Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah spesies burung di Jakarta setiap tahun terus berkurang.
Pembangunan yang pesat menjadi alasan tergerusnya keanekaragaman spesies burung di Ibu Kota.
Limbah cair dan sampah plastik merupakan ancaman tersendiri bagi burung air serta burung migran.
JAKARTA — Jumlah spesies burung di Jakarta setiap tahun terus berkurang. Koordinator Edukasi Outreach Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), Ahmad Baihaqi, mengatakan pembangunan yang pesat menjadi alasan tergerusnya keanekaragaman spesies burung di Ibu Kota. Yayasan Kehati mencatat pada 2017 di Jakarta terdapat 130 spesies burung. Padahal pada 1949, jumlahnya sebanyak 156 spesies.
Adapun spesies burung yang banyak di Jakarta adalah burung air yang tinggal di rawa, sungai, dan pesisir. Konversi lahan yang terus berlangsung hingga kini membuat habitat burung semakin tersingkir. "Mereka jadi kesulitan mencari makan," kata pria yang biasa disapa Abai itu, Sabtu lalu. Selain itu, maraknya perdagangan satwa liar menjadi faktor menurunnya jumlah spesies burung di Ibu Kota.
Selain burung, sejumlah hewan reptil dan mamalia yang berada di ekosistem sungai di Jakarta lambat laun juga mulai hilang. Apalagi dengan adanya proyek normalisasi dalam bentuk pembetonan pada bantaran sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat burung dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) membuka buku catatan jenis burung di tengah pengamatan, 8 Mei 2021. Tempo/Inge Klara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yayasan Kehati setiap tahun mengadakan pengamatan burung bersama komunitas Biodiversity Warriors Yayasan Kehati di Jakarta. Pada Sabtu lalu, pengamatan dilakukan di muara Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara. Kegiatan ini sekaligus untuk memperingati Hari Burung Migrasi Sedunia 2021.
Menurut Abai, pengamatan ini penting untuk mendata burung migran dan burung lain di sekitar perairan Jakarta. "Selain itu, untuk memberikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian burung migran dan habitatnya di Indonesia," ujar Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan Kehati, Rika Anggraini.
Indonesia merupakan perlintasan 149 jenis burung yang bermigrasi lewat jalur Asia Timur-Australasia. Jalur ini memiliki kekayaan spesies dan jumlah burung. Berdasarkan data Birdlife Indonesia, lebih dari 50 juta burung air—dari 250 lebih populasi—menggunakan jalur migrasi yang membentang dari Asia Timur, Asia Tenggara, hingga Australia dan Selandia Baru. Jalur itu mencakup 22 negara.
Burung-burung tersebut bermigrasi karena habitat aslinya tengah diselimuti musim dingin. Selain menghindari udara dingin, burung-burung ini berupaya mencari makan untuk kelangsungan hidup. Suhu dingin mengakibatkan cadangan makanan mereka berkurang.
Upaya bertahan hidup burung-burung migran ini kerap menghadapi ancaman. Selain faktor alam seperti cuaca ekstrem, ada faktor yang disebabkan manusia. Di Indonesia, perburuan liar dan perusakan habitat burung terindikasi menjadi faktor tertinggi berkurangnya jumlah burung migran.
Sementara itu, di Jakarta, limbah cair dan sampah plastik merupakan ancaman tersendiri bagi burung air dan burung migran. Berdasarkan hasil pengamatan terakhir, masih banyak sampah plastik di muara Hutan Lindung Angke Kapuk. Tidak jarang sampah-sampah itu termakan oleh burung-burung air.
Dua Itik Benjut (Anas Gibberifrons) di perairan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara, 8 Mei 2021. Tempo/Inge Klara
Pada 2019, pengamat mengindentifikasi di Jakarta terdapat 24 jenis burung dari total 149 individu. Dari jumlah itu, dua jenis di antaranya diidentifikasi sebagai burung migran, yaitu trinil pantai (Actitis hypoleucos) dari Erasia atau Afrika serta bubut pacar jambul (Clamator coromandus) dari Cina Selatan/India atau Asia Tenggara. Sedangkan pada tahun ini, hasil pengamatan mengidentifikasi terdapat 25 jenis burung dari total 181 individu. "Pada tahun ini kita tidak melihat bubut pacar jambul, hanya menemukan trinil pantai," kata Syarif Muhammad, pegiat Yayasan Kehati.
Hasil pengamatan ini selanjutnya diinformasikan kepada semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah DKI Jakarta. Dengan laporan ini, diharapkan pemerintah daerah bisa memperbaiki kondisi habitat burung air dan burung migran. Bentuk perbaikannya, antara lain, dengan penanaman mangrove dan penanganan sampah plastik di muara.
INGE KLARA SAFITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo