SI Karim belum boleh tertawa. Warga negara Belanda yang dituduh membantu Erry Irfan mencetak meterai palsu di negerinya itu diminta pak hakim tinggal barang dua tahun lagi di Indonesia. Tetapi berkas perkara Irfan sendiri masih tersimpan di meja polisi. Abdul Karim kaget. Kapel, seorang staf Kedutaan Besar Belanda, juga kaget: "Dua tahun?" Lalu, belum habis rokok yang barusan disulut, Kapel membawa pergi Abdul Karim yang tiba-tiba berkeringat mendengar putusan majelis hakim. Kata Abdul Karim kemudian, "Saya tidak mengerti fakta mana yang mengatakan saya bersalah." Goudsmit George Abdul Karim, 36, kelahiran Ujungpandang dari ibu Gorontalo dan ayah blasteran Belanda-Suriname ini dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Oemar Sanoesi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam sidang, Senin pekan ini, Abdul Karim dinyatakan terbukti bersalah sengaja membantu meniru atau memalsukan meterai. Membantu? Ya, karena pelaku utamanya disangka Erry Irfan. Irfan, Februari 1983 datang ke Negeri Belanda dan bertemu Abdul Karim. Ia minta bantuan dicarikan percetakan untuk mencetak "sesuatu". Abdul Karim menunjuk Beider Belang di Den Haag. Mereka pula yang mengambilnya setelah barang itu selesai. Lalu dibawa ke Indonesia oleh Memet Slamet Ardisoma. Dari Lendi Malendra, yang memasarkan di Surabaya, kasus ini terbongkar. Tersebutlah kisah penggerebekan pencetakan meterai di Depok yang menunjuk nama-nama Taufik alias Budi, 37, yang diduga pemilik percetakan itu dan 5 orang buron di antaranya seorang Belanda dan WNI berinisial ERM (TEMPO, 21 Juli 1984). Nah, Erry Irfan, yang tidak ditahan polisi, sempat mengabari Abdul Karim supaya tidak datang ke Indonesia, karena kejahatan mereka sudah terbongkar. Ketika itulah Abdul Karim tahu bahwa mencetak meterai yang dikatakan Irfan untuk asuransi tempo hari - itu melanggar hukum. Tapi, karena merasa tidak bersalah, Abdul Karim datang juga ke Indonesia. Langsung dia dijemput polisi di Lanuma Halim Perdanakusuma. Abdul Karim tetap mengaku tak tahu bahwa yang dicetak Irfan di negerinya adalah meterai palsu. Tapi, salah satu butir pertimbangan majelis hakim yang membahas ketidaktahuannya menyatakan bahwa mustahil terdakwa tak tahu soal begituan. Disebutkan bahwa terdakwa, sebagai pegawai Kerajaan Belanda yang sudah berdomisili di sana + 20 tahun, sangat tidak logis kalau tidak pernah melihat meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Dalam undang-undang, kata Karim, memang disebut-sebut adanya meterai atau segel. Tetapi, ia menambahkan, pada kenyataannya sudah lebih dari 25 tahun semua itu dihapuskan. Kejengkelan Abdul Karim yang lain dan itu tak habis-habisnya - terhadap Erry Irfan yang perkaranya mandek di kepolisian. Dia berani menyebut ada kejanggalan yang mewarnai proses pengadilan. Majelis hakim sendiri, ternyata, bisa menerima apa yang dirasakan Abdul Karim tidak adil itu. Majelis mengimbau agar kepolisian segera melimpahkan berkas perkara Irfan itu. "Ini memalukan," komentar Abdul Karim. Tapi rupanya perkara memang seret. Sampai perkara Abdul Karim ini diputus, berkas Irfan masih di kepolisian. "Sesuai dengan hukum acara, saya tidak bisa menerima berita acara pemeriksaan tanpa disertai barang bukti dan terdakwa," kata Jaksa R. Silaban. Meskipun Silaban tahu bahwa mungkin Erry Irfan terserang suatu penyakit (TEMPO, 14 Desember 1985), ia bisa berjanji akan segera mengirimkan berkas perkara itu ke pengadilan - "tak lama lagi kami sidangkan," katanya. Sampai Senin sore, pekan ini, TEMPO tidak berhasil menemui Irfan. Menantu bekas seorang gubernur ini, yang berdiam di Jakarta dikabarkan menderita AIDS. "Lho, penyakit itu 'kan sedang jadi mode," kata istrinya, sambil tertawa. Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini