MAYOR Jenderal Pichit Phibul Kullavanji tampak serius ketika mengangkat gagang teleponnya. Dari seberang sana terdengar suara Yuli Ismartono, wartawan TEMPO di Bangkok Dalam benak Pichit, Kepala Interpol Muangthai, memang sedang bergalau persoalan penting. "Ekstradisi?" katanya. "Sudah tentu kami terus mendesak ekstradisi. Ia harus diadili di Muangthai. Kami khawatir ia lolos lagi." Jenderal polisi berbintang dua itu sedang berbicara tentang bromocorah internasional yang ditunggu di delapan negara: Charles Gurmukh Sobhraj. Orang itu berhasil melarikan diri dari penjara Tihar, New Delhi, 16 Maret lalu. Tapi tiga minggu kemudian Inspektur Polisi Madhukar Zende-polisi yang dulu meringkus Sobhraj - kembali menangkapnya. Sobhraj memang sebuah legenda. Namanya tercantum dalam peringkat paling atas daftar buron Interpol, polisi internasional. Bandit yang tampan ini bukan bajingan sembarangan. Ia menguasai paling tidak empat bahasa. Selera seninya tinggi: musik waktu luangnya adalah karya-karya Chopin dan Beethoven. Ia membaca dan mengutip Nietzsche dengan lancar dan akurat. Dalam hal seni bela diri, karateka pemegang ban hitam ini mampu mematahkan batang leher mangsanya dengan tangan kosong dan dalam sekali gebrakan. Seorang dokter di Bangkok, Dr. Philippe, pernah mengatakan, "ia contoh sempurna seorang lelaki." Sangat jarang menyentuh alkohol dan rokok, Sobhraj mungkin mewakili sebuah dunia yang tidak mudah. Ibunya pernah berkata, "Tampang anak ini bagaikan malaikat, tetapi entah di mana, di lubuk jiwanya, tersembunyi sifat-sifat iblis." Daya pikatnya luar biasa. "Jika ia terjun ke dunia politik, ia mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan massa, ujar William Heinecke, seorang pengusaha Amerika yang bergerak di Muangthai. Heinecke pernah mengunjungi Sobhraj di penjara, untuk merundingkan penerbitan salah satu buku riwayat hidupnya. Setumpuk perkara dengan latar belakang obat bius, perampokan, dan pembunuhan sudah menanti Charles Sobhraj. Ia ditunggu pengadilan-pengadilan Prancis, Yunani, Turki, Muangthai, Iran, Nepal, Hong Kong, dan India sendiri. Di antara korban penipuan dan pembunuhannya terdapat warga negara Turki, Prancis, Kanada, Amerika Serikat, Belanda, India, dan Indonesia. Wilayah perbanditan Sobhraj membentang dari pesisir timur Laut Tengah, menerobos Turki, Iran, dan gerbang-gerbang Afghanistan ke Asia. Dari sana, jejak pengembaraan itu masuk ke anak benua India, Muangthai, dan Indocina. Sebuah setting yang menggetarkan, memang. Pada latar ini berbaur petualangan narkotik, seks murahan, judi, dan mistik Timur - juga berbagai fanatisme. Charles Sobhraj memang seperti disiapkan untuk latar seperti ini. Dan pertengahan bulan lalu, tepatnya 16 Maret, di suatu tengah hari Ahad yang terkantuk-kantuk, ia melarikan diri dari penjara Tihar, bui yang paling diandalkan di India. Pelarian ini mengguncangkan parlemen India. Kelompok oposisi di majelis yang mulia itu segera memekik, "Ini sebuah aib nasional." Koran-koran nasional pun mencemooh, "Di mana ada suap, di situ ada lubang." Tidak kurang dari tujuh pegawai penjara segera diterungku, didakwa berkomplot membantu Sobhraj. Bisa dimaklumi: di penjara seluas 271 akre itu, Sobhraj menikmati hampir segala-galanya, termasuk sebuah pesawat televisi warna di dalam sel. Dan karena itu ia dijuluki si "Raja Tihar". Untunglah, tiga pekan kemudian, bromocorah internasional itu bisa diringkus. Ia dibekuk melalui sebuah skenario yang dramatis di Restoran O Coqueiro (Pohon Kelapa) di Porvorim, sekitar sepuluh kilometer dari Panaji, ibu kota Goa. Selama 21 hari itu, ia mengembara sejauh hampir dua ribu kilometer. Ketika itu ia sedang menanti makanan yang dipesannya, juga menunggu panggilan telepon dari Beirut dan Paris. Bersama dia duduk David Richard Hall, 28, seorang yang dicurigai sebagai kurir jaringan narkotik dan otak pelarian Charles dari Tihar. * * * Siapakah sesungguhnya penjahat yang paling banyak dibicarakan dalam dua bulan terakhir ini? Mengenai dia sudah ditulis dua buku: Serpentine oleh wartawan Amerika Thomas Thompson, dan The Life and Crimes of Charles Sobhraj oleh wartawan Australia Richard Neville dan Julie Clarke. Hollywood pernah menyediakan dana sejuta dolar hanya untuk mengurus hak pembuatan film perjalanan hidupnya, sementara Sobhraj sendiri berkomentar, "Untuk memerankan saya, rasanya yang cukup cocok adalah Warren Beatty atau Robert de Niro." Kemudian, ia juga memilih Jane Fonda untuk memerankan "Monique", alias Marie Andree Leclerc, gundik paling setianya yang mendampinginya hingga saat ditangkap di India, sepuluh tahun silam. "Dia lahir pada setting yang salah dan waktu yang salah," ujar seorang kriminolog mengenai Charles Sobhraj. "Anak ini luntang-lantung di antara dua benua dan dua peradaban," kata Alain Benard, ahli hukum dan pekerja sosial yang pernah membina Charles di penjara Poissy, Paris. Ia pernah diasuh di rumah ayah kandungnya, seorang saudagar kaya di Saigon - sekarang Kota Ho Chi Minh. Tetapi ia juga mengalami hidup anak kolong di tangsi-tangsi serdadu Prancis, mengikuti ayah tirinya. Ia berkeliaran di lorong-lorong belakang Saigon yang penuh kutu dan tukang tipu. Ia dibesarkan di bagian dunia yang paling berdarah.... * * * Alkisah, di tengah Perang Dunia II, tersebutlah Van Long Noi, seorang gadis belasan tahun yang rupawan di sebuah desa di pedalaman Vietnam. Perang yang kejam ini membunuh kedua orangtua Noi. Meninggalkan hamparan sawah dan perkebunan karet kampung halamannya, Noi berangkat mengadu nasib ke Saigon yang, di masa itu, dijuluki "Paris di Timur". Di kota ini, ternyata, perang tidak terlalu bengis. Serdadu-serdadu Jepang lagi mabuk kemenangan di Asia Tenggara. Dan udara seperti dihamburi kesadaran baru: orang-orang kulit putih itu pun ternyata bisa dikalahkan. Dari Katedral Saigon, sebuah replika gaya Romawi, lonceng-lonceng berdentangan hingga terdengar ke kamar-kamar candu, rumah bordil, dan kasino. Saigon, bekas dusun nelayan itu, memang sudah berubah menjadi kota dunia dengan taksi-taksi Renault yang hilir-mudik, dan mobil-mobil perang tentara pendudukan yang disetir sopir teler. Di sepanjang boulevard berbaris kafe kaki lima dengan tenda aneka warna. Noi segera mendapat pekerjaan di sebuah toko milik orang India yang menjual pakaian lelaki. Dalam waktu singkat, ia diangkat menjadi kasir. Kecantikan perawan kampung ini rupanya segera menggoda hati sang pemilik toko, Hotchand Sobhraj. Pada suatu petang yang terang, sang majikan mengajak kasirnya bersenang-senang ke kasino. Beberapa bulan kemudian, Noi resmi menjadi gundik, dan segera bunting. Orang India tidak begitu disukai di Saigon, karena mereka suka membungakan uang kepada orang Vietnam - yang gemar berjudi. Hotchand Sobhraj termasuk tokoh pemuka di kalangan kaumnya dan, sesuai dengan tradisi nenek moyangnya yang datang dari Lembah Sindh, ia juga membungakan uang. Di samping toko yang ditunggui Noi, Hotchand memiliki lagi dua toko jahit. Di loteng salah satu toko ini, di Ngo Duc Ke 80, di ruangan luas dengan empat pelayan, Hotchand tinggal bersama gundik Vietnamnya. Pada 6 April 1944, para gerilyawan Viet Minh menggempur Saigon dalam kampanye melawan pasukan pendudukan. Kota berguncang oleh ledakan bom dan mortir. Pada saat itulah Noi merasa akan melahirkan. Di tengah rumah sakit yang bergetar dan diliputi suasana panik, Noi melahirkan anak pertamanya dengan lancar. Ketika itu ia berusia dua puluh tahun. Bayi ini diberinya nama India: Gurmukh, yang kemudian ditambahi dengan nama keluarga ayahnya, Sobhraj. Kelak, ia akan dikenal dunia dengan pelbagai alias. Tetapi, sebagai seorang bocah, ia dibaptiskan dengan nama Charles, mengikuti nama pahlawan Prancis zaman itu, Charles de Gaulle. Ketika Charles masih berusia setahun, ia digendong ibunya berjalan-jalan di sepanjang Sungai Saigon yang penuh dengan penjaja makanan. Tiba-tiba, dari sebuah becak, dua orang lelaki melompat dan mendorongkan ibu dan anak itu ke dalam sebuah sampan bermotor, yang langsung menghilang di tengah keramaian lalu lintas sungai. Tidak ada yang peduli. Orang sudah terbiasa dengan kejadian serupa itu. Terlalu banyak bertanya malah akan mengundang mala petaka. Noi dan Charles dilarikan ke Rawa Rung Sat tempat persembunyian bandit dan lanun yang juga dijuluki "Rimba Para Pembunuh". Mereka diculik gerombolan Bin Xuyen, satu di antara gerombolan yang paling ditakuti di situ, yang kadang-kadang bersekutu dengan gerilyawan Viet Minh. Menculik merupakan metode standar mereka untuk mengumpulkan dana. Beberapa jam kemudian, Hotchand menerima tuntutan uang tebusan. Tetapi, saudagar tampan yang menguasai delapan bahasa ini tidak mudah dikibuli. Pun ia akrab dengan pasukan pendudukan. Maka, tatkala orang-orang Bin Xuyen datang untuk menjemput uang, mereka diringkus tentara Jepang. Noi dan Charles pulang ke rumah dengan selamat. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Sepuluh hari kemudian, Viet Minh menegakkan pemerintahannya di Saigon. Selang tiga pekan tentara Inggris tiba di kawasan itu. Didukung oleh pasukan Gurkha dan Gaullis Prancis, mereka menyapu Viet Minh dari kota. Dari Marseilles kapal-kapal penuh serdadu menderu ke hulu Sungai Saigon. Kota ini dinyatakan sebagai ibu kota Cocin Cina, sebuah koloni Prancis. Para tentara merayakan kemenangannya di "Wisma Lima Ratus Perawan". Tetapi Viet Minh ternyata tidak mundur begitu saja. Dari Rimba Para Pembunuh, secara teratur mereka mengirimkan satuan-satuan pembantai masuk kota. Suara pertempuran menjadi musik sehari hari. Setiap malam, bila Viet Minh menyerang, Noi membungkus Charles di dalam selembar selimut, kemudian menyurukkannya ke dalam lemari pakaian. Ketika Charles berumur tiga tahun, dan Noi hamil lagi, Hotchand yang baru pulang dari kampungnya di Poona, India, membawa kabar baru: ia menikah dengan seorang gadis India. "Semua diatur keluarga," katanya. "Tetapi, jangan khawatir, tidak ada yang berubah, kalian tetap tinggal di rumah ini." Toh, Noi memekik, memeluk Charles, dan meninggalkan loteng itu. Ia kemudian bertemu dengan Jacques Roussel, seorang ajudan sersan yang santun dan pemalu dari Bordeaux. Roussel jatuh cinta pada janda bunting beranak satu itu. Mereka menikah pada bulan September 1948, setelah Noi melahirkan anaknya yang kedua dari Hotchand - anak ini diberi nama Nicole, dan langsung diadopsi oleh Roussel. Sejak berusia empat tahun, Charles mulai sulit diatur. Ia tidak kerasan hidup di tangsi militer Prancis, dan tetap merindukan rumah ayah kandungnya yang berkecukupan. Ia tidak mau memanggil Roussel "Papa". Ketika Roussel dipindahkan lagi ke Marseilles, Prancis, Charles tidak mau ikut. Noi menangis ketika memeluk anak itu untuk mengucapkan selamat berpisah. Di Paris, para ahli ilmu bumi pemerintah menggambar peta Asia Tenggara yang baru. Koloni Cocin Cina digabungkan dengan wilayah protektorat Annam dan Tonkin, dan negeri baru ini diberi nama "Vietnam". Prancis bertambah jauh tenggelam ke dalam perang kolonial. Pada 1951, Roussel dan keluarganya bertugas lagi ke Saigon. Dan Noi menemukan Charles terlunta-lunta di jalanan. Istri India Hotchand, Geeta, tidak mengacuhkan anak itu. Noi mengutip Charles dan mengajaknya pulang ke kehidupan tangsi. Pada suatu hari, waktu itu Charles berusia tujuh tahun, Noi mengajak anak itu menonton bioskop. Mereka sudah antre di pintu masuk, ketika tiba-tiba Charles mengubah pikiran, dan mengajak ibunya menonton di bioskop lain yang terletak di seberang jalan. Untuk memuaskan hati sang anak, Noi menurut saja. Ketika film usai, tahulah mereka, bioskop pertama tadi diledakkan oleh gerilyawan Viet Minh. Dari dalam bioskop orang mengusung tubuh-tubuh yang berlumuran darah. Noi memeluk Charles erat-erat. "Charlie - lihat!" katanya. "Engkau telah menyelamatkan nyawa kita." Saat itu, Noi tidak memperhatikan mata Charles yang berkilat. Kelak ia bertutur, "Itulah saatnya pertama kali aku sadar bahwa dalam diriku ada sesuatu yang istimewa, suatu kekuatan penolak bala. Aku dilindungi! Orang lain boleh menderita, tapi aku tidak. Nasibku ditentukan lain!" Tahun-tahun berikutnya Charles bertambah akrab dengan kekerasan. Ia biasa menonton korban pertempuran di jalan-jalan. Darah dari luka yang menganga, atau tubuh yang terpotong-potong, bukan lagi barang baru baginya. Pada 1953, keluarga Roussel dipulangkan ke Marseilles. Charles sebetulnya sudah bersiap-siap bersembunyi supaya bisa tetap tinggal di Vietnam. Tetapi, malam itu ia tertidur, dan diam-diam digotong ke kapal. Ketika ia terbangun, pantai Vietnam mulai menghilang di cakrawala. Ia tidak menangis. Ia menyalahkan dirinya sendiri. * * * Charles tidak pernah merasa cocok dengan setting Eropa. "Saya akan pulang ke negeri saya," katanya di penjara Poissy, Paris, Juli 1966. Ia sedang berbicara dengan Alain Benard, sukarelawan yang membinanya "Vietnam?" tanya Benard. "Ya. Ibu membawa aku dalam usia sembilan tahun ke negeri Prancis yang elok ini, tempat aku diperlakukan sebagai tahi ! " "Jadi, engkau ini orang Vietnam?" "Secara resmi, tidak. Tetapi, sekarang ini Marsekal Ky memerlukan setiap orang untuk berjuang. Aku tidak mempunyai kebangsaan. Ayahku lahir di Bombay, tetapi orang-orang India itu tidak mau memberi aku paspor. Namun, seperti dikatakan kaum Stoika, lebih baiklah menjadi warga dunia ketimbang warga Roma. Bila aku keluar dari penjara ini, aku pasti diperintahkan meninggalkan Prancis." Ini adalah untuk ketiga kalinya Charles masuk penjara Prancis. "Aku mencuri karena kebutuhan," katanya. "Para penguasa mengusir aku dari negeri ini, sedangkan aku tidak memiliki uang. Lalu, untuk mencapai perbatasan, aku mencuri mobil." Dengan ibunya, Charles sudah nyaris patah arang waktu itu. "Aku pernah pergi ke Marseilles meminta bantuan," katanya. "Tetapi dia tidak mengacuhkan aku. Dia terlalu sibuk dengan pacar barunya, seorang kolonel. Dia akhirnya memang memberi aku uang empat puluh franc. Empat puluh franc untuk meninggalkan Prancis, bah!" Apakah Charles tidak meminta pertolongan ayah kandungnya? "Dia adalah sumber kesengsaraanku," kata Charles kepada Benard. "Aku bersumpah pada diriku sendiri untuk menempuh hidup yang baru di masa depan, hidup yang murni. Dan, di atas segala-galanya, aku akan membalas dendam kepadanya. Mungkin, sebagai orang Asia, aku sulit menerima sikap pemaaf kekristenan ...." * * * Pelarian dari penjara Tihar merupakan pelarian Charles yang kedua di India, setelah 1971. Dan yang kelima dari berbagai penjara di dunia sepanjang karier perbanditannya. Ia pernah lari dari penjara Afghanistan dan Yunani, semuanya dengan cara-cara yang licik dan penuh perhitungan. Di penjara Tihar, Charles menggunakan senjata pujaannya: obat bius. Dua pekan sebelum Ahad yang menggemparkan itu, suatu kejadian kecil yang tidak begitu menarik perhatian tercatat di Tihar: ada kucing pingsan disebuah pojok Bui No. 3, tempat Charles dikandangkan. Beberapa penjaga yang menaruh iba memungut kucing itu, dan dua hari kemudian, binatang pencuri ikan itu mulai sadar, kendati masih terhuyung-huyung bila berjalan. Pada hari keempat, kucing itu mulai normal, tetapi tampak masih lemah. Lima belas hari kemudian, topik "kucing pingsan" ini menjadi pusat pergunjingan di Tihar. Kucing itu, ternyata, telah dijadikan Charles kelinci percobaan untuk menguji dosis obat bius yang akan dipakainya menuba para penjaga. Charles tidak mau kehilangan tongkat untuk ketiga kalinya. Ketika melarikan diri dari Kabul, Afghanistan, untuk menuju Teheran, Iran, 1974, ia telah memberi dosis lebih ketika menuba seorang sopir taksi berkebangsaan Pakistan. Sopir itu tewas. Kemudian, ketika mencoba membius serombongan turis di Hotel Vikram, New Delhi, dua tahun kemudian, ia juga salah dosis. Mangsanya pingsan terlalu cepat, sehingga ia diringkus dan mendekam hampir satu dasawarsa di penjara Tihar. Kali ini ia tidak mau gagal. Memang ada hal yang agak aneh: Charles sangat berhati-hati meninggalkan Tihar. Ia seperti tidak sudi kalau sampai ada penjaga yang mati. Ia juga menggembok kembali gerbang penjara ketika sudah berada di luar. "Kalau tidak, kami bisa kehilangan 500 tahanan," ujar seorang penjaga Tihar. Kali ini, Charles hanya membawa enam pengikut, termasuk Laxmi Narain dari gang Raju Bhatnagar yang termasyhur. Pada hari pelarian Charles, pemandangan di Tihar memang hancur-hancuran. Di luar Gerbang No. 3, dua orang polisi khusus Tamil Naidu tergolek dengan senapan 303 seperti benda tak berguna. Enam penjaga lainnya bergelimpangan di ruangan kantor, bagaikan mabuk tuak. Setengah kilometer dari situ, sipir Anand Swarup tersungkur, dengan mulutnya direkat plester. "Suasananya sungguh-sungguh jenaka," tutur seorang pejabat penjara, kemudian. "Saya hampir saja tertawa terbahak-bahak, kalau tidak segera ingat bahwa peristiwa ini bisa mencelakakan kami semua." Di antara semua korban obat bius ini, Swaruplah yang pertama siuman. Ia menghubungi wakil inspektur penjara, V.D. Pushkarna. Tokoh terakhir ini segera membunyikan alarem. Penjara Pusat yang terletak di barat daya pinggiran Kota New Delhi itu segera gempar. Terlambat. Charles Sobhraj sudah raib entah ke mana, dengan mobil jemputan yang rupanya sudah dipersiapkan. Tujuh pegawai penjara segera ditahan, menuruti jumlah rombongan pelarian Charles Sobhraj. Para petinggi lembaga pemasyarakatan melemparkan sumpah serapah. Masyarakat menyesali sistem sekuriti yang lemah. Tetapi, "Saya tidak terkejut," ujar Narendra Nath Tuli, pensiunan inspektur polisi New Delhi yang menangkap Charles sepuluh tahun yang lalu. "Yang membuat saya heran," kata Tuli dengan nada menyindir para pejabat lembaga pemasyarakatan, "kok Charles baru sekarang bisa lari." Tihar sering dianggap sebagai penjara paling ketat di India. Padahal, "Inilah satu di antara penjara yang paling tidak efisien di negeri ini," tulis Shekhar Gupta dalam majalah India Today. "Dengan otot dan uang," ia meneruskan, "ke penjara ini bisa dimasukkan apa saja, mulai dari alkohol sampai heroin, senjata api, perempuan, bahkan anak-anak lelaki untuk santapan para tahanan homoseksual. Lima tahun yang lalu Presiden Zail Singh berkenan meninjau penjara ini. "Sungguh mengejutkan, memalukan, dan tidak bisa dipercaya," katanya selesai melakukan peninjauan. Ketika ia baru saja melangkahkan kaki ke bagian dalam penjara, waktu itu, seorang tahanan datang melenggang seraya menawarkan secangkir arak. Di penjara model begini, Charles Sobhraj segera menjadi don. Para tahanan lain memanggilnya "Charles saab". Uangnya berlimpah-limpah, entah dari mana. Katanya, uang itu berasa, dari hak cipta penulisan riwayat hidupnya. Tetapi, Richard Neville, yang ikut menulis The Life & Crimes of Charles Sobhraj mengatakan, "Kami tidak pernah memberi uang sepeser pun kepadanya." Yang tampaknya agak jelas, Charles memang tidak kehilangan jaringannya, kendati sudah mendekam hampir sepuluh tahun di dalam penjara. Menurut beberapa pejabat penjara, Charles mendapat uang dari kunjungan para tamu. Mungkin betul, karena, selama mendekam di Tihar, cukup banyak turis asing yang menyempatkan diri menjenguk bandit Asia nomor wahid ini. Hanya saja, sulit diketahui siapa tamu sungguhan, dan siapa agen jaringan obat bius yang berlagak seperti tamu. Bersama seorang wartawan New Delhi, Kumkum Chadha, di dalam penjara Charles merancang penulisan buku riwayat hidupnya yang ketiga. Dan tetap, dari dalam sel ia masih juga mampu menyebarkan pesonanya ke luar tembok-tembok penjara. Polisi, misalnya, sempat menguntit Sneha Sangar, seorang wanita muda yang baru saja meraih gelar sarjana hukum dari Universitas New Delhi, dan pernah terlibat dalam usaha menyusun petisi Charles. Sneha menghilang dari pemondokannya bersamaan dengan kaburnya Charles. Belakangan, wanita ini ditemukan di rumahnya di Lalitpur, dan mempunyai alibi yang kuat. Sneha mengaku ia hanya mendekati Charles untuk pendalaman studi psikologi. Tetapi, kemudian, ia tidak menyangkal bahwa bromocorah itu memang memukau. Wanita lain yang tampaknya lebih serius di dalam hidup Charles, selama di penjara Tihar, ialah Vaishali Reddy, 46, janda beranak tiga asal Hyderabad. Wanita manis ini mengalami dua kali kegagalan perkawinan, dan merasa jatuh iba memikirkan nasib Charles. "Saya rasa dia merindukan sebuah keluarga yang tenang, dan suatu kesempatan untuk berperanan sebagai ayah," kata Reddy ketika diperiksa polisi. "Ambisi Charles," perempuan itu meneruskan, "ialah menikah dengan saya, kemudian menjalani hidup yang tenang di Kepulauan Bahama, seraya menulis buku." Tidak ada yang tahu, jujurkah ambisi itu atau tidak. * * * Charles mulai mencuri pada usia tiga belas tahun. Itu pun, kalau pengakuannya kepada Richard Noville dan Julie Clarke bisa dipercaya. Pada 1957, ya, ketika Charles berusia 13 itu, keluarga Jacques Roussel pindah bertugas ke Senegal, wilayah protektorat Prancis di barat laut Afrika. Waktu itu Charles sudah punya enam adik, lima di antaranya tiri. Adik paling bontot, Martine, masih menetek. Dalam waktu singkat, Charles sudah hafal semua lorong di Kota Dakar. Bagi adik-adiknya, Charles dipandang sebagai pahlawan. Pada malam-malam Senegal yang misterius, ketika Jacques dimabukkan obat tidur untuk melupakan mimpi-mimpi buruk tentang Vietnam, dan ibu mereka, Noi, menyelinap keluar rumah untuk bermain judi, Charles memimpin adik-adiknya dalam permainan yang sungguh mengasyikkan: petak umpet di dalam rumah yang dimatikan lampunya. Permainan itu kemudian ditingkatkan, membongkar toko permen seorang tetangga bernama Mamoudia yang, sebetulnya, selalu baik terhadap anak-anak ini. Sementara Nicole dan Jean-Daniel berjaga di luar, Charles menerobos toko, membongkar lemari, dan mengantungi permen-permen kegemaran mereka. Pernah terjadi, peronda malam berhenti di depan toko itu, dan menyenter tepat ke arah Charles. Kedua adiknya menahan napas. Tetapi Charles lolos. Ia makin yakin akan kekuatan istimewa dalam dirinya. Apalagi, ketika Nicole dan Jean Daniel mencoba melakukan operasi berdua tanpa Charles, mereka langsung tertangkap. Pada usia 16 tahun, Charles sudah mencoba melakukan perjalanan pulang ke negerinya, Vietnam, sebagai penumpang gelap kapal Labordonnais. Ia mengajak seorang temannya, Michel, dua tahun lebih muda, anak yang juga merindukan petualangan. Mereka naik dari Marseilles, dan kapal itu akan berlayar ke Jibouti di timur laut Afrika. Dari sini, menurut rencana mereka, bisa menumpang kapal lain yang langsung berangkat ke Saigon. Petualangan ini hampir sukses, ketika Michel membuat ketololan, dan mereka ditangkap. Polisi Jibouti, ternyata sudah menerima pula telegram dari Marseilles tentang dua anak yang hilang itu. Mereka dipulangkan. Charles makin uring-uringan, dan pada musim panas tahun itu, 1960, keluarga Jacques pindah ke Paris. Dulu, di ibu kota Prancis itu, Charles pernah bekerja di sebuah restoran, sebelum pelarian yang gagal tadi. Kini, ia menemukan restoran lain yang membutuhkan tenaganya. Sebuah peristiwa penting dalam kehidupan Charles muncul pada akhir tahun itu. Dari Saigon nun di sana, datang sebuah surat berkepala "Hotchand Sobhraj - Tekstil, Impor, Ekspor". Sebelumnya Jacques memang pernah menyurati ayah kandung Charles ini, dengan maksud membicarakan kelainan tingkah laku sang anak. Surat itu singkat. "Masalahnya terlalu rumi untuk dibicarakan dalam surat ini," tulis Hotchand ia berjanji akan datang ke Paris, awal 1961. Pertemuan itu mengharukan. Setelah tujuh tahun berpisah, Charles memeluk ayah kandungnya d bandara Orly, Paris, 6 Januari 1961. Hotchand, dalanr setelan bisnisnya yang tampan, membangkitkan kebanggaan tersendiri di dalam jiwa Charles. Di dalam taksi, Hotchand bertanya, "Dari ibumu, aku menerima beberapa laporan yang kurang menyenangkan. Apa pekerjaanmu sekarang?" "Saya pembantu kepala pada tukang masak di La Saladiere. Dalam kata lain, pekerjaan saya ialah mengupas kentang, merajang bawang, dan . . . yang semacam itu." "Apa. Anakku? Bekerja di dapur? Sungguh tidak pantas ! "Sudah untung ia mendapat pekerjaan," Jacque menyela. "Rapornya di sekolah tidak begitu baik." "Tetapi, seorang Sindhi tidak sepatutnya bekerja di dapur," balas Hotchand. Toh, ia tidak segera bisa berbuat banyak. Jacques mulai sibuk mengurus paspor Charles supaya anak itu bisa berangkat mengikuti ayahnya ke Saigon. Ternyata, urusan tidak berjalan mulus Banyak surat yang harus dilengkapi, sementara Hotchand harus segera mudik. Untunglah, ia berjanji akan mengirimkan tiket buat Charles, begitu urusan paspor rampung. Janji inilah yang agak meleset. Setelah paspor beres, tiket tak juga muncul. Charles yang tidak sabaran mulai menjengkelkan orang seisi rumah ia berkurung di dalam kamar, hanya keluar bila tukang pos datang, dengan harapan tiket yang ditunggu akhirnya datang. Akhirnya, ia berniat pergi sendiri dengan uang sendiri. Tetapi, dari mana? Kala bekerja, harus menunggu beberapa tahun. Ia mula merampok. Dengan sebuah pistol berburu, ia merampok seorang perempuan hamil di sebuah apartemen d pinggiran Paris. Sukses. Dua hari kemudian, ia mengulangi aksi itu, dan tertangkap. Mukanya sempat bengkak ditinju Satpam. Tetapi, berkat usah Jacques dan Noi, wanita yang dirampok itu menarik tuduhannya. Namun, polisi terus mengusut peristiwa ini, dan berhasil membongkar perampokan Charles yang pertama. Ia masuk penjara, dan Jacques, yang selalu diganggu ulah tingkah Charles, mulai sinting dan masuk rumah sakit jiwa. Setelah menjalani hukuman singkat, pada bulan Maret 1961 Charles berangkat menuju Vietnam. Ia sempat mengunjungi Jacques di rumah sakit. "Papa, maafkan aku," katanya. Pensiunan sersan yang santun itu masih bisa tersenyum. "Hal yang paling penting ialah bahwa engkau keluar dari penjara," katanya. "Dan ada berita bagus, Papa, tiket saya dari Saigon sudah datang!" "Saya gembira, 'Nak. Aku berharap, engkau akan menemukan Vietnam yang cocok dengan khayalanmu. Buatku sendiri, Vietnam adalah sebuah mimpi jahanam ! " * * * SAIGON yang dijumpai Charles memang bukan lagi Saigon yang dulu. Kota hiruk-pikuk dengan pelbagai kendaraan. Orang-orang Amerika bertebaran di mana-mana. Dolar dan barang selundupan mengalir dari segala penjuru. Di mana-mana tampak poster: "Dukunglah Presiden Diem... Jangan Membantu Vietcong". Dalam perjalanan dari pelabuhan menuju rumah ayahnya, dua kali taksi Charles digeledah polisi. Selama dua minggu pertama, Charles tampil sebagai orang yang paling rajin di toko ayahnya. Petang hari ia mengambil kursus bisnis dan bahasa Inggris. Di samping itu ia mulai giat berlatih karate. Tapi tak lama kemudian Charles mulai bosan menjalani acara rutin. Ia mulai berjudi dan main perempuan. Bila kekurangan duit, ia mencuri uang Hotchand. Sang ayah mulai naik pitam, apalagi setelah Charles menabrakkan mobil Hotchand dalam suatu acara teler bersama beberapa perempuan genit. Maka, ketika visa Charles habis, Hotchand ogah-ogahan mengurus perpanjangan. Kewarganegaraan anak itu memang belum jelas. Sebenarnya Vietnam bersedia menerima dia, karena negeri itu membutuhkan tenaga untuk direkrut menjadi prajurit melawan gerilyawan komunis. Charles sendiri sebetulnya tidak keberatan. Tetapi ia lebih tertarik pada usul Hotchand, untuk menjadi warga negara India. Nah, untuk menjadi warga negara India, Charles harus tinggal paling tidak setahun di negeri itu, dan menguasai sebuah dialek. Ia diberangkatkan ke Bombay. Ajaib. Tiga pekan kemudian, Charles sudah muncul di Saigon. "Mengapa engkau mengirim aku ke sana?" katanya kepada Hotchand. "Aku kelaparan di sana. Mereka hanya makan sayur. Aku tidak mengerti bahasa mereka. Aku benci India!" Karena ia pulang dari Bombay secara gelap, Charles bisa dituduh mata-mata. Hotchand segera mengusahakan agar anak itu balik ke India. Hanya beberapa bulan, Charles pulang lagi ke Saigon. Kali ini, ia ditempeleng Hotchand. "Kau tidak dibutuhkan di sini!" kata ayah kandungnya itu. "Kau mencuri duit, menabrakkan mobil, dan merusakkan pertumbuhan anak-anakku. Pulanglah ke India. Apakah kau mau tinggal di sini, masuk penjara atau terbunuh?" "Ya," jawab Charles. "Itulah yang kuinginkan! Aku mau berjuang! Melakukan sesuatu! Untuk membuktikan bahwa aku bukan seorang pengembara yang tolol!" Beberapa hari kemudian ia menumpang sebuah kapal, yang menurut perkiraannya berlayar ke Bombay. Ternyata, kapal itu menuju Marseilles, Prancis. Charles ketika itu sudah berusia 18 tahun. Pria tampan, dengan pandangan memesonakan dan tubuh yang seksi. Dan sebuah karier kriminal yang mulai mengorak mencari coraknya. * * * PADA bulan Mei 1968, Kota Paris diguncang berbagai demonstrasi mahasiswa. Situasi politik panas, begitu pula situasi asmara antara Charles Sobhraj dan Chantal Copagnon, gadis baik-baik yang masuk ke dalam kehidupan Charles melalui Alain Benard. Tak lama kemudian, pasangan ini menikah. Chantal kemudian melahirkan seorang putri yang manis, Madhu. Tetapi Charles rupanya sudah tidak bisa lagi meninggalkan dunia yang dipilihnya. Kejahatannya semakin canggih. Charles bertambah sering masuk penjara, dan keluar - secara baik-baik maupun sebagai pelarian. Setiap kali mendekam di dalam tahanan, Charles menggunakan waktu luang untuk belajar, apa saja. Dari dua buah buku, Lying and Character, A Treatise on Characterology tulisan seorang profesor Sorbonne, Rene Le Senne, dan Character and Personality karya Gaston Berger, Charles menguasai sebuah sistem membaca dan menggolong-golongkan watak manusia. "Ilmu" ini, kemudian, ternyata banyak bermanfaat di sepanjang kariernya. Pada 24 Juni 1970, Hotchand Sobhraj datang lagi ke Paris, dan Charles bersama istrinya Chantal menyambut orang tua itu bagaikan maharaja. Charles tampak makmur, sebentar-sebentar menandatangani cek seperti membuang kulit kacang. Ternyata, semua tipu daya. Setelah puas menjamu bapaknya, Charles dan istrinya minggat ke Swiss. Tidak lama kemudian polisi datang, dan terlambat. Hampir saja Hotchand masuk penjara. Sejak saat itu, mulailah sejarah pengembaraan Charles di jalur-jalur obat bius dari Eropa sampai ke Segitiga Emas. Anehnya, secara langsung, keterlibatan Charles tidak pernah bisa dibuktikan. Yang agak terang: hampir semua korban pembunuhannya punya sangkut-paut dengan jaringan narkotik. "Aku tidak pernah membunuh orang baik-baik," katanya. "Aku membunuh musuh masyarakat, sama dengan serdadu-serdadu dan jenderal Amerika membunuh musuhnya dalam Perang Vietnam." Entahlah. Yang jelas, Chantal tidak bisa tahan dengan kehidupan model begitu, betapa pun besar cintanya kepada Charles. Wanita itu, bersama anaknya, Madhu, kemudian pulang ke Paris. Charles terus mengembara, dari Iran ke Hong Kong, Macao, balik ke Saigon, Colombo, Singapura, Afghanistan, Muangthai. Di negeri ini, terutama di sekitar 1975, ia bermukim agak lama, dan membunuhi orang agak banyak, dalam rangkaian peristiwa yang terkenal sebagai "Pembunuhan Bikini". Sebagian korbannya wanita, dan mereka ditemukan dalam pakaian renang mini di pantai Pattaya. Di Bangkok, bersama gundiknya, Marie Andree Leclerc, seorang Prancis kelahiran Kanada, untuk waktu sekitar setahun Charles membuka bisnis batu mulia. Marie bertemu Charles dalam sebuah wisata ke Asia, kemudian, kedua sejoli itu menjadi akrab di Kashmir. Harus diakui, Marielah yang lebih dulu menyerang Charles. Padahal, dalam wisata itu Marie ditemani bekas teman kumpul kebonya, seorang advokat dari Montreal. Daya pikat Charles bisa dibayangkan dari kenangan Marie ini: "Tatkala bersentuhan dengan dia untuk pertama kalinya hatiku berdesir, bulu romaku berdiri, tubuhku tergetar." * * * Pembiusan kucing di penjara Tihar itu hanyalah satu di antara mata rantai skenario pelarian Charles. Sebelum itu, tampaknya, sudah ada persiapan matang tentang jalur pelariannya. Ia memang tidak bisa langsung meninggalkan India: seluruh tapal batas negeri itu segera dijaga begitu ketahuan Charles lolos. Tampaknya, dalam skenario ini, peranan seorang bernama Richard Hall lumayan besar. Padahal, harus diingat, ketika Charles Sobhraj masuk penjara Tihar, Hall baru berusia 18 tahun. Dari sini bisa tercium, ada suatu mata rantai yang berkesinambungan dalam usaha membebaskan Charles. Setelah Charles menemukan dosis obat bius yang tepat, beberapa hari kemudian, Richard Hall datang berkunjung. Konon, dengan uang pelicin sebesar seratus rupee, anak muda itu diizinkan melewati pintu gerbang sekalian dengan mobilnya. Para penjaga melihat, Hall membawa banyak bingkisan: anggur, apel, cokelat, permen, kue-kue ulang tahun, dan entah apa lagi. Dalam yang "entah apa lagi" itu, ternyata, termasuk obat bius dalam jumlah yang diperlukan. Charles mempunyai waktu beberapa hari untuk mencampurkan obat bius ke dalam semua makanan. "Kami kira bingkisan itu untuk perayaan ulang tahunnya," tutur seorang pengawal, belakangan. Setelah semuanya rampung, pada Ahad yang menggemparkan itu, Charles menawarkan bingkisannya kepada para pengawal, setelah dia sendiri mencicipi lebih dulu - tentu kue yang bebas dari obat bius. Siapa pula yang menolak makanan lezat di suatu hari Minggu yang santai, di penjara yang tampaknya tenang-tenang itu? Para penjaga mengambil bagiannya. Beberapa menit kemudian, mereka mulai berjatuhan. Charles dengan mudah mengambil kunci pintu gerbang, melangkah keluar, ke mobil yang sudah disiapkan Richard Hall. Tidak lama kemudian India blingsatan, telepon di kantor Interpol di berbagai bagian dunia bersahut-sahutan seperti tidak berhenti. * * * Belum jelas betul berapa orang yang menjadi korban pembunuhan Charles Sobhraj. Ada yang menyebut 12, ada pula yang mengatakan 16. Tetapi, "Resminya, ia baru dituduh membunuh lima orang turis asing," ujar Mayjen Pichit Phibul Kullavanji kepada Yuli Ismartono dari TEMPO. Di antara korbannya terdapat seorang warga negara Indonesia, dan seorang warga negara Belanda keturunan Indonesia. Vera Santoso, pemegang paspor Indonesia (dikeluarkan di Jakarta) bernomor 7001B, berlibur bersama suaminya, Russel Lapthorne, ke Muangthai, Agustus 1975. Pasangan ini bermukim di Australia. "Pada hari Senin, 1 September 1975, saya dan Vera pergi ke pantai Pattaya," kata Russel, beberapa lama kemudian, dalam laporan tertulisnya di Kedutaan Besar Australia di Bangkok. Pasangan ini, kebetulan, tidak sampai tewas di tangan Charles. Di pantai Pattaya itulah, Russel dan Vera berjumpa dengan sepasang pelancong Prancis, "Jean Belmont" dan "Monique". Kedua nama itu tentu saja nama palsu Charles dan Marie. Charles dan Marie mengaku berasal dari Prancis, dan akan melancong ke Singapura, Bali, Hong Kong, dan Filipina. Kedua pasangan ini segera bersahabat, terutama karena penampilan "Jean Belmont" memang sangat meyakinkan. "Dia berbahasa Prancis dan Inggris, bertubuh atletis, dan memesonakan," tutur Russel. Pada 4 September 1975, kedua pasangan itu pesiar ke Hua Hin, pantai Muangthai lainnya yang tidak kalah memikat. Di pantai inilah, lepas tengah hari, ketika duduk-duduk di beranda rumah peristirahatan yang mereka sewa, Charles dan Marie menawari Russel dan Vera susu cokelat. "Vera minum sedikit, dan dalam waktu singkat mengatakan ia merasa kurang sehat. Saya minum segelas penuh, dan segera tidak sadarkan diri," kata Russel. Ketika mereka siuman dua hari kemudian, di puskesmas Hua Hin, tahulah mereka apa yang sudah terjadi. Vera kehilangan paspor dan SIM Indonesia. Russel juga kehilangan paspor. Ikut lenyap pula sejumlah surat berharga, perhiasan mahal, sejumlah cek perjalanan, dan sebuah kamera film. Banyak yang bertanya mengapa Charles tidak memberikan dosis yang mematikan untuk Russel dan Vera. Sampai pada pertanyaan ini, orang jadi teringat pada ucapan Charles, "Saya hanya membunuh orang-orang yang mempunyai hubungan dengan jaringan narkotik internasional". Lalu, bagaimana dengan kasus Henk dan Cock? Henk Bintaja lahir di Amsterdam, 1946, dari perkawinan campuran Indonesia Belanda. Pacarnya Corrie (Cock) Hemker, lebih muda empat tahun. Meninggalkan negerinya pada 8 Februari 1975, pasangan ini merencanakan berlibur ke India, Nepal, Muangthai, Indonesia, Malaysia, dan Hong Kong. Henk sedang menunggu ujian akhirnya di Universitas Amsterdam. Dalam sebuah suratnya ke rumah, pasangan itu bercerita tentang pertemuan mereka dengan pasangan "Alain Gautier" dan "Monique" - siapa lagi kalau bukan Charles dan Marie. Pada 16 Desember, Henk dan Cock ditemukan sudah jadi mayat di jalan menuju Ayuthia, Bagkok. Pasangan ini termasuk dalam mata rantai "Pembunuhan Bikini" yang dilancarkan Charles, sebagian besar bersama pembantunya, seorang anak muda India bernama Ajai. Dari semua korbannya, Charles mengambil paspor mereka, yang sangat diperlukannya mengembara, setelah diubah di sana-sini. Dalam mata rantai ini, Charles melucuti pakaian mangsanya, dan membiarkan mereka terapung, atau tergeletak di pinggir jalan, dalam busana minim: sekadar celana dalam dan kutang - dan itu pasalnya lalu disebut "Pembunuhan Bikini". Caranya membunuh macam-macam. Tetapi, selalu dimulai dengan pemberian obat bius, lewat minuman atau makanan, dalam dosis tertentu. Setelah korbannya semaput, atau masih setengah sadar, Charles membunuh mereka. Ada yang dibenamkan begitu saja, ada yang dibiarkan hanyut dalam keadaan pingsan, tetapi ada juga yang lebih dulu dihantam dengan pukulan karate sehingga lehernya patah. Terakhir, Charles mempunyai kesenangan lain, yaitu memandikan korbannya dengan bensin atau minyak tanah, dan membakarnya sampai hangus. Sebagian besar korban lebih dulu "diinterogasi" sebelum dibunuh. Dalam keadaan setengah sadar, Charles mengorek bisnis narkotik korbannya. Perlu diingat, "Pembunuhan Bikini" berawal dari kematian seorang agen narkotik yang ditemukan Charles di Chiang Mai, kawasan ladang opium yang sangat termasyhur di Muangthai. Dari orang inilah - yang sempat diperiksanya selama beberapa hari sebelum akhirnya dibunuh - Charles menerima semacam daftar nama jaringan narkotik yang beroperasi di sekitar Muangthai. Belum ada bukti ketersangkutan Henk dan Cock dengan jaringan narkotik. Yang jelas, kedua anak muda ini pernah ke Chiang Mai dengan alasan sekadar berdarmawisata. Memang, menurut Charles sendiri, semua korbannya merupakan anggota jaringan narkotik. Dan itulah mengapa ia menggunakan beberapa cara pembunuhan yang sadistis, menurut dia, "Untuk memberi peringatan kepada anggota sindikat itu." Tetapi, kepada Richard Neville, salah seorang pengarang bukunya, Charles juga mengaku dibayar oleh sebuah sindikat di Hong Kong, dengan dana yang datang dari Beijing, RRC. Charles menggambarkan seolah-olah sindikat yang dilayaninya bertujuan memerangi sindikat Barat. "Kami orang-orang Asia menyimpan kenangan yang panjang, Richard," katanya. "Dan orang-orang Cina itu tidak akan melupakan Perang Candu." Maksud Charles, kini tiba saatnya sebuah "Perang Candu" yang lain dilancarkan dari Timur ke Barat. "Kami ingin menguasai perdagangan narkotik. Kami ingin membanjiri pasar Barat dengan opium kami, sebagaimana orang Jepang membanjiri kalian dengan radio transistor. Dan kami mau menjual candu kami langsung kepada pembeli, dengan harga murah," tutur Charles. Ia mengaku, sindikat itu membayar dia US$ 200 juta - sebuah jumlah yang fantastis. Charles membuka mata rantai "sindikat Barat" itu, melalui korban pertama tadi, Andre Breugnot - bila pengakuan bromocorah ini bisa dipercayai. Orang ini direndamnya di sebuah bak mandi hotel di Chiang Mai, sampai mati, setelah beberapa hari diinterogasi. Sejak itulah ia melancarkan "Pembunuhan Bikini", dengan tameng bisnis batu mulia di kamar nomor 503 dan 504 Wisma Kanith, di Soi Saladang Saladaeng, Bangkok. Adalah berkat prakarsa Herman Knippenberg, seorang diplomat muda di Kedutaan Besar Belanda di Muangthai, belang Charles ketahuan. Herman, yang pernah menjalani latihan inteligen, mendapat bantuan dari Paul Siemons, seorang intel andalan juga, yang resminya bekerja di bagian tata usaha Kedutaan Besar Belgia. Kedua orang ini bersekutu dengan Nadine, warga Prancis yang tinggal di bawah apartemen Charles. Adapun Nadine, bahkan, pernah bekerja pada usaha batu mulia itu, tapi kemudian menaruh curiga terhadap majikannya. Suami Nadine, seorang tukang masak, dikontrak di sebuah hotel mewah di Bangkok. Herman bergerak setelah kehilangan dua orang warga negaranya, Henk dan Cock. Ia berusaha menghubungi pihak kepolisian Muangthai, tetapi mereka ini bergerak sangat lambat. Perlu pula diketahui, dalam pada itu Charles berpacaran dengan seorang gadis Thai, Roong, putri seorang kolonel polisi. Ketika Herman dan Paul berhasil menggerakkan polisi, semuanya sudah terlambat. Charles, Marie, dan Ajai sudah keburu bubar. Yang tinggal hanyalah sejumlah bukti kejahatan di Wisma Kanith. Ternyata, Charles dan gundiknya menerobos ke India. * * * Dua ratus pengawal ekstra diterjunkan ke penjara Tihar setelah Charles ketahuan lolos. Percuma. Penjara itu, yang berkapasitas 1.723 tahanan, akhir-akhir ini diisi oleh lebih dari 3.000 orang hukuman, termasuk tiga orang Sikh yang terlibat pembunuhan PM Indira Gandhi, Oktober 1984. Tiga inspektur baru ditambahkan untuk mengawasi sekitar 350 pegawai. Dan polisi India mulai melakukan perburuan besar-besaran. Richard Neville, si penulis buku yang dihubungi karena banyak mengetahui tabiat Charles, mengatakan, "Dia belum keluar dari India." Ternyata, betul. Kelemahan Charles, antara lain, ialah sikapnya yang selalu memandang enteng polisi Asia. "Semua mereka gampang saya kibuli," katanya suatu ketika. Kali ini, rupanya ia takabur. Ia memasuki Restoran O Coquiero itu dengan tenang, tepat pada ulang tahunnya ke-42, setelah mencatatkan permintaan hubungan telepon dengan Beirut dan Paris. Dia tidak menyangka, di sekitarnya terdapat 21 orang polisi pilihan yang menyamar sebagai pelayan dan tamu restoran. Di meja tepat di sebelah Charles, duduk Inspektur Madhukar Zende, polisi yang pernah menangkap Charles 14 tahun yang lalu dalam perkara perampokan permata. "Halo, Charles, apa kabar?" sang inspektur menyapa. Charles dengan tenang bersikap pura-pura tidak mengerti. "Bohongmu percuma," kata Madhukar. "Engkau ditahan!" Charles mencoba menarik pistolnya. Sepasukan polisi segera menyergap, melumpuhkan bromocorah internasional itu. Banyak tamu yang terkejut dan berebutan ingin melihat tampang Charles. Di restoran itu, kebetulan, sedang berlangsung sebuah pesta perkawinan yang cukup ramai. * * * Tamatkah sudah riwayat "Si Ular", kini? Entahlah. Kalau ia jadi diekstradisikan ke Muangthai, hal yang sangat ditakutinya, hukuman mati sudah menunggu di sana. Memang tidak ada perjanjian ekstradisi antara India dan Muangthai. Namun, belakangan ini, hubungan kedua negara bertambah baik. Dan Charles betul-betul menyadari kenyataan ini, sehingga semakin terdorong untuk melarikan diri dari penjara Tihar. Di sekitar Charles Sobhraj, orang-orang yang mencintainya semakin sedikit. Bapaknya, Hotchand Sobhraj, sudah meninggal, setelah sebelumnya menulis surat bahwa ia sendiri meragukan kemungkinan mengubah Charles menjadi orang baik-baik. Ayah tirinya, Jacques Roussel, juga sudah meninggal di rumah sakit jiwa. Tentang ibunya, Noi, tidak banyak yang diketahui. Wanita Vietnam itu seperti menyingkirkan diri dari latar yang menarik perhatian. Bekas istri Charles, Chantal, hidup di suatu tempat entah di mana, di Paris, bersama putrinya, Madhu. Sedangkan bekas gundiknya, Marie, pulang ke Kanada dan berusaha melupakan masa lampaunya yang gelap. Tapi siapakah yang bisa melupakan kesadisan sang bromocorah internasional ini? Berdasarkan autopsi pihak kepolisian Bangkok, umpamanya, diketahui, Henk Bintanja dan Cock Hemker masih hidup ketika ia disiram minyak tanah dan kemudian disulut api. Padahal, hingga kini tak pernah diketahui jelas seperti sudah disebutkan - keterlibatan dua korban ini dalam jaringan narkotik. Lain halnya dengan Vitali Hakim, orang Turki berambut panjang dan bercambang itu - korban Sobhraj sebelum Bintanja. Hakim memang dikenal oleh Interpol sebagai pengedar obat bius internasional. Ia terlihat terakhir di Bangkok waktu membeli batu permata seharga US$ 1.600 dari Sobhraj. Setelah itu mereka meninjau tambang permata di Chanthaburi - diketahui kemudian peninjauan ini ternyata atas saran si Ular. Menurut saksi mata, sekembali dari tambang itu, ketika mereka mendepositkan tas dan paspor di rumah penginapan, Hakim kelihatan grogi. Sesudah itu orang Turki ini tak tampak lagi bayangannya. Sobhraj mengatakan kepada seorang temannya, tamunya - si Turki itu tadi - sedang berlibur ke pantai Pattaya. Beberapa hari kemudian polisi menemukan mayat Hakim di dekat lapangan golf milik Siam Country Club. Korban berikutnya: Stephanie Anne-Marie Parry, cewek 24 tahun. Parry seorang penjahit pakaian yang menikmati hidup secara hippy di Mediterania, Spanyol. Di dataran indah negeri matador itulah ia kenal dengan si pengedar obat bius Hakim. Dan orang Turki itu menyarankan agar Parry mengunjungi Muangthai - perlunya, agar si Hakim bisa menitipkan sekadar barang kiriman yang tak lain adalah obat bius. Dan Parry akhirnya memang sampai di Bangkok, beberapa hari sesudah Hakim dikirimkan ke dunia lain oleh Sobhraj. Mula-mula Parry menginap di sebuah hotel, lalu diketahui ia menginap di apartemen Sobhraj. Beberapa hari kemudian ia dikabarkan berangkat ke Pattaya untuk menemui Hakim. Memang benar: mayat cewek berambut hitam ini ditemukan telungkup di pinggir anak sungai yang ditutupi rumput, hanya mengenakan baju, sekitar 15 km dari Pattaya. Wajahnya sungguh rusak, dan menurut polisi ada bekas cekikan di lehernya. Dari kasus Parry inilah sebenarnya, kemudian diketahui dua korban berikutnya, yakni si Bintanja dan Hemker. Sebab, polisi kemudian tahu, Sobhraj terbang ke Hong Kong dengan paspor milik Hakim. Di sebuah hotel murahan di Hong Kong si Ular bertemu Bintanja dan pacarnya yang cantik, Hemker. * * * Di samping kecerdikan Sobhraj, keberhasilannya melarikan diri memang ditunjang oleh para pegawai dan penjaga penjara yang korup. Toh, kecekatan polisi India melacak Sobhraj tak bisa pula dinilai rendah. Begitu diketahui Sobhraj kabur, pelacakan langsung dilakukan, yakni mencari sejumlah wanita yang pernah dan masih berhubungan dengan si Ular. "Dalam sejarah hidup Sobhraj, bila ia melarikan diri atau melakukan kejahatan, selalu tercatat nama seorang perempuan atau lebih yang menemaninya," kata komisaris polisi Delhi, Ved Marwah. Dan bromocorah internasional ini memang tak pernah sepi dari wanita. Kisah hidupnya beserta tampangnya gampang membuat banyak wanita hanyut bersamanya. Bahkan - seperti dialami oleh Sneha Sangar mahasiswi hukum yang baru saja lulus menjelang Sobhraj kabur, juga Vaishali Reddy janda manis beranak tiga - cukup hanya dari membaca riwayat si Ular ditambah memandang potretnya di majalah, pengaruh aneh Sobhraj ternyata masih ampuh. Reddy, terutama, konon langsung jatuh hati kepada Sobhraj hanya karena sebuah majalah bergambar yang memuat liku-liku hidup dan wajah si Ular itu, pada Mei tahun lalu. Dan kemudian ia pun menulis surat ke penjara, dan seterusnya. Dan Charles Sobhraj tetap sebuah teka-teki. Apa hubungannya dengan Richard Hall? Sindikat mana yang berdiri di belakang pelarian ini? Siapa yang dihubunginya di Beirut dan Paris? Bagaimana sebenarnya pribadi orang ini? Adakah ia mengidap semacam penyakit jiwa? Belum satu pun yang terungkap. Sementara itu, Interpol Muangthai tetap cemas. "Kami khawatir ia lolos lagi," kata Mayjen Pchit. Suatu hal yang bukan mustahil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini