Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tiap Hari Naik Mobil

Suka duka (pengalaman) pelatih kursus nyetir, mereka harus sabar dan hati-hati. Orang asing lebih teliti belajar. Wanita gampang diajar tapi sulit dapat kepercayaan diri.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI seorang instruktur mengendarai mobil memerlukan persyaratan tertentu. Djurismedi, 56 tahun, berpengalaman 20 tahun di Yogya, berkata "Syarat untuk jadi pelatih di samping SIM yang sah adalah kesabaran yang sangat besar, dan hati-hati terus." Baginya kehati-hatian sangat penting --terutama menghadapi siswa yang ngawur. Soalnya kalau terjadi tabrakan, yang menanggung segala kerugian bukan siswa tapi pelatih. Sudah beberapa kali pelatih ini menghadapi siswa yang sok. Belum lama pegang stir sudah merasa dirinya jago, langsung ngebut. Orang-orang semacam itu memang sulit diatur tidak mempan dinasihati. "Jadi harus sabar. Kalau perlu merendahkan diri, tanpa harus kehilangan perbawa." Biasanya kehalusan itu berbuah--sebab yang suka ugal-ugalan sebenarnya justru tidak banyak tahu tentang mobil. Djurismedi adalah satu di antara 6 orang pelatih di kursus nyetir 'Bungur' di Yogya. Ia mulai bekerja sejak 1960-tatkala biro itu didirikannya. Sehari jam kerjanya 8 jam--@ 45 menit. Imbalan kerja yang diberikannya sebagai majikan dapat Rp 25 ribu. Kalau prestasinya baik menanjak sampai Rp 30 ribu, kemudian Rp 40 ribu. Dan akhirnya Rp 45 ribu--angka ini buat pelatih paling top. Bungur memulai operasi dengan modal sebuah sedan Fiat 1300. Dari tahun ke tahun ada kemajuan -- dan hingga kini sudah punya enam mobil untuk praktek. Dua di antaranya bukan milik Djurismedi. Kursus ini kini punya dua pusat latihan, di Gowongan Kidul dan di Jalan Sultan Agung. "Sebelum mendirikan Bungur, saya sudah memberi kursus mengendarai motor yang banyak dibutuhkan saat itu," tutur Djurismedi. Sebagai pemilik kursus Djurismedi tidak hanya melatih siswa. Ia juga mengetes pelatihnya sendiri. Ketika ia membuka lowongan pelatih, ada 25 calon. Hanya dua di antaranya yang diterima. Dan setelah sebulan ditatar baru dipercaya untuk melatih. "Tapi pada awal melatih mereka saya buntuti. Baru saya lepas menangani sendiri kalau sudah dapat dipercaya penuh," katanya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, minat belajar mengemudi lewat dia bertambah. Banyak di antaranya dosen. Yang menarik, jumlah wanita juga bertambah --mencapai 40% dari seluruh peserta Sayang Djurismedi tak memiliki tenaga pelatih wanita. Sampai kini ada 50 orang "murid" yang sedang belajar di Bungur. Untuk 900 jam pelajaran-plus SIM -- ongkosnya Rp 65 ribu. Tanpa SIM Rp 5 5 ribu . Pelajaran yang diberikan antara lain:mengemudikan mobil untuk berputar, mundur, masuk gang, nyalip, jalan lurus, menghadapi tanjakan, menggunakan rem kaki dan tangan, berhenti tanpa rem, mengambil posisi pada keramaian lalulintas--yah pokoknya seperti yang anda kuasai, kalau anda bermobil. Mengendarai mobil secara miring--dengan dua roda samping menapak di tembok seperti di film James Bond itu --atau secara pengemudi "tong setan", sudah tentu tak usah. Drop Out "Dari kerja begini saya lebih meluaskan persaudaraan," katanya. Sekali peristiwa, mobil yang dikendarainya mogok. Eh, tahu-tahu ada orang yang berhenti lalu mendekat untuk menolong. "Orang itu mengaku pernah belajar pada saya. Itu salah satu keuntungannya." Hanya saja kini ia sedikit sedih: ada kebijaksanaan pemerintah untuk mengadakan kursus nyetir mobil secara gratis. Anton Silitonga (25 tahun), sudah empat tahun melatih nyetir di Medan. Sudah lebih 2000 orang dididiknya. Ia juga mengaku sangat bahagia kalau salah seorang bekas muridnya kebetulan menyapa -- sementara ia mungkin sudah lupa. "Itulah kebanggaan saya sebagai guru," ujarnya. Dan begitulah guru bidang apa saja, memang. Anton berasal dari Padang Sidempuan, 300 kilometer dari Medan. Selama melatih banyak pengalamannya. Rata-rata yang belajar mengemudi adalah mereka dari golongan drop out. Mereka banyak yang rewel dan manja, dan karena itu instruktur harus tekun dan tabah. Hati yang panas harus diimbali dengan kepala yang dingin, sehingga pelatih tetap memberi teladan. Sering ada murid yang merasa dirinya lebih pintar anehnya. "Huh. Mau saya meninju. Tapi mgat sebagai guru, perasaan mesti dijaga," begitu. K. Junaedy atau Edy (22 tahun), rekan sekerja Anton, punya banyak murid wanita. "Ada yang malu-malu, tapi ada pula yang bersimpati kepada saya," katanya. "Bahkan memancing kencan tidak pada tempatnya." Termasuk yang sudah berstatus nyonya, katanya. Edy kadang bingung juga. "Tapi okelah, saya mau saja kencan, tapi batasnya mesti ada." Diejek Baik Anton maupun Edy mulai kewalahan kalau menghadapi murid dari desa. Mereka banyak yang tak paham bahasa Indonesia--dan pelatih terpaksa harus lihai bahasa daerah. Kalau asalnya dari Tapanuli Utara, dihadapi dengan bahasa Batak Toba. Dari Karo, Batak Karo. Dan seterusnya. "Nah, yang susah, kalau murid itu tidak pula saya mengerti bahasa daerahnya. Ramai," kata Anton. Untung kalau tidak ramai di jalan ramai. Edy sering melatih orang-orang desa yang bertingkah lucu. Kalau sedang di lokasi yang ramai begitu, hanya karena bunyi klakson dari belakang, yang bersangkutan bisa terkejut--lalu stir lari ke kiri ke kanan. "Murid itu seperti rusa masuk kampung," katanya. Tapi yang menyebalkan ada juga, yakni kalau di tempat ramai itu mobil macet. Orang-orang akan berkoar: "Oi! Kenapa berlayar di daratan. Di laut!" Sopir bemo dan tukang beca memang paling senang mengejek dengan membaca "berlayar", tulisan "belajar" yang ditempelkan di atas mobil. Nurofiq (39 tahun), yang sudah 10 tahun menjadi pelatih di Surabaya, mengeluh tentang penghasilan yang kecil. Ia bekerja di perusahaan melatih nyetir 'Maju'. Perusahaan itu sendiri memang maju. Mula-mula modalnya hanya tiga mobil Morris, dan sekarang sudah berkembang jadi 8 Morris, 4 Corolla, Honda Civic dan Mercy. "Tapi hidup saya sendiri tidak juga berubah. Begini-begini saja." Nurofiq yang termasuk paling tua dan paling kawakan di antara pelatih kursus yang berlokasi di Jalan Gubeng Mesjid itu berpenghasilan Rp 1000 sehari. Minimal ia melatih enam orang tiap hari. Kalau tidak masuk karena sakit, penghasilannya dipotong. "Sementara uang obat kami tidak mendapat ganti," kata lelaki asal Sidoarjo itu. Untunglah sebagai pelatih kenalannya meluas. Itu mendatangkan rezeki tambahan, karena ia seringkali dicari orang yang ingin beli mobil. Dari kerja menghubungkan itu ia dapat persen. "Lumayan juga sebagai sambilan. Tapi itu tidak pasti sebulan sekali." Untuk menambah penghasilannya, terpaksa hari Minggu ia memberi latihan mengemudi pula. Mobil yang diperlukan untuk melatih bisa disewa. Nurofiq, seperti juga pelatih yang lain, menempatkan diri sebagai seorang guru. Tentu saja ia ingin agar anak didiknya lulus. Ia sering memberikan petunjuk bagaimana cara polisi menguji "menjebak" mereka yang mengikuti ujian SIM. Bila polisi penguji ikut dalam mobil, Nurofiq selalu memesankan agar muridnya menganggap petugas itu sebagai penumpang biasa, sedang muridnya sendiri sebagai sopir taksi. Kalau diperintahkan berhenti, harus berpikir dua kali dan mengawasi tanda-tanda lalulintas. "Kalau tidak awas bisa celaka," ujarnya. Rekan Nurofiq, Kusnan (26 tahun) pelatih yang bekerja untuk perusahaan 'Djoen', bernasib tak jauh beda. Penghasilannya Rp 1.60q per hari. Ia mengajar 10 orang setiap hari. Anaknya sudah dua. Tapi mengaku penghasilannya cukup lumayan--k 'anya kalau ada kerja yang lebih baik, ia akan meninggalkan profesinya yang sekarang, tentu. "Bukan saya tidak senang pekerjaan ini," katanya. Di Jakarta tempat kendaraan paling banyak di Indonesia minat belajar mengemudi juga banyak. Kursus mengemudi berserakan. Lebih istimewa dari daerah lainnya, di Jakarta ada instruktur yang menguasai bahasa-bahasa Inggris, Belanda dan Jepang, selain bahasa Indonesia tentunya. Namanya J. Wauran, pensiunan ABRI berusia 52 tahun. Pensiun tahun 1974 dengan pangkat Peltu. Wauran berdinas melatih nyetir di PT Wahana Jaya Raru, Jakarta, sejak 1975. Menurut dia, pekerjaan itu hanya untuk meneruskan keahlian semata-mata. "Hidup saya dari uang pensiunan (Rp 86 ribu) sebenarnya sudah cukup, apalagi anak-anak saya banyak yang sedia membantu." Sebagai instruktur ia bergaji Rp 18.500 sebulan, plus uang makan Rp 350 sehari. Ada uang insentif sebesar Rp 125 untuk setiap siswa yang ditangani setiap hari. Wauran selalu dicari orang asing yang ingin dapat SIM Indonesia. Bagi Wauran itu ada keuntungannya sendiri. Rupa-rupanya orang asing sangat tahu berterima kasih. "Begitu lulus dan dapat SIM, mereka sering kasih hadiah. Dan setelah mereka kembali ke negaranya juga ada yang kirim surat," kata Wauran. Di tahun 1976 ia pernah menerima bingkisan jas. "Biasanya mereka kasih tip berupa baju. Saya juga pernah terima jam tangan dari salah seorang7" tuturnya. Tip tersebut berkisar antara Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu. "Yang tidak sering kasih biasanya orang Korea. Saya sama sekali tak apa-apa. Kewajiban saya bukan untuk memperoleh tip," ujarnya sambil mesem-mesem. Sejak bertugas di Wahana tak kurang 400 orang asing yang ditanganinya. "Saya catat mereka dari 30 negara," ujarnya. Yang terbanyak orang Belanda dan Jepang. "Hampir semua petugas di Kedutaan Besar Jepang dan Belanda, belajar pada saya." Mungkin karena menganggap mendapat SIM di Indonesia lebih murah. Di Wahana belajar sampai memperoleh SIM hanya Rp 50 ribu, dalam tempo rata-rata dua minggu. Di negeri Belanda kabarnya sampai Rp 300 ribu dan di Jepang Rp 20 ribu--tentu tidak dengan rupiah. Selama melatih, Wauran tak sengaja membandingkan pengalamannya dalam menghadapi bangsa asing dengan bangsa sendiri. Tanpa maksud merendahkan bangsa dewek, ia mengaku rata-rata orang asing lebih teliti. Satu ketika ia berhadapan dengan orang Belanda. Orang itu mengemudikan kendaraan dengan kecepatan 60 km, sedang di pinggir jalan ada tanda tidak boleh lebih dari 45 km. "Kenapa Tuan Wauran tidak melarang saya jalan begitu cepat?" tanya murid itu. Wauran sebagai orang yang cukup berpengalaman segera menjawab: "Saya sengaja menguji Tuan." Lain kesempatan, seorang wanita Inggris pernah menegurnya -- ketika berbelok tanpa menyalakan lampu sein. Teguran itu diterima baik oleh Wauran. "Itu kelebihan orang asing. Mereka berani menegur instrukturnya kalau ada sesuatu yang kurang betul." Sebaliknya, dua tahun lalu, di jalan Grogol ia pernah ketanggor seorang doktorandus. Ketika Wauran menginjak rem lantaran mobil terlalu laju, murid itu serta merta tersinggung. Bayangkan. Dari mengajar mengemudi itu, Wauran juga dapat menyimpulkan perbedaan lain antara wanita dan pria. Wanita, menurut Wauran lebih mudah diajari. "Mereka lebih halus perasaannya, teliti, mau ditegur kalau salah," ujarnya. "Hanya biasanya lambat untuk percaya pada diri sendiri. Mudah mengerti dan bisa, tapi kurang cepat mantap." Dibentak Tapi rupanya soal wanita agak kontroversial juga. Menurut Paimin, pensiunan (1975) Peltu Polisi yang direkrut PT UIisa di Jakarta, keberanian murid wanita sebenarnya sama saja dengan yang pria. Hanya "kalau wanita tua, atau di atas 30 tahun, dibentak saja sudah buyar konsentrasinya." Jangan dikata lagi bila si wanita berpenyakit latah. Bayangkan. Untung saja. Paimin, bekas anggota Polantas (jabatan terakhir Wakil Komandan Regu Patroli Kota, Kodak Metro Jaya), banyak mengerti dan berwibawa. Jenis guru nyetir yang lain ialah pelatih mengemudi kendaraan umum. Ini diwakili oleh Dulmukti, 33 tahun, bekas tukang las yang bekerja untuk Wahana Jaya Baru di Jakarta. la menangani mereka yang mau mengambil SIM B1 dan B1 umum. Mengajar calon sopir bis model PPD, misalnya, ia harus bediri di sebelah kirinya. Dengan truk, meski bisa duduk, ia sering repot membantu siswa melihat kaca spion yang terhalang bak belakang. Dulmukti boleh dikatakan tak pernah menerima tip --maklum yang diaJarnya umumnya mereka yang nantinya akan melamar sebagai "sopir berat". "Jadi kita mengajar mereka ini karena betul-betul ingin membantu mereka mendapat pekerjaan," kata orang Pemalang ini. Untuk itu, kesannya ialah: "Saya senang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus