Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Stabilo Merah dari Kuningan

KPK menetapkan Richard Joost Lino sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan derek di tiga pelabuhan Pelindo II. Tuduhannya penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum. Belum ditemukan aliran duit ke Lino.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RICHARD Joost Lino menampik saran Komisaris Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Tumpak Hatorangan Panggabean. Melalui sambungan telepon, Sabtu tiga pekan lalu, Tumpak menganjurkan Lino mengundurkan diri dari kursi direktur utama perusahaan pelat merah itu setelah berstatus tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada mantan pemimpin KPK itu, Lino mengatakan keputusan mundur bukan pilihan terhormat. "Itu sama artinya saya mengaku bersalah," kata Lino kepada Tumpak ketika itu.

Lino malah meminta dewan komisaris merekomendasikan pemecatannya kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. Mewakili pemerintah, Kementerian BUMN merupakan pemegang saham Pelindo II. Dua hari berselang, Tumpak bersama lima komisaris lain membahas permintaan Lino di kantor Pelindo II, kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Untuk memastikan duduk perkara kasus itu, Selasa dua pekan lalu, Tumpak bertandang ke kantor KPK. Di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, itu Tumpak menemui lima pemimpin lembaga tersebut. Keesokan harinya, atas rekomendasi dewan komisaris, Menteri BUMN memberhentikan Lino, yang sudah memimpin Pelindo II sejak Mei 2009.

Lino membenarkan kabar bahwa dia disarankan mengundurkan diri oleh dewan komisaris. Namun, menurut Lino, diberhentikan justru lebih terhormat. "Saya ini tidak bersalah, justru sudah membuat pemegang saham (pemerintah) kaya," ujar Lino kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Tumpak tak mau berkomentar tentang anjurannya kepada Lino itu. Adapun kunjungannya ke KPK, menurut Tumpak, tidak terkait dengan kasus pengadaan derek itu. "Untuk induksi pimpinan baru KPK, tapi salah jadwal," ujarnya.

Komisi antikorupsi mengumumkan penetapan Lino sebagai tersangka pada Jumat tiga pekan lalu. Ia dituduh melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang dalam pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) atau derek bongkar-muat peti kemas untuk Pelabuhan Panjang (Lampung), Pontianak, dan Palembang, pada 2010. Lino dianggap melakukan penunjukan langsung Wuxi HuaDong Heavy Machinery Co (HDHM) sebagai rekanan dan mengubah spesifikasi alat sehingga menguntungkan perusahaan Cina itu.

Menurut Zulkarnain—Wakil Ketua KPK yang turut meneken surat perintah penyidikan Lino per tanggal 15 Desember 2015—komisi antikorupsi sudah mengantongi nilai kerugian proyek itu. Namun Zulkarnain, yang pensiun dari KPK pada 16 Desember 2015, tak mau menyebutkan nilainya. "Yang jelas, ada kerugian negara," katanya.

Seorang penegak hukum di KPK mengatakan, berdasarkan informasi audit berjalan tim Badan Pengawasan Keuangan dan Keuangan, kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 50 miliar. Kerugian sekitar Rp 40 miliar berasal dari pengadaan. Sisanya dari biaya perawatan. Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha membenarkan, kerugian negara kasus Lino mencapai puluhan miliar rupiah. "Nilainya di atas Rp 10 miliar," ucapnya kepada Linda Trianita dari Tempo. "Angka pastinya sedang dihitung BPKP."

Pengacara Lino, Maqdir Ismail, sangsi akan nilai kerugian negara itu. Dia pun menilai penetapan Lino sebagai tersangka sangat janggal. Maqdir mengaku baru mendapat informasi tentang laporan kasus dugaan korupsi ini pada 8 Desember 2015. Dengan penetapan tersangka sepekan kemudian, kata dia, "Kasus ini terbilang ajaib." Atas dasar anggapan itu pula Lino mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. "Ini urusan maladministrasi. Perkara seperti ini seharusnya tak ditindaklanjuti," kata Maqdir.

* * * *

GELAR perkara pada 8 Desember tahun lalu laksana "cuci gudang" bagi pimpinan KPK, yang bakal pensiun sepekan kemudian. Hari itu ada lima kasus lawas yang dinaikkan ke tahap penyidikan, termasuk kasus quay container crane. Lima pemimpin KPK pun bulat menyetujui Lino sebagai tersangka. Menurut Zulkarnain, kasus Lino tertunda lama karena KPK memprioritaskan kasus yang berawal dari operasi tangkap tangan (OTT). "Karena kasus OTT dibatasi waktu penahanan," katanya.

Kasus Lino ini dilaporkan ke KPK pada 20 November 2013. Pelapornya 15 mantan karyawan Pelindo II yang mengaku korban pemecatan Lino. Kepada Tempo, Lino mengatakan mereka tidak dipecat, tapi mengundurkan diri. Menurut salah seorang pelapor, Hendra Budhi, laporan mereka ke KPK berdasarkan dokumen pengadaan dan hasil audit investigasi BPKP tanggal 18 Maret 2010. Pelapor sudah diperiksa lebih dari tiga kali. "Saat kami diperiksa, penyidik KPK mengatakan kasus ini setengah matang karena ditunjang audit BPKP," kata Hendra.

Audit investigasi BPKP—yang dilakukan atas permintaan Dewan Komisaris Pelindo II—menyebut Lino dan anak buahnya melakukan sejumlah penyimpangan. Antara lain, Lino telah menunjuk langsung HDHM dalam pengadaan tiga unit derek. Penyimpangan, menurut hasil audit, dimulai dengan mengubah surat keputusan direksi tentang tata cara pengadaan barang dan jasa di Pelindo II pada akhir 2009. Perubahan dua kali itu membuka pintu bagi perusahaan asing untuk mengikuti tender di Pelindo II.

Setelah mengubah ketentuan lelang, menurut hasil audit BPKP, Lino mengundang tiga perusahaan asing mengikuti tender quay container crane dengan spesifikasi single lift. Tiga perusahaan itu HDHM, Shanghai Zhenhua Heavy Industries (ZPMC), serta Doosan Heavy Industries and Construction. Lino mengundang ketiga perusahaan ini setelah Pelindo II menggelar sembilan kali lelang yang selalu gagal (lihat "Setelah Lelang Gagal Berulang").

Di samping menawarkan spesifikasi derek single lift 40 ton, HDHM menawarkan tipe twin lift 50 ton yang tidak masuk rencana pengadaan. Padahal, menurut audit BPKP, peserta lelang dilarang mengajukan penawaran lain. Faktanya, tim pengadaan Pelindo II justru menegosiasikan pengadaan crane kapasitas 50 ton menjadi 61 ton. Hasil negosiasi lantas dilaporkan ke Lino.

Sebelum proses lelang bergerak lebih jauh, Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II Ferialdy Noerlan mengirim nota dinas kepada Lino pada 12 Maret 2010. Nota dinas itu memberi catatan bahwa pengadaan derek twin lift tidak ditunjang rencana anggaran yang memadai. Dalam rencana anggaran, biaya pengadaan dan perawatan hanya sekitar US$ 18,2 juta. Sedangkan harga derek twin lift hasil negosiasi mencapai US$ 20,135 juta. Berdasarkan tata cara pengadaan barang dan jasa di Pelindo II, jika ada perubahan harga penghitungan sendiri, dilakukan pelelangan ulang. Selain soal harga yang kemahalan, nota Direktur Operasi dan Teknik menyebut derek jenis twin lift 61 ton tak cocok untuk pelabuhan Palembang dan Pontianak.

Berbeda dengan nota dinas itu, Lino malah memberikan disposisi yang berbunyi "Go for twin lift". Pada akhir April 2010, kontrak pengadaan diteken Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II serta pemimpin HDHM, Jie Weng.

Sewaktu tim pengadaan derek mengajukan permohonan pembayaran tahap pertama untuk HDHM, menurut audit BPKP, Direktur Keuangan Pelindo II Dian M. Noer juga pernah mengirim nota dinas kepada Lino. Isinya mengingatkan penunjukan langsung HDHM bisa menimbulkan risiko hukum akibat proses pengadaan yang tidak benar. Namun Lino tetap melanjutkannya.

Selain menelaah hasil BPKP, tim KPK sudah memeriksa 60 saksi dan ahli. Belakangan, pada Februari 2014, KPK pun mengantongi audit Badan Pemeriksa Keuangan 2015 atas dugaan penyimpangan proyek pengadaan ini. Hasilnya klop dengan audit investigasi BPKP. Namun kedua audit sama-sama tak menyebutkan kerugian negara. Meski begitu, pada April 2014, kasus ini naik ke tahap penyelidikan. Sepekan berselang, KPK memeriksa Lino.

Pada akhir April 2014, satuan tugas KPK yang dipimpin Afrizal mendatangi tiga pelabuhan untuk mengecek kondisi derek. Di samping memeriksa dokumen dan data operasional, tim KPK mengecek langsung penggunaan derek itu. "Yang di Palembang dan Pontianak kerap bermasalah, sehingga biaya perawatannya membengkak," kata seorang penegak hukum di KPK.

Rabu pekan lalu, Tempo juga melongok quay container crane di Pelabuhan Palembang dan Pontianak. Di Palembang, crane tampak sedang mengangkut dua kontainer merah ukuran 20 feet. Dua kontainer itu dipindahkan dari kapal barang JML Abadi yang baru bersandar di dermaga ke truk pengangkut. Tak sampai lima menit, dua kontainer yang diangkat sekaligus itu sudah menclok di atas truk. Menurut catatan PT Pelindo II Palembang, derek model twin lift dengan tulisan HDHM di bagian kakinya itu bisa mengangkut paling sedikit 28 kontainer per jam.

Di Pontianak, ketika Tempo bertandang, derek itu sedang tidak beroperasi. Menurut Hendri Purnomo, Manajer Terminal Peti Kemas Pelindo II Pontianak, sebelum ada alat itu, pemilik kontainer harus menunggu tujuh hari sampai barangnya dibongkar dari kapal. Dua derek lama di pelabuhan itu, dengan tipe single lift, berusia di atas 30 tahun. "Setelah ada alat itu, proses bongkar-muat hanya dalam hitungan jam," kata Hendri.

Di tengah pengusutan kasus ini, pada Oktober 2014, presiden terpilih Joko Widodo meminta masukan KPK agar menelusuri 43 calon menteri. Nama Lino masuk daftar itu. Namun, setelah melacak rekam jejak mereka, KPK menandai sejumlah nama dengan stabilo merah dan kuning. Lino termasuk yang diberi stabilo merah. Tanda ini artinya Lino berpotensi besar menjadi tersangka di KPK. Lino membantah mendapat stabilo merah. "Setahu saya stabilo kuning," katanya. Kuning berarti bermasalah tapi masih jauh dari tersangka.

Pada akhir 2014, tim KPK juga berangkat ke Cina untuk mengecek langsung reputasi HDHM dan kelayakan produknya. Dari dua kali pengecekan ke kantor HDHM di kawasan Wuxi City, tim KPK menyimpulkan perusahaan tersebut tak memenuhi syarat. Menurut seorang penegak hukum di KPK, HDHM bukan perusahaan bongkar-muat dengan reputasi internasional sebagaimana disebutkan dalam disposisi Lino pada 18 Januari 2010. Hanya Pelindo II yang menggunakan derek perusahaan ini sampai 2013. Menurut Lino, di Indonesia memang hanya Pelindo II yang memakai derek produk HDHM. Sedangkan di Cina, ratusan alat berat HDHM beroperasi di banyak pelabuhan.

Tim KPK juga mendapatkan informasi bahwa perusahaan tempat Lino bekerja pada 2007-2009 pernah berlangganan menggunakan derek HDHM. Waktu itu, Lino menjabat Managing Director Port of AKR di Guangxi, Cina. Lino membenarkan pernah dekat dengan HDHM. Namun bukan karena kedekatan itu Pelindo II lantas memilih perusahaan tersebut sebagai mitra.

Setelah mengecek spesifikasi dan membandingkan harga, tim KPK juga menemukan dugaan penggelembungan harga derek dibanding harga pabrik. Lino juga mengakui crane yang akhirnya dibeli Pelindo II lebih mahal daripada rencana. Namun, kata dia, secara ekonomi derek twin lift lebih menguntungkan karena kapasitasnya lebih besar.

Untuk menelisik ada-tidaknya aliran dana, KPK telah meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pada awal 2015, KPK menerima laporan hasil analisis PPATK atas rekening Lino. Menurut penegak hukum di PPATK, laporan itu tak menemukan aliran dana dari HDHM untuk Lino. Kepala PPATK Muhammad Yusuf membenarkan, lembaganya sudah mengirim laporan ke KPK. Adapun hasilnya, kata Yusuf, "Enggak tahu saya."

Meski belum menemukan aliran dana mencurigakan, dari semua bahan yang dikumpulkan, satuan tugas kasus ini menilai Lino patut diduga melakukan tindak pidana korupsi. Indikasinya, dia melakukan penunjukan langsung dan mengkondisikan HDHM sebagai rekanan dengan mengubah spesifikasi derek. Adapun dugaan penggelembungan harga dilakukan melalui pengubahan spesifikasi barang serta kontrak pemeliharaan selama lima tahun.

Johan Budi S.P., pelaksana tugas pemimpin KPK yang ikut mengusut kasus ini, memastikan komisi antikorupsi mempunyai bukti kuat untuk menjerat Lino. Tapi Johan enggan membeberkan bukti itu. "Nanti dibuka di pengadilan," kata Johan, yang kini sudah berhenti dari KPK.

Adapun Lino meminta KPK tidak melihat pengadaan tiga derek itu secara sepotong-sepotong. Menurut dia, penunjukan langsung HDHM dilakukan karena sebelumnya tender selalu gagal. Yang jelas, menurut Lino, ketiga unit QCC itu terbukti sangat bermanfaat. "Sekarang, di tiga pelabuhan itu tidak ada lagi antrean barang, zero percent," ujar Lino. "Jadi di mana kerugian negaranya?"

Anton Aprianto, Yuliawati, Parliza Hendrawan (Palembang), Aseanty Pahlevi (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus