Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur pada 8 Desember 1969, Soe Hok-gie bertandang ke rumah Marsillam Simanjuntak di Jalan Dempo, Matraman, Jakarta Timur. Malam itu Hok-gie membawa aneka barang yang lazim dimiliki perempuan, antara lain gincu, bedak, dan kutang. Ia juga menenteng beberapa pucuk surat.
Semua barang itu ia persiapkan bukan untuk pacarnya, melainkan akan dibagikan kepada teman-temannya sesama aktivis '66 yang tengah duduk manis di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong (DPR GR) di Senayan. "Kami kecewa kepada teman-teman di sana. Mereka seperti dikebiri, sudah banci," ujar Marsillam, teman Hok-gie yang juga aktivis '66, awal September lalu. Hok-gie kecewa karena teman-temannya yang duduk di Dewan sudah tak kritis dan tak lagi berani.
Niat memberi barang-barang itu sudah lama ada dalam benak Hok-gie. Menurut Marsillam, ada tim khusus yang disepakati untuk berbagai tugas itu: Hok-gie bertugas menulis surat, Fikri Jufri mengumpulkan barang, dan Marsillam mengantarkan barang dan surat itu ke Dewan.
Kepada Marsillam, Hok-gie mengeluh karena Fikri tak mengerjakan bagiannya sehingga ia mengambil alih tugas itu. Belakangan, baru diketahui bahwa Hok-gie meminta bantuan Jeanne Mambu, istri temannya, Josi Katoppo, untuk tugas itu. "Saya diajak ke Pasar Rumput untuk beli lipstik dan kaca," ujar Jeanne, mengenang peristiwa itu, pertengahan September lalu.
Jeanne, yang saat itu bekerja sebagai pramugari, awalnya menolak ajakan Hok-gie karena curiga barang-barang tersebut akan diberikan kepada pacarnya. Apalagi Hok-gie memintanya untuk membayar barang yang dibeli itu. Setelah dijelaskan Hok-gie, Jeanne baru mau membantu. "Saya belikan saja tuh lipstik," kata Jeanne.
Ada 13 mahasiswa yang menjadi anggota Dewan setelah Sukarno lengser pada 1967. Beberapa di antaranya Fahmi Idris, Firdaus Wadjdi, dan Cosmas Batubara. Fahmi dan Firdaus adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, sedangkan Cosmas Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia. Fahmi Idris mengaku tidak menerima kiriman paket Hok-gie. Adapun Sofjan Wanandi, salah seorang mahasiswa yang duduk di DPR, mengakui sering mendapat paket perlengkapan perempuan. "Itu biasa. Dinamika dalam perjuangan," katanya seperti ditulis dalam buku Peristiwa G30S/PKI: 60 Hari yang Mengguncangkan Dunia.
Ke-13 mahasiswa ini mengisi kekosongan di Dewan karena beberapa anggotanya terindikasi berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, yang menjadi musuh bersama setelah terjadi kudeta yang gagal pada 30 September 1965. Ke-13 mahasiswa ini, sebelumnya termasuk Hok-gie dan Marsillam, sangat kritis terhadap kebijakan Sukarno. Salah satunya ditunjukkan saat perombakan Kabinet Dwikora, yang kemudian dijuluki kabinet 100 menteri, pada 24 Februari 1966.
Ketika itu mahasiswa, pelajar, dan pemuda berdemo di Istana Negara ingin menggagalkan pelantikan tersebut. Dalam aksi itu, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim, meninggal setelah diterjang peluru milik Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Kematian Arief ini memantik mahasiswa dan masyarakat menggelorakan perlawanan terhadap Sukarno.
Demo mahasiswa meluas ke daerah. Isunya mengangkat Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Gelombang aksi mahasiswa ini mencapai puncaknya sehingga keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar dari Sukarno kepada Menteri Panglima Angkatan Darat/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Letnan Jenderal Soeharto. Supersemar inilah yang menandai runtuhnya rezim Orde Lama.
Angkatan Darat dan mahasiswa sangat berperan dalam kejatuhan Sukarno. Kolaborasi ini mulai kian terang setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September, yang menewaskan tujuh jenderal Angkatan Darat. Fahmi Idris mengungkapkan beberapa mahasiswa berbagi tugas menghadap jenderal seperti Pangkostrad Soeharto dan Panglima Komando Daerah V Umar Wirahadikusumah.
Fahmi dan beberapa aktivis bertemu dengan Umar. Mereka berdiskusi tentang peristiwa Gerakan 30 September itu. Mahasiswa menyimpulkan bahwa dalang peristiwa tersebut adalah PKI. Mendengar kesimpulan itu, kata Fahmi, Umar malah balik bertanya. "Bagaimana Saudara mendapat data?" Adapun rombongan mahasiswa lain, seperti Harry Tjan dan Subhan Z.E., bertemu dengan Soeharto pada 4 Oktober di Markas Kostrad.
Kedekatan tentara Angkatan Darat dengan mahasiswa mulai terbuka ke publik pada 10 Januari 1966 ketika Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan pasukan elite Resimen Pasukan Angkatan Darat, diundang dalam apel besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta. Firdaus Wadjdji, Presidium KAMI Jaya, mengaku ia sendiri yang menghubungi Sarwo Edhie.
Mertua mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini kemudian berpidato di mimbar, memberikan dukungan terhadap setiap aksi mahasiswa. Orasinya membuat mahasiswa bergelora untuk segera berdemo ke Istana. "Kami anggap Sarwo Edhie wakil tentara," kata Fahmi. Hasil apel mahasiswa bersama Sarwo Edhie menelurkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat): bubarkan PKI, retooling kabinet, dan turunkan harga.
Fahmi mengatakan tentara tak mungkin melakukan sesuatu tanpa perintah atau pengetahuan dari atasan. Ketika itu atasan Sarwo Edhie adalah Soeharto, yang mengambil alih Angkatan Darat karena Abdul Haris Nasution menjadi salah satu sasaran kelompok Gerakan 30 September. "Apa pun yang dilakukan mahasiswa ketika itu tak pernah dilarang tentara," Fahmi menambahkan.
Sejak saat itu, intensitas demo meningkat, yang tentu saja berkoordinasi dengan Angkatan Darat. Seperti aksi pada 23 Februari 1966. Mahasiswa KAMI sudah berencana membuat keributan, bahkan pertumpahan darah, di acara apel kesetiaan kepada Sukarno di Lapangan Banteng, Jakarta. Ide ini, kata Marsillam Simanjuntak, berasal dari permintaan Soeharto agar bisa mengambil alih keamanan. "Dia bilang, kalau keamanan tidak terganggu, apa dasarnya," ujarnya.
Ketika itu memang demo berujung pada keributan, tapi tak sampai ada pertumpahan darah. Sampai akhirnya peristiwa Arief Rahman ditembak pada 24 Februari 1966. Sehari setelah kejadian itu, KAMI dibubarkan oleh Sukarno. Pada saat itu juga para aktivis berkumpul dengan Soeharto untuk meminta pendapat di rumahnya di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.
Sofjan Wanandi, dalam buku Peristiwa G30S/PKI: 60 Hari yang Mengguncangkan Dunia, mengatakan ia komplain kepada Soeharto terkait dengan pembubaran KAMI. "Bagaimana ini? Kita dianiaya diam saja. Kita harus bergerak dan perjuangan mahasiswa harus dilanjutkan sampai berhasil."
Soeharto menjawab tenang, "Anda semua percaya tidak sama saya? Kondisi ini belum menentu dan kami, militer, khususnya Kostrad, masih solid dan kompak menentang PKI. Kalau Anda setuju, ayo jalan terus. KAMI dibubarkan, ya, bentuk organisasi baru sebagai wadah perjuangan ke depan."
Sofjan dan beberapa mahasiswa kemudian pulang ke kampus Universitas Indonesia naik becak dengan dikawal tentara. Setelah itu, akhirnya disepakatilah dibentuk Resimen Arief Rahman Hakim, wadah baru perjuangan mahasiswa.
Di tengah intimnya mahasiswa dengan Soeharto, Soe Hok-gie tetap kritis. Jopie Lasut, mantan wartawan harian Sinar Harapan dalam buku Soe Hok-gie... Sekali Lagi, memiliki kenangan yang tak terlupakan setelah peristiwa Supersemar. Pada 15 Maret 1966, ia dan Hok-gie diminta kawan-kawan mengecek info tentang Pangdam Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie yang akan mengkhianati Supersemar.
Mayor Jenderal Suwarto dan Dharsono membantah info itu. Dharsono kemudian bertanya bagaimana pendapat KAMI tentang "kerja sama setara" ABRI dan mahasiswa. Hok-gie menjawab, "Kami datang ke sini bukan wakil KAMI. Sepanjang pengetahuan saya, para mahasiswa tidak akan mempertahankan kerja sama dengan ABRI jika jenderal-jenderalnya masih hidup mewah-mewahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo