dan Harijadi Sumadidjaja dibawa ke Belanda. Semua lukisan itu masih terdapat di Istana, meski kemudian tak jadi dikirim. Sementara itu, gulungan sablon pada kain dan plakat-plakat propaganda mungkin kebanyakan telah musnah dan hanya bisa kita lihat foto-fotonya dari arsip-arsip.
Dari buku A.D. Pirous kita melihat poster-poster dan pariwara perjuangan bukan hanya poster karya Affandi: “Boeng Ayo Boeng” yang terkenal karena kalimatnya berasal dari Chairil Anwar. Kita melihat foto langka Surono dan Saptohudoyo (yang kelak dikenal sebagai pelukis batik) berdiri di atas baliho raksasa buatan mereka. Kita melihat banyak foto propaganda perjuangan lain. Salah satunya yang terasa menohok dan mungkin masih relevan ditujukan kepada kita sekarang adalah karya Surono pada 1947, bergambar seorang serdadu pincang mengenakan kruk di tangan kirinya dan tangan kanannya menuding kita dengan tulisan: “Apa Djasamoe bagi Repoeblik”.
Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan
Karya: A.D. Pirous
Penerbit: Program Studi Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB
Tahun terbit: 2022
Jumlah halaman: 173
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo