Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Ada Apa-Apa Di Medan

Hubungan antara pribumi dan non pribumi di Medan. Semua daerah perdagangan penting dikuasai nonpri. Beberapa keributan nyaris terjadi.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Tak Ada Apa-Apa Di Medan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MENGAPA tak terjadi apaapa di Medan? Di kota yang berpenduduk 1 1/4 juta jiwa itu, kelompok "nonpri" dikenal cukup eksklusit. Semua daerah perdagangan penting dikuasai mereka, seperti Jalan Surabaya dan Jalan Semarang dan sekitarnya. Begitu pula, pengelompokan pemukiman mereka terpisah dari warga kota lainnya. Di Medan beberapa kali keributan seperti di Sala dan Semarang hampir meledak. Yang terbaru, 12 April 1980, sekelompok mahasiswa USU (Universitas Sumatera Utara) berkeliling kota dengan sepeda motor sambil memekikkan teriakan-teriakan anti-Cina. Tapi 2 jam kemudian mereka dibubarkan petugas keamanan. Sehingga gerakan yang berpangkal pada terbunuhnya seorang preman di kompleks judi gelap yang dicukongi "nonpri", berakhir begitu saja. Malahan berbagai organisasi massa keesokan harinya menyerukan kepada para anggotanya agar tak melibatkan diri dengan gerakan itu. Lebih dari itu, mereka juga agak membatasi diri dalam pergaulan sehari-hari dengan warga kota yang lain. llalahan banyak di antara mereka yang jumlahnya sekitar 120.000 iiwa itu tak mampu berbahasa Indonesia, baik karena pendidikan maupun pergaulan yang menyendiri. Begitu juga mereka biasa menyebut warga "pri" dengan bwa-na, satu sebutan bernada ejekan. "Tapi dari berbagai keadaan yang bcrbeda menyolok antara dua golongan itu, terdapat semacam harmoni dalam kehidupan di kota ini," kata Luckman Sinar SH, seorang yang banyakmenelaah sejarah Kota Medan. Misalnya di bidang ekonomi. "Meskipun semua kedai kopi milik 'nonpr tapi yang menjual nasi adalah 'pri", tambah Luckman. Dan keduanya, menurut Luckman, tak dapat berpisah. Contoh lainnya: pedagang kaki lima yang "pri", selal berjualan di depan toko "nonpri." Tapi dengan adanya kaki lima, toko jadi banyak pengunjung. "Selama harmoni seperti itu tak terganggu, saya kira sulit terjadi konflik seperti di Sala dan Semarang," kata Luckman lagi. Persaingan memang tak begitu terlihat di kalangan penduduk "pri" dengan nonpri" Jika pihak lain menjadi grosir, pihak "pri" menjadi pengecer di los-los pasar. Begitu juga pelaksanaan Kepres 14 dan 14 A. Golongan "pri" yang jadi kontraktor, sesuai dengan Kepres itln selalu bekerjasama dengan "nonpri yang menjadi grosir bahan-bahan. Betapaplm masih terlihat permainan Ali Baba dalam betapa pelaksanaannya, tapi bagi Luckman "yang penting ada kerjasama. " Namun bukan berarti tak ada golongan "nonpri" yang berusaha menyatukan dirinya sebagai orang Indonesia. Trong A Fie misalnya. Ia tiba pertama kali di Indonesia pada 1880, ketika masih berusia 18 tahun. Ia mendidik anak-anaknya menjadi orang Indonesia: tidak mengajari mereka bahasa Cina, membebaskan anak-anaknya bergaul dengan orang Melayu, begitu juga dalam hal pakaian istri dan anak anaknya. Maiahan sebagai dermawan, Tjong turut membantu pembangunan Mesjid Raya Al Mansun dan membangun dengan biayanya sendiri Masjid Gang Bengkok di Jalan Masjid Medan. Begitu juga, "ibuku selalu memakaikan sarung batik dan kebaya padaku seperti gadis-gadis Indonesia pada waktu itu," tutur Queeny Chang, anak Tjong yang kini telah berusia 79 tahun. Menurut Chang, ayahnya meninggal pada 1942. Tapi ia tetap dikenang, bahkan nyaris jadi legenda di Kota Medan, terutama karena kedermawanannya. Ia mendapat bintang jasa dari Pemerintah Hindia Belanda, karena dianggap telah turut membangun sebagian Kota Medan. Rumah kediaman T jong A Fie yang terbuat dari kayu hingga sekarang maiih berdiri kokoh di pusat perbelanjaan Kesawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus