Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Solo, Siang & Malam

Kehidupan sehari-hari di kota Solo sebelum terjadi kerusuhan rasial. Suasananya tampak tenang. Penduduknya tak banyak tingkah. Sejak dulu sudah ada persaingan dagang dengan nonpri.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI-HARI, kehidupan Kota Sala biasa-biasa saja. Tapi setelah beberapa kali pecah keributan di sana, orang mulai berpikir: Sala mungkin merupakan "kota kejutan". September 1948 misalnya. Di Srambatan, sebelah selatan stasiun keretaapi Balapan, terjadi baku-tembak antara Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia, lasykar rakyat yang sudah dipengaruhi PKI) melawan TNI dari Divisi Siliwangi. Belakangan diketahui, insiden itu merupakan awal pemberontakan PKI Muso. Ketika itu cukup mengerikan juga menyaksikan orang-orang PKI mondar-mandir di Sala menyandang senjata. Dalam peristiwa itu tidak nampak kaum "nonpribumi" yang terlibat. Tapi 17 tahun kemudian, September 1965, keterlibatan mereka nampak jelas. Sehingga bulan Oktober 1965, dengan spontan penduduk menyerang rumah dan toko-toko mereka. Agak mengherankan Sala yang nampak tenang bisa menjadi ajang keributan, seperti yang terjadi bulan lalu. Padahal sesungguhnya banyak wong Sala (mungkin sekarang cuma golongan tuanya) bersikap bedonis, ingin menikmati hidup sepuas-puasnya. Berpikir dan bekerja secukupnya, tidak ngoyo. Hal itu berbeda dengan sikap hidup "nonpribumi" yang tekun dan rajin bekerja tak kenal lelah. Itu tidak berarti semua wong Sala bermalas-malasan. Misalnya saudagar batik dari Kampung Laweyan, di sebelah barat pusat kota. Mereka tak kalah gesit dibanding pedagang Cina. Tak jarang mereka juga bisa zakelijk. Tidak heran kalau kaum saudagar (yang juga terdapat di Kampung Tegalsari dan Kemlayan) berhasil dalam bisnis, bahkan melempar batik ke Jakarta atau Singapura. Sikap dagang mereka sudah tak berbeda dengan kaum "nonpribumi". Bisa dimaklum kalau dahulu kala, pernah timbul persaingan antara kedua golongan tersebut. Untuk mempertahankan kedudukan pengusaha "pribumi", Haji Samanhoedi dari Laweyan, pada 1915 mendirikan Sjarikat Dagang Islam (SDI). Tapi sekarang kedua golongan itu sudah bisa bergaul baik. Di Pasar Klewer, nampak mereka saling menghidupi. Malah kabarnya banyak pengusaha batik "pribumi" menyetor hasil produksi mereka kepada "Batik Keris" atau "Batik Semar" (milik "nonpribumi") dan juga kepada "Danarhadi" (yang "pribum"). Batikbatik hasil kerajinan tangan si embok-embok pengobeng itu kemudian dipasarkan dengan merk-merk men terentu tersebut. Sesungguhnya sudah puluhan tahun di Sala berlangsung integrasi kultural secara wajar. Hampir semua Cina di Sala mampu berbahasa Jawa dengan baik. Muda-mudi Cina anggota Tunas Nui sa Harapan (dulu Chung Hua Chunhui) membentuk grup karawitan, mampu menarikan tarian Jawa atau bermain wayang-wayang. Semua orang Sala kenal Go Tik Swan, ahli adat-istiadat Jawa, seluk-beluk keris dan seni perbatikan. Maka Paku Buwono XII pun mengangkatnya sebagai "bupati dalem" dengan pangkat dan gelar Raden Tumenggung Hardjonagoro. Jangan dilupakan Tjan Tjoe Siem, ahli bahasa Jawa salah seorans pendiri Fakultas Sastra UI. Gelar doktornya diperoleh dengan disertasi mengenai pewayangan. Ia juga seorang muslim, dimakamkan di pemakaman Islam, Pajang. Maladi, bekas Menteri Penerangan (dan bekas penjaga gawang terkenal di Sala tahun 50-an), melukiskan kenyamanan Sala dalam lagu Solo Di Waktu Malam. Kalau sekarang anda ke sana kebetulan jam malam sudah dicabut. Anda bisa menikmati berbagai makanan. Mulai dari nyamikan (makanan kecil) seharga Rp 10 yang dijual si tukang hik (begitu sebutannya), nasi uduk depan Balai Muhammadiyah (Keprabon) sampai hidangan mahal di restoran "Madukoro" milik Nyonya Listyorini, pemeran Raden Harjuna dalam grup Wayang Orang RRI Sala. Kalau di tengah malam anda lapar, datang saja ke Balapan, nongkrong makan gudeg yang p,asti lain dari gudeg Yogya. Jam 4 subuh masih lek-lekan (bergadang) dan lapar? Silakan nongkrong di Jalan Slamet Riyadi, mengganyang bubur panas plus sambal goreng, nasi gudeg atau nasi liwet. Kapan Sala berdiri? Semula merupakan desa, konon didirikan oleh Kiai Sala. Makam sang kiai, berikut seorang pengiring dan kudanya, sampai sekarang dipercaya terletak di pojok kiridepan dari bangunan Sitihinggil di depan Kraton Kasunanan Surakarta, di belakang Pagelaran--yang kini menjadi Kampus UNS. Tak seorang tahu kapan desa itu berdiri. Tapi ke desa itulah Paku Buwono II memindahkan ibukota Kerajaan Mataram dari Kartasura, pada Februari 1745. Hijrah besar-besaran itu, dengan bantuan Kompeni Belanda, karena kerusuhan yang tak kunjung padam. Bukan saja antara para bangsawan tapi juga meletusnya pemberontakan Raden Mas Garendi pada tahun 1742, yang dibantu oleh lasykar Cina--yang sebelurnnya melakukan exodus dari Batavia karena dikejar-kejar kompeni. Kraton diduduki Raden Mas Garendi dan lasykar Cinanya, Paku Buwono II lari ke Ponorogo .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus