Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Adegan Gombloh mengenang pelacur mendapat porsi besar dalam naskah Panggil Aku Gombloh yang disajikan di Gedung Kesenian Jakarta, 27 April lalu.
Naskah monolog tentang Kassian Chepas cenderung menampilkan riwayat pendek Cephas secara kronologis, bukan mencoba berangkat dari sebuah persoalan tertentu.
Monolog Gombloh dan Cephas merupakan bagian dari seri pentas lima monolog.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYUP-SAYUP lagu Gombloh, “Loni, Pelacur dan Pelacurku”, terdengar saat aktor Bandung, Wanggi Hoediyatno, yang memerankan Gombloh, sampai pada adegan Gombloh di depan tumpukan beha dan celana dalam mengenang para pelacur sahabatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daun-daun jati terlepas-lepas
Terbang melayang satu di badannya…
Lagu Gombloh bersama Lemon Tree’s Anno 69 yang berbau balada itu mampu membawa adegan ke suasana kepahitan. Gombloh dikenal sebagai musikus yang sangat dekat dengan kompleks pelacuran Dolly, Surabaya. Banyak lagu Gombloh yang muncul dari pengamatannya atas kehidupan pelacur. Lagu “Loni” itu dibuat Gombloh berdasarkan kisah nyata seorang pelacur di Dolly bernama Loni. Lirik daun-daun jati menceritakan bagaimana Loni kembali ke desanya, disambut embusan daun-daun jati, menemui suaminya yang sakit tuberkulosis.
Satu per satu “Gombloh” mengangkat beha dan celana dalam. Dia hafal mana yang milik Loni, Vita, Tiwuk, sampai Kisut. Dia tahu ukuran payudara mereka. Wanggi cukup berhasil saat menyusun-nyusun gunungan beha. Ada sensasi getir di situ. Adegan Gombloh mengenang pelacur mendapat porsi besar dalam naskah Panggil Aku Gombloh yang disajikan di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu, 27 April lalu. Gombloh kemudian seolah-olah bernostalgia, menertawai diri sendiri. Ia ingat mana pelacur yang ditaksirnya, mana yang membuatnya cemburu. Lagu “Mulyati, Mulyati”, yang bercerita tentang seorang pelacur gemuk, kemudian menguar di panggung.
Naskah monolog ini dibuat oleh Guruh Dimas Nugraha, yang pernah menerbitkan buku Gombloh: Revolusi Cinta dari Surabaya, dan kemudian ditafsirkan oleh Agus Noor serta sutradara Joind Bayuwinanda. Monolog ini diawali adegan Gombloh tertidur, lalu terperenyak kaget, bangun tatkala mendengar radio menyuarakan lagu populernya: “Kugadaikan Cintaku”. Ia hendak membanting radio. Menarik bahwa sejak awal kita sudah dihadapkan pada suatu dilema psikologis Gombloh. Joind Bayuwinanda secara efektif langsung mampu memasukkan penonton ke kegelisahan Gombloh. Gombloh ternyata merasa malu kepada diri sendiri karena lagu “Kugadaikan Cintaku” demikian cengeng—dan tak reflektif sebagaimana lagu-lagu khasnya bersama Lemon Tree’s Anno 69 seperti “Sekar Mayang” dan “Kebyar-kebyar”.
Pemusik, Gombloh, bersama istrinya, Wiwik, Surabaya, Jawa Timur, 1982. Dok. TEMPO/Dharma Dewangga
Gombloh alias Wanggi selanjutnya menjelaskan bagaimana awal mula lagu itu tercipta. Bos Nirwana Record menginginkan Gombloh membuat lagu seperti lagu penyanyi reggae Jimmy Cliff, “Wonderful World, Beautiful People”. Ringan, ceria, tentang kisah cinta remaja. Beberapa nada “Kugadaikan Cintaku”, kalau kita dengarkan, memang mirip lagu tersebut. Nirwana Record sejak 1983 telah mengontrak Gombloh untuk album Gila.
Nirwana Record waktu itu label pop arus utama Indonesia. Label itu juga merilis album musikus Ebiet G. Ade dan Doel Sumbang. Syahdan, aura album Gila milik Gombloh mengarah ke album Bob Dylan, Blood on the Tracks. Nirwana Record mempersiapkan album itu sebagai “jembatan perubahan” Gombloh dari jenis musik yang pekat dan berbau progressive folk bersama Lemon Tree’s menuju pop. Tatkala “Kugadaikan Cintaku” dirilis pada 1986, kuping pendengar remaja sudah siap menerima “Gombloh baru”. Album itu meledak dengan 500 ribu kaset terjual.
Kita tak tahu apakah memang Gombloh benar-benar jengkel terhadap lagunya itu. Apakah ia merasa sedikit “bersalah” karena mengekor Jimmy Cliff? Tapi tak jadi masalah. Sebagai pintu masuk, adegan itu bagus. Apabila monolog ini terus menanjakkan alurnya bertolak dari kegusaran Gombloh itu, tentu akan tercipta dramaturgi yang kuat. Tapi memang Joind masih tergoda berbelok sedikit menampilkan adegan penceritaan riwayat masa kecil Gombloh, ibunya, dan masa pacarannya.
Kecenderungan monolog lebih sebagai penceritaan biografi kecil yang lengkap muncul sejak Happy Salma memainkan monolog tokoh seperti Inggit Garnasih dan Nyai Ontosoroh. Sesungguhnya aktor dalam naskah seperti itu cenderung “dipaksa” informasi sejarah dari luar yang seolah-olah tahu segalanya. Naskah tidak bertolak dan berkembang dari sebuah situasi permasalahan psikologis tertentu.
Bagian Gombloh menceritakan masa kecilnya mengendurkan tensi. Tensi naik lagi tatkala Gombloh mengenang bagaimana lagu-lagu idealisnya tercipta dalam lingkungan dan suasana pergaulan kreatif Balai Pemuda Surabaya bersama teaterawan Akhudiat, Naniel Yakin, John Pai, Franky Sahilatua, dan lain-lain. Di situlah kita tahu mengapa Leo Kristi keluar dari Lemon Tree’s akibat percekcokan mengenai arah estetika musik.
Leo menginginkan murni folk, sementara Gombloh tak menabukan band. Dari situ kita juga membayangkan Gombloh amat bersahabat dengan John Pai alias Rivai, seseorang yang bisa disebut penghuni tetap Balai Pemuda Surabaya. John Pai-lah yang mengerok punggung Gombloh tatkala ia merasa tak enak badan. Dari situ kita tahu, betapapun Gombloh sering sakit-sakitan karena kehidupan bohemiannya, ia malah sibuk mengurus dan membiayai pengobatan pelacur yang terkena penyakit kelamin. “Vita aku bawa ke dokter. Sampai di rumah sakit ketemu dokter. Eh, dokternya malah menyuruhnya tobat. Marah aku.”
Gombloh wafat pada 9 Januari 1988. Adegan monolog ditutup dengan kematian Gombloh. Namun semenjak awal akting Wanggi kurang mengesankan Gombloh menderita sakit hebat. Memang, dalam beberapa adegan Wanggi berakting seraya batuk-batuk. Namun batuk-batuknya terasa sepintas dan tak menimbulkan imaji parah.
Beberapa kawan Gombloh pernah menyaksikan Gombloh mengeluarkan dahak berdarah saat batuk. Penjiwaan Wanggi, walau permainannya tangguh, belum sampai ke situ. Wanggi sebelumnya adalah pantomimer. Ia mungkin dipilih karena perawakannya mirip Gombloh, apalagi tatkala memakai kacamata hitam dan topi. Seandainya sejak awal aktingnya sedikit demi sedikit menampilkan kekronisan penyakit Gombloh, tentu adegan terakhir saat Gombloh merebahkan badannya di antara tumpukan celana dalam dan beha—dan kemudian meninggal—akan lebih tragis dan ironis. Betapa tidak, Sudjarwoto Sumarsono (nama asli Gombloh) wafat hanya dua tahun setelah “Kugadaikan Cintaku” sukses luar biasa.
•••
BERBEDA dengan Gombloh, nama Kassian Cephas (1845-1912), perintis fotografer pribumi di Yogyakarta, mungkin tak banyak dikenal orang. Itulah mungkin tantangan pertama M.N. Qomarudin saat menyutradarai dan memerankan sendiri sosok Cephas di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu, 20 April lalu. Satu-satunya buku yang secara lengkap membahas biografi dan karya-karya Cephas adalah Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan karya Gerrit Knaap. Dalam buku itu ditampilkan banyak foto yang dibuat Cephas. Naskah monolog Mata Kamera yang dibuat Hastra Indriyana tentu juga menggunakan buku itu sebagai sumber. Berpeci, mula-mula Cephas ditampilkan Qomar seolah-olah berada di gedung residen Yogyakarta memberikan kata sambutan setelah menerima medali Orde van Oranje-Nassau.
Naskah monolog cenderung menampilkan riwayat pendek Cephas secara kronologis, tidak mencoba berangkat dari sebuah persoalan tertentu—yang kemudian menjadi sebab-akibat jalannya cerita, misalnya persoalan tantangan-tantangan pemotretan yang dihadapi Cephas. Cephas alias Qomar berkisah, ia lahir dari orang tua Jawa, Bu Minah dan Kartodrono, yang bekerja di keluarga misionaris Belanda, pasangan pendeta Stevens dan Christina Phillips. Dari keluarga Phillips itulah Cephas mendapat pengetahuan Eropa. Cephas sendiri adalah nama baptis. Cephas kemudian diterima bekerja di keraton. Selanjutnya, Cephas singkat menceritakan pengalaman kerjanya di bawah fotografer Simon Willem Camerik, Isidore, dan Isaac Groneman.
Pentas Mata Kamera, Di Tepi Sejarah di Gedung Kesenian Jakarta, 20 April 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Sedikit-sedikit Qomar memperagakan bagaimana Cephas diajari menempatkan posisi kamera dengan betul oleh Camerik, dan oleh Isidore diberi wejangan kiat-kiat fotografer, “Memotret itu seperti pentas di panggung. Di sini saat ini. Jika ada kesalahan tak bisa diperbaiki. Waktu tak bisa diputar mundur,” kata Cephas menirukan suara Isidore. Ada adegan bagaimana Cephas memotret sultan dan mengarahkannya. Namun adegan itu tak mampu melentikkan imajinasi karena Qomar kurang detail.
Sesungguhnya set panggung yang menghadirkan sebuah kamera tua di atas tripod dan foto-foto yang masih basah dijepit-jepit di rentangan tali lain daripada yang lain dan cocok untuk menyajikan sebuah cerita yang full fotografi. “Di Borobudur mesti membuat scaffolding khusus untuk mengambil jarak dari relief, dibutuhkan waktu sepuluh hari mengambil satu relief.” Kalimat tentang kesulitan memotret di Borobudur yang dilontarkan Cephas sebetulnya bisa menjadi tema utama monolog. Selain itu, aktor pemeran Cephas bisa bercerita tentang tantangan memotret Prambanan atau upacara dan pergelaran wayang wong di keraton. Aktor bisa mengeksplorasi gantungan-gantungan cetakan foto, wadah cairan kimia, dan peralatan cetak lain sembari waswas akan foto yang dihasilkan.
Tentunya itu membuat suasana fotografi hidup karena panggung menjadi ibarat kamar gelap. Adegan terakhir adalah Qomar kembali menampilkan Cephas berdiri memberikan kata sambutan atas penganugerahan medali Orde van Oranje-Nassau. Monolog yang dilakukan aktor Teater Garasi itu—meski diperkuat multimedia berisi sorotan foto-foto Cephas—terasa terlalu cepat selesai. Dan hanya menyajikan kilatan-kilatan informasi siapa itu Cephas.
Monolog Gombloh dan Cephas adalah bagian dari seri pentas lima monolog. Monolog pertama yang sudah dipentaskan adalah Kacamata Sjafruddin yang disutradarai Yudi Tajudin (tentang Syafruddin Prawiranegara). Tinggal menunggu monolog mengenai Ismail Marzuki yang bakal dibesut Agus Noor dan monolog Emiria Soenassa yang akan disutradarai Siti Qadaratin. Kisah Emiria, perupa perempuan dari awal abad ke-20, tentu menantang untuk diangkat menjadi monolog. Ia pernah belajar menari balet di Belgia. Ia pernah hidup dengan suku Dayak di Kalimantan. Ia menghilang dan wafat secara misterius di Lampung. Apakah monolog akan sekadar menceritakan biografinya atau bertolak dari situasi tertentu yang berkaitan dengan pergulatan dalam penciptaan lukisan-lukisannya?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo