Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cerita A.D Pirous menjadi perupa dengan sekolah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung yang kemudian menjadi ITB.
Di ITB, Pirous berguru kepada dosen seorang Belanda yang mengajarinya memahami bagaimana menjadi seniman.
Sepulang sekolah dari Amerika, Pirous menekuni seni kaligrafi Islam dan meneliti makam di Aceh.
AMPLOP-AMPLOP besar berbahan kertas tebal berserakan di lantai. Sebagian isinya, gambar-gambar seni grafis, bertumpuk di atas meja kayu panjang. Pada koleksi karya yang masih nihil tanda identitasnya, Abdul Djalil Pirous atau A.D Pirous membubuhkan tanda tangan. Kesibukan di sela-sela pekerjaan melukisnya itu berlangsung di rumah sekaligus studio lukis dan galeri Serambi Pirous di Jalan Bukit Pakar Timur II Nomor 111, Bandung. Bersama istrinya, Erna Garnasih, mereka tinggal di sana sejak 2003. Sebelumnya pasangan pelukis itu bermukim di Jalan Sangkuriang dan membuat galeri pada 1992.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki berperawakan kecil dan berkulit gelap itu tepat berusia 90 tahun pada Jumat, 11 Maret lalu. Gerak tubuhnya yang masih lincah tanpa alat bantu menuai pujian dari orang sekitarnya. Pun daya ingat Pirous masih tajam. Meskipun begitu, kemampuan pendengarannya sudah agak berkurang sehingga perlu didampingi manajer galerinya, Sasha, ketika diwawancara Tempo pada Selasa siang, 26 April lalu. Selama masa pandemi Covid-19, dia masih sibuk bekerja di rumah. “Capek iya, tapi saya termasuk seorang yang dying hard, tidak gampang menyerah,” kata Pirous.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama lima tahun terakhir, A.D. Pirous masih tenggelam dalam pekerjaannya. Di masa pandemi Covid-19, dia mengaku jadi lebih produktif. Meskipun harus sering berada di rumah, ia berusaha tidak terkurung dan merasa lebih fokus berkarya sehingga bisa membuat pameran karya bertema pandemi.
Foto bersama anggota Grup 18, (tengah depan, berjaket putih) Abdul Djalil Pirous, pada 18 Agustus 1971. Wikipedia
Usia saya sudah lanjut dan stamina juga. Sekarang, kalau melukis, saya enggak boleh lebih dari satu setengah jam. Kalau saya berdiri selama itu kaki saya bengkak karena sirkulasi darah saya enggak benar. Satu jam berhenti, nanti melukis lagi. Kalau saya melukis satu lukisan tidak dibuat dari A sampai Z lalu pindah ke lukisan baru. Saya bisa suatu ketika itu mengerjakan sepuluh lukisan. Tiap hari saya bekerja tinggal pilih mana yang mau dikerjakan. Kalau seni grafis sudah tidak saya bikin karena perlu suatu fasilitas yang tidak bisa saya sediakan lagi. Harus ada studio khusus dan beberapa asisten. Saya terakhir membuat karya grafis pada 1980-an sebelum 1990.
Lelaki kelahiran Meulaboh, Aceh, pada 1932 itu merayakan ulang tahunnya dengan membuat pameran di rumah. Berbeda dengan biasanya, Pirous mengajak belasan seniman untuk pameran bersama dengan judul “Bara Semula” yang dibuka pada Selasa, 29 Maret lalu. Judul pameran itu diartikan sebagai percikan bara yang memberi semangat berkarya.
Peserta pameran itu adalah sang istri, Erna Garnasih Pirous, kemudian Deden Hendan Durahman, Fefia Suh, Herry Dim, Ilham Khoiri, Ismiaji Cahyono, dan Maharani Mancanagara. Selain itu, ada Riri Rengganis, Setiawan Sabana, Tatang Ramadhan Bouqie, serta kolaborasi Sunaryo, Arin Dwihartanto, Siswadi Djoko, dan Syagini Ratna Wulan. Kekaryaan mereka berupa lukisan, patung, karya instalasi, juga fotografi.
Sehari kemudian setelah pembukaan pameran, giliran Center for Indonesian Visual Art Studies Institut Teknologi Bandung meluncurkan buku berjudul Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan secara daring. Pengulas bukunya adalah dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Aminudin Th. Siregar, yang sedang menjadi kandidat doktor dari Universiteit Leiden, Belanda, dan Anissa Rahadi dari National Gallery Singapore.
Pengunjung melihat karya seni di pameran 90 Tahun AD Pirous bertajuk Bara Semula di Serambi Pirous, Bandung, 21 April 2022. TEMPO/Prima Mulia
Pencetakan buku itu, yang tertunda sejak 2018, didanai program Prioritas Riset Nasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional pada 2021. Adapun naskahnya berasal dari karya skripsi A.D. Pirous pada 1964 yang kala itu disebut sebagai tesis, sebagai syarat untuk kelulusan studi sarjananya dari Departemen Seni Rupa ITB. Sedekade sebelumnya ketika Pirous berusia 80 tahun, perayaan ulang tahunnya dilakukan dengan menggelar pameran karya grafis di Galeri Soemardja ITB dan memamerkan 177 lukisan buatannya pada kurun 1960-2012 di Selasar Sunaryo Art Space bertajuk “Ja'u Timu”.
Lahir dari keluarga berada, ayahnya, Mouna Pirous Noor Muhammad, merupakan pengusaha kebun karet keturunan pedagang Gujarat, India. Nama Pirous berasal dari tanda lahir di tubuhnya yang seperti warna batu pirus. Sementara itu, ibunya, Hamidah, seorang ibu rumah tangga yang rajin membuat kain sulaman. Pasangan itu membuahkan enam orang anak, dan A.D, Pirous putra kelima. Adapun dari pernikahan ayah A.D. Pirous dengan istri pertama, lahir empat orang anak.
•••
Sejak usia tujuh tahun saya suka menemani ibu membuat sulaman tradisional Aceh dengan benang emas di atas kain sutra. Bentuk flora dia ciptakan sendiri di kain untuk persiapan perkawinan kakak perempuan. Ibu sangat terkenal di kampung sebagai penyulam kain tradisional. Saya juga punya abang, yaitu Zaenal Arifin, yang berbakat menggambar seperti kartun, komik, dan potret secara otodidaktik.
Saya ingin menjadi seperti dia yang bisa menggambar. Kakak saya serba bisa. Dia bisa bikin gambar film di rumah sambil bercerita, menjadi pemain, penulis, sutradara sandiwara, pemain biola, dan komponis, banyak sekali. Tapi ayah yang sedikit konservatif tidak merespons bakat anaknya itu. Ketika dia ingin ke sekolah seni di Sumatera Barat, ayah menolak dan memintanya jadi guru agama.
Saya sendiri menempuh sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Medan. Di sekolah ada guru gambar yang aktif mendorong saya untuk ikut berbagai lomba menggambar hingga menjadi juara wilayah. Gambarnya yang naturalistis saja seperti pemandangan, orang, bunga, dan benda lain. Saya gambar dengan potlot, pensil warna, dan cat air. Prestasi itu membuat saya yakin untuk mengembangkan dan memilih seni. Sebelumnya, sewaktu di Meulaboh pada 1945-1950, saya juga suka menggambar potret pemimpin seperti Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, dan Kartini. Banyak yang saya buat dan laku dijual.
Di masa revolusi Agresi Militer Belanda 1948 ketika saya berusia 16 tahun baru naik kelas II SMP, semua sekolah tanpa saya tahu rupanya bergabung dalam suatu badan bernama Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di bawah Resimen 2 Aceh. Semua pelajar tiba-tiba menjadi tentara dan pangkat saya waktu itu kopral. Pada waktu itu Aceh sangat siaga menunggu Belanda masuk. Saya dimasukkan dalam badan Markas Pertahanan Semesta dengan tugas merencanakan bentuk-bentuk gambar untuk poster yang dicetak dengan teknik sablon guna melawan infiltrasi Belanda.
Seniman Abdul Djalil Pirous bersama istrinya Erna Garnasih, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 12 Juli 2014. Dok. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
Terlibat dalam badan itu, saya sangat terpesona karena pekerjaannya rahasia. Kami bekerja malam hari membuat gambar untuk poster atau langsung di panel-panel besar. Pengalaman itu berjalan hingga 1950 setelah Belanda secara de facto mengakui Republik Indonesia. Setelah itu, saya letakkan pangkat kopral di meja komandan untuk kembali meneruskan SMP di Medan. Saya pada usia 18 tahun melanjutkan SMA di Medan. Setelah selesai, saya langsung datang ke Bandung pada September 1955 untuk kuliah di Seni Rupa ITB di usia 23 tahun.
Dongengnya waktu 1946 ketika mengungsi, ayah saya yang sudah sakit bilang tidak bisa merawat saya lagi sampai besar. Ayah menyerahkan nasib saya ke Tuhan. Saya dinasihati agar menjadi orang yang baik dan pergi ke timur atau ja’u timu dalam bahasa Aceh. Setelah ayah meninggal, saya mengajukan permohonan ke sekolah untuk menjadi mahasiswa di perguruan tinggi seni rupa ke Yogyakarta dan Bandung. Pihak yang menjawab lebih dulu dari Bandung, waktu itu belum bernama ITB, tapi Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung. Di dalamnya ada Balai Pendidikan Guru Gambar yang didirikan Belanda.
Ketika saya masuk, pilihannya hanya ada dua kemungkinan, menjadi guru gambar atau menjadi seniman pelukis. Sekolah itu didirikan pada 1947. Setelah itu pada 1950 direkturnya orang Indonesia, yaitu Profesor Sumardja. Sejak itu pendidikannya tidak hanya menjadi guru, tapi juga seniman. Mungkin dia melihat beberapa mahasiswa yang unggul, seperti Ahmad Sadali, But Muchtar, dan Mochtar Apin.
Di kampus waktu itu ada seorang dosen Belanda, Ries Mulder, yang menjadikan Sadali, Srihadi, But Muchtar, dan Popo Iskandar seniman. Waktu itu dia membawa suatu gaya baru lukisan, yaitu kubisme, yang ketika itu sudah berkembang di Eropa. Ketika masuk datang dengan latar menggambar naturalisme, saya ditekuk habis oleh Ries Mulder dan didorong ikut masuk konsep baru. Di tahun pertama kuliah itu saya bingung, susah mengerti, dimarahi terus, dibilang merusak bentuk, dan macam-macam.
Contoh sederhananya, pelukis naturalis dan realis kalau melihat benda dipindahkan ke kanvas atau kertas seperti apa yang terlihat, selesai. Tapi seorang pelukis abstrak atau kubisme, dia lihat gambar benda lalu dimakan serta dimuntahkan lagi, dan bagi setiap orang hasil gambarnya bisa berbeda. Itu yang saya tidak mengerti.
Pelukis Abdul Djalil Pirous membuat sketsa lukisan di studio Serambi Pirous, Bandung, Januari 2019. TEMPO/Prima Mulia
Sampai suatu ketika pulang dari Bali bersama Srihadi, saya bawa karya lukisan abstrak. Saat diperlihatkan, Ries Mulder bilang karya itu bagus untuk dekorasi film Walt Disney. Saya sakit hatinya luar biasa, entah dia memuji atau menghina saya. Selama setahun kuliah itu saya selalu bertemu dia dan belajar teori-teori yang diberikan. Saya mengerti seni dari dia. Jadi, bagaimanapun, Ries Mulder adalah guru saya.
Setelah dia harus pulang kembali ke Belanda pada 1959, baru saya mengerti apa yang dulu disampaikan dan maknanya, misalnya ihwal teori tentang warna, bagaimana warna juga bisa memberikan ruang. Pada waktu dia menyampaikan dengan bahasa Inggris dan Belanda, saya kurang menangkap langsung materinya, walau bisa mengerti bahasa Belanda sejak sekolah dulu.
Menjelang tingkat dua kuliah untuk memilih jurusan, saya minta pendapat Srihadi. Dia waktu itu kakak kelas yang lebih senior dua tahun walau umurnya hanya selisih tiga bulan lebih tua dari saya. Suatu hari saya datang ketika dia sedang melukis di studionya. Saya tanya menurutnya saya memilih jurusan apa. Kata Srihadi, saya jadi guru saja. Jawaban itu membuat saya kecewa, karena ada anggapan kalau seseorang tidak berbakat jadi seniman, dia akan menjadi guru.
Sejak itu ada dendam dalam diri saya. Saya harus membuktikan bisa jadi seniman, walau saya mengambil jurusan guru seni. Pada masa itu, menjadi guru suatu pekerjaan yang lebih jelas di masyarakat daripada seniman. Karena itu, saya memutuskan menjadi guru dengan kuliah selama empat tahun. Ketika akan lulus, muncul pertanyaan kalau menjadi guru seni rupa: apa yang bisa diberikan ke siswa nanti kalau saya tidak mengalami sendiri menjadi seorang seniman?
Waktu mau lulus saya diangkat menjadi asisten dosen. Sejak 1959 itu saya memutuskan belajar melukis sendiri di rumah sewaan di Jalan Cisitu Lama selama empat tahun hingga 1963. Pada periode itu saya beralih dari bentuk naturalis ke figuratif, tapi bentuknya abstrak. Saya mulai ikut pameran bersama But Muchtar dan Srihadi pada 1960. Pameran pertama saya di gedung Balai Wartawan seberang Hotel Savoy Homann, Bandung. Di sana untuk pertama kalinya karya saya terjual dan dibeli oleh orang UNESCO dari Kanada.
Dia menginap di Homann dan datang melihat pameran. Dia berhenti di depan lukisan saya yang judulnya Kebun dengan Ayam. Bahannya dari karung goni yang halus karena saya belum bisa beli kanvas. Karung goni itu saya cari yang tidak sobek di toko-toko grosir beras di Pasar Raya Barat (sekitar Jalan Gardu Jati sekarang). Waktu dia tanya harga lukisannya saya bingung. Saya tanya ke Srihadi dan But Muchtar, yang ketika itu sudah jual lukisan seharga Rp 20 ribu. Lukisan saya katanya seharga Rp 6.500. Karena saya rasa kemahalan, saya bilang harganya Rp 5.500 dan dibeli. Di situ saya merasa sebagai seniman dan ada orang yang menghargai. Sejak itu, saya makin menggebu-gebu untuk melukis.
Tesis (skripsi) saya waktu itu ditunda total. Pak Soemardja kemudian memanggil saya dan menanyakan kenapa saya tidak lulus-lulus. Saya diancam akan diberhentikan sebagai asisten dosen kalau tidak lulus kuliah. Tema skripsi penelitian menggambar pada anak-anak yang sudah dikerjakan tidak menarik lagi bagi saya. Setelah mengobrol banyak dengan Srihadi, temanya berganti. Pengalaman selama masa revolusi di Aceh menginspirasi saya untuk membuat penelitian berjudul “Seni Pariwara sebagai Alat Propaganda Perjuangan pada 1963”. Penelitiannya di Yogyakarta, karena pada 1946 ibu kota Republik Indonesia pindah ke sana. Saya interview Sudjojono, Affandi, serta orang-orang yang terlibat dan masih ada. Risetnya saya kerjakan selama enam bulan, sambil tetap melukis, dan menjadi asisten dosen. Saya kemudian lulus pada 1964.
Setelah lulus pada 1964, Pirous diangkat menjadi dosen di almamaternya hingga pensiun pada 2003. Dia melanjutkan studi tentang printmaking dan desain grafis setelah mendapat beasiswa dari Rochester Institute of Technology di New York, Amerika Serikat, pada 1969. Ketika menempuh studi, dia menyempatkan diri menyambangi banyak museum dan galeri seni di Manhattan, tapi tidak menjumpai karya-karya seniman Indonesia. Di sana muncul persoalan identitas Pirous sebagai pelukis, juga tempat bagi karya seni Indonesia di dunia.
Dalam kegelisahan itu saya sampai ke suatu pameran di The Metropolitan Museum of Art di New York, yang memamerkan karya seni rupa islami dengan macam-macam bentuk, seperti keramik, naskah, dan tekstil. Itu sangat mempesona dan saya merasa akrab dengan materi di pameran itu sehingga seperti kembali ke masa kecil di kampung halaman. Barangkali ini jawaban kegelisahan saya selama beberapa bulan di Amerika Serikat. Setelah itu, pada testing pertama saya membuat karya dalam bentuk seni grafis dengan menggunakan kaligrafi.
Seniman Abdul Djalil Pirous menyiapkan karya-karyanya yang akan dibingkai di Serambi Pirous, Bandung, 27 April 2022. TEMPO/Prima mulia
Setelah tugas belajar selesai di Amerika Serikat, saya membuka jurusan di ITB untuk mengembangkan desain grafis di Indonesia. Di ITB, saya menggagas pendirian studio baru Desain Grafis pada 1971. Saya memberikan kuliah sejarah huruf, tipografi, dan dilengkapi kaligrafi tulisan tangan. Ketika mengajar seni rupa Islam, saya menyelami sejarah Islam dan seninya. Kedua, mengubah seni lukis saya menjadi seni rupa yang bernapaskan Islam dari bentuk lukisan abstrak, menggarap kaligrafi sebagai jalan baru menuju seni rupa modern Indonesia.
Dari Amerika Serikat itu, Pirous dan But Muchtar, yang pernah melihat perhelatan Art Fair di New York pada musim gugur 1970, mewujudkannya di Bandung pada 1972 dengan nama Pasar Seni ITB. Melibatkan seniman, perajin, dan warga kota, pasar itu menjual karya dengan harga terjangkau di Jalan Ganesha di depan kampus ITB. Selain itu, tampil kesenian tradisional serta musikus seperti Sawung Jabo. Kesuksesan Pasar Seni diulang pada 1976, 1980, 1984, 1988, 1990, 1995, 2000, 2006, dan terakhir pada 10 Oktober 2010.
Pada 1971, Pirous bersama seniman ITB, seperti Ahmad Sadali, Srihadi, Mochtar Apin, Rita Widagdo, Kaboel Suadi, dan Sananto Yuliman, bergabung dalam Grup 18. Kelompok seniman berjumlah 18 orang itu menggelar pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sekaligus menerbitkan album kompilasi 18 karya cetak saring. Selain itu, Pirous dan Mochtar Apin, Kaboel Suadi, Haryadi Suadi, dan T. Sutanto kemudian menggelar pameran seni grafis di tiga kota: Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Sementara itu, bersama G. Sidharta Soegijo, Adriaan Palar, Sunaryo, T.Sutanto, Prijanto S, dan Machmud Buchari, Pirous ikut mendirikan kelompok Desain Center Association pada 1973 yang membuat karya-karya pesanan.
Sepulangnya dari Amerika Serikat juga saya melakukan penelitian ke Aceh, ke makam-makam, selama setahun. Pada 1972 saya berpameran lukisan tunggal pertama kali di Jakarta bertemakan kaligrafi islami. Itu yang pertama di Indonesia. Saya tidak mengambil langsung ayat dari Al-Quran, tetapi spirit bentuknya. Salah satu karyanya dibeli Galeri Nasional Singapura. Kemudian berubah menjadi kaligrafi yang bisa dibaca setelah pengunjung bereaksi menanyakan surat apa yang dilukis.
Apa yang ditulis dengan huruf Arab itu bisa menyampaikan berita seperti biasa. Tidak perlu cantik yang penting bisa dibaca. Ada juga yang ditulis dengan indah. Jenis lain tidak ada lagi unsur beritanya, melainkan hanya kaligrafi yang sangat artistik. Ketiganya berurutan. Kaligrafi Islam sudah terbentuk berabad-abad lalu dengan bermacam style dengan pakem-pakem tersendiri. Tapi saya tetap melukis dengan diperkaya kaligrafi. Saya tidak nyaman kalau disebut sebagai kaligrafer.
Kalau kaligrafer kan menulis dengan kalam, saya memakai pisau palet atau kuas, jadi bentuknya tidak akan sama. Jadi saya tidak memakai pakem-pakem kaligrafi walau tahu karena mengajarkan itu di fakultas. Ayat-ayat suci dibuat ketika Islam lahir, pesannya telah melewati beberapa abad. Ketika ditampilkan di atas kanvas saya, orang akan melihat sesuatu yang arkais seperti dinding batu yang runtuh atau tembaga yang kusam. Itu merupakan bagian dari konten lukisan. Saya harus membawa mereka kepada pesan masa lalu yang aktual dan estetik dengan masa sekarang. Jadi melukis dan grafis itu saling memberi estetika untuk berkembang dalam seni lukis saya.
Menurut saya, kaligrafi punya hak untuk tidak hanya menjadi saluran religius, tapi juga sebagai kanal budaya. Jadi tulisan itu adalah suatu kendaraan peradaban sehingga kaligrafi menjadi lebih luas dengan menyangkut juga sikap hidup. Karena itu, saya bisa menuliskan pantun, pepatah, dan ucapan penting tokoh politik juga di kanvas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo