Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DINGINNYA pagi di lereng Gunung Semeru tak membekukan kekesalan Soe Hok-gie terhadap Aristides Katoppo. Gara-garanya, sepanjang malam 14 Desember 1969 itu, Aristides mengigau sehingga Hok-gie tak bisa terlelap. "Lu sangat gelisah. Gue enggak mau lagi tidur di sebelah lu," kata Aristides menirukan ucapan Hok-gie, pertengahan September lalu.
Aristides gelisah lantaran mimpi kecelakaan di gunung. "Di dalam mimpi, saya lihat ada tiga mayat," ujar pria yang kala itu redaktur pelaksana harian Sinar Harapan tersebut. Aristides tak memperhatikan jelas wajah-wajah mayat di bunga tidurnya. Adegan berikutnya, dia mengevakuasi jenazah dengan ambulans. Tak menyangka itu firasat, kisah mimpinya tersebut ia simpan rapat karena tak ingin kawan-kawannya jadi kecut.
Tim pendaki gunung tertinggi di Jawa itu terdiri atas Aristides; Hok-gie; Herman Onesimus Lantang, bekas Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia; Abdurrachman alias Maman, Kepala Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Sastra UI; Anton Wijana alias Wiwiek, aktivis Gerakan Mahasiswa Jaket Kuning UI; dan Rudy Badil, mahasiswa tingkat persiapan Antropologi UI. Turut ikut dua anak didik Herman, Idhan Dhanvantari Lubis, mahasiswa Universitas Tarumanagara, dan Freddy Lodewijk Lasut, lulusan sekolah menengah atas yang bercita-cita masuk UI.
Menurut Badil, rombongan berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta, pada Jumat, 12 Desember 1969, pukul 07.00. Rombongan tiba di Stasiun Gubeng, Surabaya, pada malam hari berikutnya. Lalu mereka menuju Pasar Tumpang, Malang, menyewa mobil yang diongkosi Hok-gie. Mendaki Semeru adalah gagasan Hok-gie untuk merayakan ulang tahunnya ke-27 pada 17 Desember. Dari Pasar Tumpang, tujuh orang itu masih harus berjalan kaki sekitar 11 kilometer ke Gubuk Klakah, desa terakhir di lereng Semeru.
Keesokan harinya, mereka berdiskusi menentukan rute. Tim berbekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang Panduan Naik Semeru. Menurut kepala dusun setempat, Binanjar, penduduk biasa menggunakan rute Desa Ranupane karena jalanan lebih landai. Namun Herman ngotot lewat Kali Amprong, mengikuti pematang Gunung Ayek-ayek, sampai turun ke arah Oro-oro Ombo.
Iring-iringan berjalan menanjak sambil mencari jalan setapak yang tertutup sisa kebakaran hutan. Menurut Aristides, pandangan mereka kerap terhalang kabut tebal. Jalan juga berlumpur dan licin. Perjalanan yang panjang dan melelahkan itu berakhir di Oro-oro Ombo, kamp malam pertama mereka, tempat Aristides mengalami mimpi buruknya.
Perjalanan dilanjutkan dengan kondisi yang sama dengan hari sebelumnya. Aristides berada di depan. Pandangannya tiba-tiba tertutup kabut. "Saya melihat Semeru angker dan menakutkan. Saya seperti melihat maut," ujarnya. Dia bertanya kepada Hok-gie apakah melihat hal yang sama. Hok-gie menggelengkan kepala.
Hok-gie lalu mengambil alih komando. Di tengah perjalanan, Aristides melihat kawannya itu termenung. "Saya tanya kenapa, dia bilang, 'Saya takut,'" kata Aristides. Padahal dalam aturan tak tertulis pendakian, menurut dia, rasa takut harus disimpan sendiri.
Keesokan harinya, mereka menuju Recopodo. Di ketinggian sekitar 3.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), mereka menjumpai tempat agak datar. Tim lantas membentangkan ponco untuk dijadikan shelter. Tenda dan tas ditinggal di sana.
Mereka hanya membawa minuman sebagai bekal menuju ketinggian 3.676 mdpl. Rombongan dibagi dua kelompok. Aristides bersama Hok-gie, Badil, Maman, Wiwiek, dan Freddy, sedangkan Herman bersama Idhan.
Kelompok Aristides sampai di Puncak Mahameru menjelang sore. Tenaga mereka habis akibat menjajal medan berpasir dan bebatuan. "Saya bilang ke mereka, begitu sampai puncak, say your prayer, lalu turun," ujarnya.
Namun Hok-gie ingin menunggu Herman, yang tertinggal di belakang. Sebab, Herman dikenal nekat. "Hok-gie bilang dia akan ingatkan Herman, makanya dia nunggu di atas," ucap Aristides. Tiba-tiba Maman meracau. Aristides dan Freddy bahu-membahu membawa Maman kembali ke shelter.
Sebelum Badil turun, Hok-gie sempat menitipkan batu dan daun cemara untuk diberikan kepada pacar-pacarnya di Jakarta. "Nih, titip buat janda-janda gue," ujar Badil menirukan Hok-gie. Dia juga menitipkan kamera Aristides.
Herman dan Idhan akhirnya tiba juga di puncak. Dia mendapati Hok-gie, yang mengenakan kaus polo kuning UI, sedang duduk. Idhan ikut duduk. Sedangkan Herman tetap berdiri.
Karena duduk itulah, kata Herman, Hok-gie dan Idhan menghirup gas beracun yang massanya lebih berat daripada oksigen. Menurut Herman, mereka tidak tahu bahwa kawah Jonggring Seloko menyemburkan gas beracun yang tak terlihat dan tidak berbau.
Herman ingat kondisi Hok-gie saat itu sudah lemas. Ia mencoba menuntunnya turun menuju shelter. "Tahu-tahu dia enggak ngomong. Menggelepar," ujarnya. Herman mengecek pergelangan tangan Hok-gie, tak ada denyut nadi. Pemuda yang vokal mengkritik pemerintah itu tewas beberapa jam sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke-27.
Herman meninggalkan Hok-gie dan kembali ke puncak menjemput Idhan. Dia mendapati Idhan sudah lemas. Beberapa saat kemudian, ia juga tewas. "Tahu-tahu dia langsung menggelepar."
Lama tak kembali, Herman dicari oleh Aristides dan Freddy. Keduanya menjumpai Herman sedang menangis. "Dia langsung peluk saya," kata Aristides. Herman pun diajak ke shelter karena Maman masih terus meracau. Semalaman itu mereka nyaris tak tidur.
Saat hari mulai terang, Aristides dan Wiwiek turun ke perkampungan, meminta bantuan. Setelah 22 jam berjalan, keduanya tiba di Gubuk Klakah. Aristides menyampaikan kondisi kawan-kawannya kepada penduduk. Lantas dia ke Malang Kota, mencari warung telepon.
Komandan Pangkalan Angkatan Laut Surabaya Letnan Kolonel Broeke Tumengkol adalah orang yang pertama ia kontak. Broeke berjanji mengirim helikopter ke Bandar Udara Abdulrachman Saleh esok pagi. Aristides juga mengontak Babes Lasut—kakak Freddy—dan anggota pencinta alam Malang.
Kabar kematian Hok-gie cepat tersebar hingga Jakarta. Keesokan harinya, kakak Hok-gie, Arief Budiman, beserta Jeanne Mambu dan Henk Tombokan terbang ke Surabaya menumpang pesawat Dakota TNI Angkatan Laut. Minggu, 21 Desember 1969, rombongan dari Jakarta, termasuk Arief, sampai di Gubuk Klakah.
Dua hari berikutnya, jenazah Hok-gie dan Idhan serta Maman bisa dievakuasi tim Search and Rescue dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Umum Tjelaket, Malang. Jenazah Hok-gie dan Idhan beserta rombongan diterbangkan dengan pesawat Hercules TNI Angkatan Udara ke Jakarta pada 24 Desember 1967. Tiba di Bandara Kemayoran, orang-orang sudah penuh sesak. Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo turut menyambut.
Dari Kemayoran, layon Hok-gie dibawa ke kediamannya di Jalan Kebon Jeruk, Jakarta Pusat. Sedangkan jasad Idhan diangkut ke rumahnya di Polonia, Jakarta Timur. Setelah itu, keduanya disemayamkan di Fakultas Sastra UI Rawamangun. Seusai penghormatan terakhir, Hok-gie dan Idhan dikubur di Taman Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Setahun kemudian, jasad Hok-gie dipindahkan ke TPU Tanah Abang karena ibunya kerap dipalaki preman. Pada 1975, sebagian lahan makam itu dibangun kantor Wali Kota Jakarta Pusat sehingga keluarga memutuskan mengkremasi jasad Hok-gie. Abunya disebar di tempat favoritnya: lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango, Jawa Barat. Nisan Hok-gie ditanam di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo