MENJADI seorang instruktur mengendarai mobil memerlukan
persyaratan tertentu. Djurismedi, 56 tahun, berpengalaman 20
tahun di Yogya, berkata "Syarat untuk jadi pelatih di samping
SIM yang sah adalah kesabaran yang sangat besar, dan hati-hati
terus."
Baginya kehati-hatian sangat penting --terutama menghadapi
siswa yang ngawur. Soalnya kalau terjadi tabrakan, yang
menanggung segala kerugian bukan siswa tapi pelatih.
Sudah beberapa kali pelatih ini menghadapi siswa yang sok.
Belum lama pegang stir sudah merasa dirinya jago, langsung
ngebut. Orang-orang semacam itu memang sulit diatur tidak mempan
dinasihati. "Jadi harus sabar. Kalau perlu merendahkan diri,
tanpa harus kehilangan perbawa." Biasanya kehalusan itu
berbuah--sebab yang suka ugal-ugalan sebenarnya justru tidak
banyak tahu tentang mobil.
Djurismedi adalah satu di antara 6 orang pelatih di kursus
nyetir 'Bungur' di Yogya. Ia mulai bekerja sejak 1960-tatkala
biro itu didirikannya. Sehari jam kerjanya 8 jam--@ 45 menit.
Imbalan kerja yang diberikannya sebagai majikan dapat Rp 25
ribu. Kalau prestasinya baik menanjak sampai Rp 30 ribu,
kemudian Rp 40 ribu. Dan akhirnya Rp 45 ribu--angka ini buat
pelatih paling top.
Bungur memulai operasi dengan modal sebuah sedan Fiat 1300.
Dari tahun ke tahun ada kemajuan -- dan hingga kini sudah punya
enam mobil untuk praktek. Dua di antaranya bukan milik
Djurismedi. Kursus ini kini punya dua pusat latihan, di Gowongan
Kidul dan di Jalan Sultan Agung. "Sebelum mendirikan Bungur,
saya sudah memberi kursus mengendarai motor yang banyak
dibutuhkan saat itu," tutur Djurismedi.
Sebagai pemilik kursus Djurismedi tidak hanya melatih siswa.
Ia juga mengetes pelatihnya sendiri. Ketika ia membuka lowongan
pelatih, ada 25 calon. Hanya dua di antaranya yang diterima. Dan
setelah sebulan ditatar baru dipercaya untuk melatih. "Tapi pada
awal melatih mereka saya buntuti. Baru saya lepas menangani
sendiri kalau sudah dapat dipercaya penuh," katanya.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, minat belajar mengemudi
lewat dia bertambah. Banyak di antaranya dosen. Yang menarik,
jumlah wanita juga bertambah --mencapai 40% dari seluruh peserta
Sayang Djurismedi tak memiliki tenaga pelatih wanita. Sampai
kini ada 50 orang "murid" yang sedang belajar di Bungur. Untuk
900 jam pelajaran-plus SIM -- ongkosnya Rp 65 ribu. Tanpa SIM Rp
5 5 ribu .
Pelajaran yang diberikan antara lain:mengemudikan mobil
untuk berputar, mundur, masuk gang, nyalip, jalan lurus,
menghadapi tanjakan, menggunakan rem kaki dan tangan, berhenti
tanpa rem, mengambil posisi pada keramaian lalulintas--yah
pokoknya seperti yang anda kuasai, kalau anda bermobil.
Mengendarai mobil secara miring--dengan dua roda samping menapak
di tembok seperti di film James Bond itu --atau secara pengemudi
"tong setan", sudah tentu tak usah.
Drop Out
"Dari kerja begini saya lebih meluaskan persaudaraan,"
katanya. Sekali peristiwa, mobil yang dikendarainya mogok. Eh,
tahu-tahu ada orang yang berhenti lalu mendekat untuk menolong.
"Orang itu mengaku pernah belajar pada saya. Itu salah satu
keuntungannya." Hanya saja kini ia sedikit sedih: ada
kebijaksanaan pemerintah untuk mengadakan kursus nyetir mobil
secara gratis.
Anton Silitonga (25 tahun), sudah empat tahun melatih
nyetir di Medan. Sudah lebih 2000 orang dididiknya. Ia juga
mengaku sangat bahagia kalau salah seorang bekas muridnya
kebetulan menyapa -- sementara ia mungkin sudah lupa. "Itulah
kebanggaan saya sebagai guru," ujarnya. Dan begitulah guru
bidang apa saja, memang.
Anton berasal dari Padang Sidempuan, 300 kilometer dari
Medan. Selama melatih banyak pengalamannya. Rata-rata yang
belajar mengemudi adalah mereka dari golongan drop out. Mereka
banyak yang rewel dan manja, dan karena itu instruktur harus
tekun dan tabah. Hati yang panas harus diimbali dengan kepala
yang dingin, sehingga pelatih tetap memberi teladan. Sering ada
murid yang merasa dirinya lebih pintar anehnya. "Huh. Mau saya
meninju. Tapi mgat sebagai guru, perasaan mesti dijaga," begitu.
K. Junaedy atau Edy (22 tahun), rekan sekerja Anton, punya
banyak murid wanita. "Ada yang malu-malu, tapi ada pula yang
bersimpati kepada saya," katanya. "Bahkan memancing kencan tidak
pada tempatnya." Termasuk yang sudah berstatus nyonya, katanya.
Edy kadang bingung juga. "Tapi okelah, saya mau saja kencan,
tapi batasnya mesti ada."
Diejek
Baik Anton maupun Edy mulai kewalahan kalau menghadapi
murid dari desa. Mereka banyak yang tak paham bahasa
Indonesia--dan pelatih terpaksa harus lihai bahasa daerah. Kalau
asalnya dari Tapanuli Utara, dihadapi dengan bahasa Batak Toba.
Dari Karo, Batak Karo. Dan seterusnya. "Nah, yang susah, kalau
murid itu tidak pula saya mengerti bahasa daerahnya. Ramai,"
kata Anton. Untung kalau tidak ramai di jalan ramai.
Edy sering melatih orang-orang desa yang bertingkah lucu.
Kalau sedang di lokasi yang ramai begitu, hanya karena bunyi
klakson dari belakang, yang bersangkutan bisa terkejut--lalu
stir lari ke kiri ke kanan. "Murid itu seperti rusa masuk
kampung," katanya. Tapi yang menyebalkan ada juga, yakni kalau
di tempat ramai itu mobil macet. Orang-orang akan berkoar: "Oi!
Kenapa berlayar di daratan. Di laut!" Sopir bemo dan tukang beca
memang paling senang mengejek dengan membaca "berlayar", tulisan
"belajar" yang ditempelkan di atas mobil.
Nurofiq (39 tahun), yang sudah 10 tahun menjadi pelatih di
Surabaya, mengeluh tentang penghasilan yang kecil. Ia bekerja di
perusahaan melatih nyetir 'Maju'. Perusahaan itu sendiri memang
maju. Mula-mula modalnya hanya tiga mobil Morris, dan sekarang
sudah berkembang jadi 8 Morris, 4 Corolla, Honda Civic dan
Mercy. "Tapi hidup saya sendiri tidak juga berubah.
Begini-begini saja."
Nurofiq yang termasuk paling tua dan paling kawakan di
antara pelatih kursus yang berlokasi di Jalan Gubeng Mesjid itu
berpenghasilan Rp 1000 sehari. Minimal ia melatih enam orang
tiap hari. Kalau tidak masuk karena sakit, penghasilannya
dipotong. "Sementara uang obat kami tidak mendapat ganti," kata
lelaki asal Sidoarjo itu.
Untunglah sebagai pelatih kenalannya meluas. Itu
mendatangkan rezeki tambahan, karena ia seringkali dicari orang
yang ingin beli mobil. Dari kerja menghubungkan itu ia dapat
persen.
"Lumayan juga sebagai sambilan. Tapi itu tidak pasti
sebulan sekali." Untuk menambah penghasilannya, terpaksa hari
Minggu ia memberi latihan mengemudi pula. Mobil yang diperlukan
untuk melatih bisa disewa.
Nurofiq, seperti juga pelatih yang lain, menempatkan diri
sebagai seorang guru. Tentu saja ia ingin agar anak didiknya
lulus. Ia sering memberikan petunjuk bagaimana cara polisi
menguji "menjebak" mereka yang mengikuti ujian SIM. Bila polisi
penguji ikut dalam mobil, Nurofiq selalu memesankan agar
muridnya menganggap petugas itu sebagai penumpang biasa, sedang
muridnya sendiri sebagai sopir taksi. Kalau diperintahkan
berhenti, harus berpikir dua kali dan mengawasi tanda-tanda
lalulintas. "Kalau tidak awas bisa celaka," ujarnya.
Rekan Nurofiq, Kusnan (26 tahun) pelatih yang bekerja untuk
perusahaan 'Djoen', bernasib tak jauh beda. Penghasilannya Rp
1.60q per hari. Ia mengajar 10 orang setiap hari. Anaknya sudah
dua. Tapi mengaku penghasilannya cukup lumayan--k 'anya kalau
ada kerja yang lebih baik, ia akan meninggalkan profesinya yang
sekarang, tentu. "Bukan saya tidak senang pekerjaan ini,"
katanya.
Di Jakarta tempat kendaraan paling banyak di Indonesia minat
belajar mengemudi juga banyak. Kursus mengemudi berserakan.
Lebih istimewa dari daerah lainnya, di Jakarta ada instruktur
yang menguasai bahasa-bahasa Inggris, Belanda dan Jepang, selain
bahasa Indonesia tentunya. Namanya J. Wauran, pensiunan ABRI
berusia 52 tahun. Pensiun tahun 1974 dengan pangkat Peltu.
Wauran berdinas melatih nyetir di PT Wahana Jaya Raru,
Jakarta, sejak 1975. Menurut dia, pekerjaan itu hanya untuk
meneruskan keahlian semata-mata. "Hidup saya dari uang pensiunan
(Rp 86 ribu) sebenarnya sudah cukup, apalagi anak-anak saya
banyak yang sedia membantu." Sebagai instruktur ia bergaji
Rp 18.500 sebulan, plus uang makan Rp 350 sehari. Ada uang
insentif sebesar Rp 125 untuk setiap siswa yang ditangani
setiap hari.
Wauran selalu dicari orang asing yang ingin dapat SIM
Indonesia. Bagi Wauran itu ada keuntungannya sendiri.
Rupa-rupanya orang asing sangat tahu berterima kasih. "Begitu
lulus dan dapat SIM, mereka sering kasih hadiah. Dan setelah
mereka kembali ke negaranya juga ada yang kirim surat," kata
Wauran.
Di tahun 1976 ia pernah menerima bingkisan jas. "Biasanya
mereka kasih tip berupa baju. Saya juga pernah terima jam
tangan dari salah seorang7" tuturnya. Tip tersebut berkisar
antara Rp 5 ribu sampai Rp 20 ribu. "Yang tidak sering kasih
biasanya orang Korea. Saya sama sekali tak apa-apa. Kewajiban
saya bukan untuk memperoleh tip," ujarnya sambil mesem-mesem.
Sejak bertugas di Wahana tak kurang 400 orang asing yang
ditanganinya. "Saya catat mereka dari 30 negara," ujarnya. Yang
terbanyak orang Belanda dan Jepang. "Hampir semua petugas di
Kedutaan Besar Jepang dan Belanda, belajar pada saya." Mungkin
karena menganggap mendapat SIM di Indonesia lebih murah. Di
Wahana belajar sampai memperoleh SIM hanya Rp 50 ribu, dalam
tempo rata-rata dua minggu. Di negeri Belanda kabarnya sampai Rp
300 ribu dan di Jepang Rp 20 ribu--tentu tidak dengan rupiah.
Selama melatih, Wauran tak sengaja membandingkan
pengalamannya dalam menghadapi bangsa asing dengan bangsa
sendiri. Tanpa maksud merendahkan bangsa dewek, ia mengaku
rata-rata orang asing lebih teliti. Satu ketika ia berhadapan
dengan orang Belanda. Orang itu mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan 60 km, sedang di pinggir jalan ada tanda tidak boleh
lebih dari 45 km. "Kenapa Tuan Wauran tidak melarang saya jalan
begitu cepat?" tanya murid itu. Wauran sebagai orang yang cukup
berpengalaman segera menjawab: "Saya sengaja menguji Tuan."
Lain kesempatan, seorang wanita Inggris pernah menegurnya
-- ketika berbelok tanpa menyalakan lampu sein. Teguran itu
diterima baik oleh Wauran. "Itu kelebihan orang asing. Mereka
berani menegur instrukturnya kalau ada sesuatu yang kurang
betul." Sebaliknya, dua tahun lalu, di jalan Grogol ia pernah
ketanggor seorang doktorandus. Ketika Wauran menginjak rem
lantaran mobil terlalu laju, murid itu serta merta tersinggung.
Bayangkan.
Dari mengajar mengemudi itu, Wauran juga dapat menyimpulkan
perbedaan lain antara wanita dan pria. Wanita, menurut Wauran
lebih mudah diajari. "Mereka lebih halus perasaannya, teliti,
mau ditegur kalau salah," ujarnya. "Hanya biasanya lambat untuk
percaya pada diri sendiri. Mudah mengerti dan bisa, tapi kurang
cepat mantap."
Dibentak
Tapi rupanya soal wanita agak kontroversial juga. Menurut
Paimin, pensiunan (1975) Peltu Polisi yang direkrut PT UIisa di
Jakarta, keberanian murid wanita sebenarnya sama saja dengan
yang pria. Hanya "kalau wanita tua, atau di atas 30 tahun,
dibentak saja sudah buyar konsentrasinya." Jangan dikata lagi
bila si wanita berpenyakit latah. Bayangkan. Untung saja.
Paimin, bekas anggota Polantas (jabatan terakhir Wakil Komandan
Regu Patroli Kota, Kodak Metro Jaya), banyak mengerti dan
berwibawa.
Jenis guru nyetir yang lain ialah pelatih mengemudi
kendaraan umum. Ini diwakili oleh Dulmukti, 33 tahun, bekas
tukang las yang bekerja untuk Wahana Jaya Baru di Jakarta. la
menangani mereka yang mau mengambil SIM B1 dan B1 umum.
Mengajar calon sopir bis model PPD, misalnya, ia harus
bediri di sebelah kirinya. Dengan truk, meski bisa duduk, ia
sering repot membantu siswa melihat kaca spion yang terhalang
bak belakang.
Dulmukti boleh dikatakan tak pernah menerima tip --maklum
yang diaJarnya umumnya mereka yang nantinya akan melamar sebagai
"sopir berat". "Jadi kita mengajar mereka ini karena betul-betul
ingin membantu mereka mendapat pekerjaan," kata orang Pemalang
ini. Untuk itu, kesannya ialah:
"Saya senang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini