SEHARI-HARI, kehidupan Kota Sala biasa-biasa saja. Tapi
setelah beberapa kali pecah keributan di sana, orang mulai
berpikir: Sala mungkin merupakan "kota kejutan".
September 1948 misalnya. Di Srambatan, sebelah selatan
stasiun keretaapi Balapan, terjadi baku-tembak antara Pesindo
(Pemuda Sosialis Indonesia, lasykar rakyat yang sudah
dipengaruhi PKI) melawan TNI dari Divisi Siliwangi.
Belakangan diketahui, insiden itu merupakan awal
pemberontakan PKI Muso. Ketika itu cukup mengerikan juga
menyaksikan orang-orang PKI mondar-mandir di Sala menyandang
senjata.
Dalam peristiwa itu tidak nampak kaum "nonpribumi" yang
terlibat. Tapi 17 tahun kemudian, September 1965, keterlibatan
mereka nampak jelas. Sehingga bulan Oktober 1965, dengan spontan
penduduk menyerang rumah dan toko-toko mereka.
Agak mengherankan Sala yang nampak tenang bisa menjadi
ajang keributan, seperti yang terjadi bulan lalu. Padahal
sesungguhnya banyak wong Sala (mungkin sekarang cuma golongan
tuanya) bersikap bedonis, ingin menikmati hidup sepuas-puasnya.
Berpikir dan bekerja secukupnya, tidak ngoyo. Hal itu berbeda
dengan sikap hidup "nonpribumi" yang tekun dan rajin bekerja
tak kenal lelah.
Itu tidak berarti semua wong Sala bermalas-malasan.
Misalnya saudagar batik dari Kampung Laweyan, di sebelah barat
pusat kota. Mereka tak kalah gesit dibanding pedagang Cina. Tak
jarang mereka juga bisa zakelijk.
Tidak heran kalau kaum saudagar (yang juga terdapat di
Kampung Tegalsari dan Kemlayan) berhasil dalam bisnis, bahkan
melempar batik ke Jakarta atau Singapura. Sikap dagang mereka
sudah tak berbeda dengan kaum "nonpribumi".
Bisa dimaklum kalau dahulu kala, pernah timbul persaingan
antara kedua golongan tersebut. Untuk mempertahankan kedudukan
pengusaha "pribumi", Haji Samanhoedi dari Laweyan, pada 1915
mendirikan Sjarikat Dagang Islam (SDI). Tapi sekarang kedua
golongan itu sudah bisa bergaul baik.
Di Pasar Klewer, nampak mereka saling menghidupi. Malah
kabarnya banyak pengusaha batik "pribumi" menyetor hasil
produksi mereka kepada "Batik Keris" atau "Batik Semar" (milik
"nonpribumi") dan juga kepada "Danarhadi" (yang "pribum").
Batikbatik hasil kerajinan tangan si embok-embok pengobeng itu
kemudian dipasarkan dengan merk-merk men terentu tersebut.
Sesungguhnya sudah puluhan tahun di Sala berlangsung
integrasi kultural secara wajar. Hampir semua Cina di Sala mampu
berbahasa Jawa dengan baik. Muda-mudi Cina anggota Tunas Nui sa
Harapan (dulu Chung Hua Chunhui) membentuk grup karawitan, mampu
menarikan tarian Jawa atau bermain wayang-wayang.
Semua orang Sala kenal Go Tik Swan, ahli adat-istiadat
Jawa, seluk-beluk keris dan seni perbatikan. Maka Paku Buwono
XII pun mengangkatnya sebagai "bupati dalem" dengan pangkat dan
gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro. Jangan dilupakan Tjan Tjoe
Siem, ahli bahasa Jawa salah seorans pendiri Fakultas Sastra UI.
Gelar doktornya diperoleh dengan disertasi mengenai pewayangan.
Ia juga seorang muslim, dimakamkan di pemakaman Islam, Pajang.
Maladi, bekas Menteri Penerangan (dan bekas penjaga gawang
terkenal di Sala tahun 50-an), melukiskan kenyamanan Sala dalam
lagu Solo Di Waktu Malam. Kalau sekarang anda ke sana kebetulan
jam malam sudah dicabut. Anda bisa menikmati berbagai makanan.
Mulai dari nyamikan (makanan kecil) seharga Rp 10 yang dijual si
tukang hik (begitu sebutannya), nasi uduk depan Balai
Muhammadiyah (Keprabon) sampai hidangan mahal di restoran
"Madukoro" milik Nyonya Listyorini, pemeran Raden Harjuna dalam
grup Wayang Orang RRI Sala.
Kalau di tengah malam anda lapar, datang saja ke Balapan,
nongkrong makan gudeg yang p,asti lain dari gudeg Yogya. Jam 4
subuh masih lek-lekan (bergadang) dan lapar? Silakan nongkrong
di Jalan Slamet Riyadi, mengganyang bubur panas plus sambal
goreng, nasi gudeg atau nasi liwet.
Kapan Sala berdiri? Semula merupakan desa, konon didirikan
oleh Kiai Sala. Makam sang kiai, berikut seorang pengiring dan
kudanya, sampai sekarang dipercaya terletak di pojok kiridepan
dari bangunan Sitihinggil di depan Kraton Kasunanan Surakarta,
di belakang Pagelaran--yang kini menjadi Kampus UNS.
Tak seorang tahu kapan desa itu berdiri. Tapi ke desa
itulah Paku Buwono II memindahkan ibukota Kerajaan Mataram dari
Kartasura, pada Februari 1745. Hijrah besar-besaran itu, dengan
bantuan Kompeni Belanda, karena kerusuhan yang tak kunjung
padam.
Bukan saja antara para bangsawan tapi juga meletusnya
pemberontakan Raden Mas Garendi pada tahun 1742, yang dibantu
oleh lasykar Cina--yang sebelurnnya melakukan exodus dari
Batavia karena dikejar-kejar kompeni. Kraton diduduki Raden Mas
Garendi dan lasykar Cinanya, Paku Buwono II lari ke Ponorogo .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini