MENGAPA tak terjadi apaapa di Medan? Di kota yang
berpenduduk 1 1/4 juta jiwa itu, kelompok "nonpri" dikenal cukup
eksklusit. Semua daerah perdagangan penting dikuasai mereka,
seperti Jalan Surabaya dan Jalan Semarang dan sekitarnya. Begitu
pula, pengelompokan pemukiman mereka terpisah dari warga kota
lainnya.
Di Medan beberapa kali keributan seperti di Sala dan
Semarang hampir meledak. Yang terbaru, 12 April 1980, sekelompok
mahasiswa USU (Universitas Sumatera Utara) berkeliling kota
dengan sepeda motor sambil memekikkan teriakan-teriakan
anti-Cina.
Tapi 2 jam kemudian mereka dibubarkan petugas keamanan.
Sehingga gerakan yang berpangkal pada terbunuhnya seorang preman
di kompleks judi gelap yang dicukongi "nonpri", berakhir begitu
saja. Malahan berbagai organisasi massa keesokan harinya
menyerukan kepada para anggotanya agar tak melibatkan diri
dengan gerakan itu.
Lebih dari itu, mereka juga agak membatasi diri dalam
pergaulan sehari-hari dengan warga kota yang lain. llalahan
banyak di antara mereka yang jumlahnya sekitar 120.000 iiwa itu
tak mampu berbahasa Indonesia, baik karena pendidikan maupun
pergaulan yang menyendiri. Begitu juga mereka biasa menyebut
warga "pri" dengan bwa-na, satu sebutan bernada ejekan.
"Tapi dari berbagai keadaan yang bcrbeda menyolok antara
dua golongan itu, terdapat semacam harmoni dalam kehidupan di
kota ini," kata Luckman Sinar SH, seorang yang banyakmenelaah
sejarah Kota Medan. Misalnya di bidang ekonomi. "Meskipun semua
kedai kopi milik 'nonpr tapi yang menjual nasi adalah 'pri",
tambah Luckman. Dan keduanya, menurut Luckman, tak dapat
berpisah.
Contoh lainnya: pedagang kaki lima yang "pri", selal
berjualan di depan toko "nonpri." Tapi dengan adanya kaki lima,
toko jadi banyak pengunjung. "Selama harmoni seperti itu tak
terganggu, saya kira sulit terjadi konflik seperti di Sala dan
Semarang," kata Luckman lagi.
Persaingan memang tak begitu terlihat di kalangan penduduk
"pri" dengan nonpri" Jika pihak lain menjadi grosir, pihak "pri"
menjadi pengecer di los-los pasar. Begitu juga pelaksanaan
Kepres 14 dan 14 A. Golongan "pri" yang jadi kontraktor, sesuai
dengan Kepres itln selalu bekerjasama dengan "nonpri yang
menjadi grosir bahan-bahan. Betapaplm masih terlihat permainan
Ali Baba dalam betapa pelaksanaannya, tapi bagi Luckman "yang
penting ada kerjasama. "
Namun bukan berarti tak ada golongan "nonpri" yang berusaha
menyatukan dirinya sebagai orang Indonesia. Trong A Fie
misalnya. Ia tiba pertama kali di Indonesia pada 1880, ketika
masih berusia 18 tahun. Ia mendidik anak-anaknya menjadi orang
Indonesia: tidak mengajari mereka bahasa Cina, membebaskan
anak-anaknya bergaul dengan orang Melayu, begitu juga dalam hal
pakaian istri dan anak anaknya.
Maiahan sebagai dermawan, Tjong turut membantu pembangunan
Mesjid Raya Al Mansun dan membangun dengan biayanya sendiri
Masjid Gang Bengkok di Jalan Masjid Medan. Begitu juga, "ibuku
selalu memakaikan sarung batik dan kebaya padaku seperti
gadis-gadis Indonesia pada waktu itu," tutur Queeny Chang, anak
Tjong yang kini telah berusia 79 tahun.
Menurut Chang, ayahnya meninggal pada 1942. Tapi ia tetap
dikenang, bahkan nyaris jadi legenda di Kota Medan, terutama
karena kedermawanannya. Ia mendapat bintang jasa dari Pemerintah
Hindia Belanda, karena dianggap telah turut membangun sebagian
Kota Medan.
Rumah kediaman T jong A Fie yang terbuat dari kayu hingga
sekarang maiih berdiri kokoh di pusat perbelanjaan
Kesawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini