Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budiman Sudjatmiko
*) Penulis Novel dan Komik Anak-anak Revolusi
PADA suatu pagi di tahun 1987, seorang anak muda berusia 17 tahun sedang gelisah di bangku belakang sebuah kelas sekolah menengah atas di Yogyakarta. Sementara gurunya sedang mengurai mata pelajaran "yang begitu-begitu saja", si anak muda sedang membuka-buka halaman buku Catatan Seorang Demonstran. Buku ini adalah catatan harian milik seorang anak muda lain yang mati muda 18 tahun sebelumnya. Namanya Soe Hok-gie. Sebagaimana anak-anak muda seusianya, dia sedang mencari-cari tokoh idolanya.
Anak muda itu adalah saya.
Pada 1987 itu, umumnya anak muda berusia belasan tahun sedang mencari role model. Pada masa itu, kebanyakan generasi saya terbelah dalam pemujaan dua sosok model. Yang pertama adalah kelompok yang memuja si Boy. Dengan catatannya, si Boy tampil sebagai anak muda borjuis konservatif (banyak pacar, bersekolah di Amerika Serikat, suka pesta, memasang tasbih di mobilnya, dan punya teman transgender yang jadi bahan olok-olok). Yang kedua adalah pengidola Lupus, anak muda dari keluarga kelas menengah-bawah di Jakarta yang bersekolah di SMA Merah Putih (terdengar patriotik, bukan?), easy going, setia kawan/suka membantu sesamanya yang sering ketiban sial, punya kesalehan yang moderat, dan suka mengolok-olok teman sekolahnya yang sok selebritas, Fifi Alone. Saya masuk kelompok ini. Bagi saya, Lupus keren karena lebih progresif dalam cara memandang hidup.
Sayang, baik Boy yang borjuis konservatif maupun Lupus yang progresif adalah tokoh fiktif.
Berbeda dari keduanya, pada Soe Hok-gie saya menemukan sosok pemuda yang politis, progresif, jago menulis, dan, yang terpenting, dia adalah tokoh nyata! Aktivitas dan produktivitas Gie dalam berkarya membuat dia abadi dalam ingatan generasi-generasi sesudahnya. Kepopulerannya melampaui rekan-rekan sejawatnya dari generasi gerakan mahasiswa 1966, bahkan yang menjadi tokoh nasional atau pernah menduduki jabatan penting sekalipun. Bagi saya, Gie adalah pemuda dan manusia yang memiliki empati dan keberpihakan pada rakyat kecil, terbuka pada kemajuan, dan toleran dalam pergaulan.
Eureka! Inilah Lupus versi aktivis pergerakan di dunia nyata!
Progresif yang Kesepian
Lalu siapakah Gie? Dia adalah humanis yang memimpikan dunia tanpa perang, bebas dari kebencian dan pembunuhan atas nama dan alasan apa pun. Memimpikan dunia tempat manusia hanya sibuk memikirkan pembangunan kehidupan yang lebih baik. Namun ini tidak sesederhana yang sering kita dengar sebagai angan-angan normatif. Dia memilih menggelutinya sebagai ide kebaikan dan keadilan yang sistemik untuk semua orang dalam tradisi Sosial Demokrasi. Ide politik inilah yang telah menghadapkannya pada segala sistem yang tidak demokratis, tidak setara, dan mengekang kebebasan individu.
Progresivisme Gie ditopang oleh kedua hal tersebut. Perpaduannya melahirkan sosok Gie yang kontradiktif, jika dilihat dari sudut pandang logika Perang Dingin yang naif tapi dominan saat itu. Ini menunjukkan ide-ide politik Gie yang melampaui zaman.
Gie jelas bukan seorang komunis. Di kampus, dia "berkelahi" dengan mahasiswa-mahasiswa komunis dan nasionalis pendukung Sukarno. Pada saat yang sama, dia aktif menyelami ide-ide politik komunis yang justru menjadi lawan politiknya. Tapi dia pula yang pertama-tama memprotes ketika lawan-lawannya itu diburu dan dibunuh oleh Orde Baru pada akhir 1965.
Sebagai seorang sosialis demokrat, Gie lebih mengagumi sosok Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, sehingga dia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Sosialis. Meski begitu, dia sinis terhadap tingkah polah elite Partai Sosialis Indonesia yang elitis dan berjarak dengan rakyat.
Ya, dia seorang sosialis demokrat yang politiknya liberal tapi sosialistis dalam keberpihakannya pada rakyat kecil. Sikap oposisinya terhadap Sukarno lebih pada ketidaksetujuannya pada sistem politik Demokrasi Terpimpin, yang tentu saja tidak liberal. Ketika Orde Baru mulai menampakkan watak yang serupa, dia segera saja kembali melawan. Meskipun untuk itu dia harus berseberangan dengan kawan-kawan sesama aktivis 66, yang masuk menjadi bagian dari sistem Orde Baru.
Demokrasi dan Manusia Politik
Dengan sikap Gie tersebut, banyak pengagumnya yang cenderung meromantisasi permusuhan Gie terhadap kawan-kawannya sesama aktivis yang kemudian menjadi bagian dari rezim Orde Baru. Dari sikap ini muncul salah kaprah bahwa orang-orang baik harus berada di luar sistem dan menjaga jarak dengan kekuasaan.
Saya punya pandangan lain. Ada konteks yang harus dibedakan di sini. Rezim Orde Baru berdiri setelah menumbangkan Sukarno dengan berbekal watak otoriter, yang bahkan tidak ragu membunuh lawan-lawan politiknya dengan banyak cara yang melanggar hukum dan kemanusiaan. Maka, secara moral dan rasional, saya bisa mengerti jika dia memilih berada di luar sistem. Ini hanya perkara konsistensinya pada kemanusiaan dan kebebasan.
Tapi, di era demokrasi, pertentangan "di dalam dan luar sistem" tidak lagi relevan. Saya justru melihat bahwa demokrasi dan institusi-institusi politik pendukungnya adalah sebuah keniscayaan zaman modern. Ia menjadi mekanisme yang disepakati bersama untuk menyelesaikan beragam problem kolektif manusia.
Manusia memiliki beragam kekhawatiran dalam kesehariannya. Adalah sifat alamiah manusia untuk meminimalkan kekhawatiran yang dirasakannya: jika khawatir kelaparan maka bekerjalah, jika khawatir sakit maka berobatlah, dan seterusnya. Secara langsung ataupun tidak, upaya meminimalkan kekhawatiran diri kita akan berpengaruh ke individu lain. Menyenangkan satu orang bisa dan juga bisa tidak menyengsarakan orang lain. Mau tidak mau, harus ada keputusan kolektif untuk mengoptimalkan penghindaran kekhawatiran. Ketika proses ini mulai melibatkan banyak orang, muncullah demokrasi perwakilan, sistem kepartaian dan berbagai protokolnya.
Aspirasi yang terorganisasi ini akan memudahkan pengambilan keputusan kolektif dan membuat proses demokrasi senantiasa dalam kontrol publik. Dalam konteks ini, saya justru melihat pentingnya individu-individu yang memiliki kualitas sebagai Manusia Politik hadir dalam proses politik dan demokrasi. Bagi saya, Manusia Politik adalah mereka yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) punya ide politik yang solid; (2) berempati dan bergaul dengan rakyat; (3) punya tradisi berorganisasi; (4) punya kehendak berkuasa untuk mewujudkan ide-ide politiknya; (5) mampu beretorika dengan lisan dan tulisan. Jikapun kita tidak mampu memenuhi kelima syarat itu, jangan khawatir: hanya empat syarat pertama yang bersifat mutlak, sedangkan yang terakhir adalah syarat tambahan saja.
Sebagai seorang pemikir-aktivis, Gie sudah memiliki dua syarat, yakni empati kepada rakyat kecil dan kemampuan retorikanya, terutama lewat tulisan-tulisannya. Namun Gie bukanlah organisator rakyat yang tangguh. Dia juga gamang dalam memandang politik dan kekuasaan. Saat kenyataan berbeda jauh dari ide yang dia pikirkan, dia marah dengan bersenjatakan teori-teori yang galak tapi elegan dan cerdas. Saat realitas berjarak dengan yang ideal, dia melawan dengan gagasan tanpa sokongan organisasi agar bisa mengubah realitas dengan segera.
Dalam catatan hariannya yang saya baca dengan mengendap-endap di bangku belakang ruang kelas SMA, saya mendapati saat-saat Gie begitu frustrasi terhadap kritik-kritiknya yang tidak dapat mengubah keadaan. Pada titik ini, saya melihatnya ditampar kenyataan bahwa dia kelewat asyik berpesta dengan pikiran-pikirannya yang memang terlalu mewah untuk rakyat yang mendapat empati besar darinya. Hal tersebut membuatnya lupa bahwa keberpihakannya kepada rakyat kecil perlu disertai interaksi yang sistematis untuk membangun otot (dan juga otak) bersama mereka.
Pada akhirnya, saya harus mengenang Gie sebagai seorang sosialis yang kesepian. Seseorang yang punya bahasa cinta yang tidak bisa dimengerti oleh jelata yang dicintainya. Generasi aktivis sekarang (terlepas apakah yang konservatif, liberal, atau progresif) perlu belajar dari kekurangan dan kelebihannya. Dari karya-karya Gie, saya pun menatap dengan nanar suatu proses metamorfosis yang indah dari seorang anak bangsa yang memiliki empati dan keberanian yang tinggi menjadi seorang aktivis-pemikir yang tangguh. Hal yang saya sesali adalah dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan perjalanannya menjadi Manusia Politik paripurna. Kematiannya yang sepi di tengah beberapa teman seperjalanannya di puncak gunung karena menghirup gas beracun adalah sebuah drama mini kata (terlalu sedikit kata) untuk menandai ide-idenya yang besar dan berlimpah-limpah. Di pojokan belakang bangku SMA pada 1987 itu, saya ikut menggigil terkena cipratannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo