Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOFYAN Djalil mengirim pesan pendek ketika Richard Joost Lino dicopot sebagai Direktur Utama PT Pelindo II (Persero), Rabu dua pekan lalu. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional ini ingin memberikan dukungan moril—sama seperti saat ia menelepon Lino tatkala kantor Pelindo II digeledah Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, akhir Agustus tahun lalu. "Pak Lino, kebenaran akan selalu menang," kata Sofyan kepada Tempo, Rabu pekan lalu, menyebut bunyi pesan yang ia kirim kepada Lino.
Sofyan termasuk yang kebagian pesan berantai Lino setelah dia terpental dari Pelindo II. Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno memberhentikan Lino agar bisa berkonsentrasi menghadapi kasusnya. Pada 15 Desember 2015, Lino ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane di Pelindo II pada 2010.
Lino dan Sofyan Djalil memang punya hubungan istimewa. Kedekatan keduanya terjalin lama. Sofyan pula yang membawa Lino pulang dari Cina dan mengangkatnya sebagai orang nomor satu di Pelindo II pada 2009. Saat itu, Sofyan menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.
Sofyan tengah mencari orang yang cocok sebagai direktur utama di Pelindo II pada pertengahan April 2009. "Saya sengaja mencari orang luar Pelindo II," ujarnya. Ia lalu mendengar ada bekas orang Pelindo menjadi direktur utama di pelabuhan Cina. Ketika itu, Lino sedang memimpin pelabuhan sungai di Guigang, Guangxi, yang diakuisisi PT AKR Corporindo Tbk. Kepincut pada status orang Indonesia bekerja di luar negeri, Sofyan langsung meminta Lino mengikuti tes. Di lantai 21 gedung Kementerian BUMN, Lino mempresentasikan ide-idenya menggarap Pelindo II. Presentasi Lino dipuji. Tiga syarat yang dimintanya pun dipenuhi: bisa menunjuk sendiri direksi pembantu; kinerja tidak diukur dari dividen, tapi dari pelayanan; dan membatalkan pengembangan Pelabuhan Niaga Bojonegara, Banten.
Ihwal Bojonegara ini ternyata menyisakan kenangan pahit bagi Lino. Pada 1990, ia tersingkir dari Pelindo II gara-gara menolak rencana proyek itu. Lino, yang saat itu menjabat Kepala Subdirektorat Teknik Pelindo II, menilai Bojonegara merugikan konsumen pelabuhan, yang kebanyakan berada di timur Jakarta. "Saya berhenti dan enggak mau bekerja lagi dengan pemerintah," kata Lino kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Setelah tamat dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada 1976, Lino langsung diterima menjadi pegawai negeri sipil Departemen Perhubungan. Tiga tahun menjadi pegawai negeri, dia ditarik Pelindo II—yang saat itu masih dikelola Lembaga Administrator Pelabuhan. Di Pelabuhan Tanjung Priok, kariernya terus menanjak. "Ada masa semua proyek pelabuhan di bawah supervisi dia," ujar Sabirin Saiman, Direktur Utama Perusahaan Umum Pelindo II pada 1990.
Versi lain menyebutkan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Junus Effendi Habibie kala itu sempat tak suka terhadap polah Lino. Sebab, Lino jalan sendiri menunjuk Bank Dunia sebagai konsultan proyek pengembangan Terminal II Tanjung Priok—kini Terminal II PT Jakarta International Container Terminal. "Proyek itu dananya dari ADB (Bank Pembangunan Asia) dan Dirjen ADB yang berhak menunjuk konsultannya," ujar mantan pemeriksa internal Pelindo II yang menolak namanya ditulis.
Sejak mengundurkan diri dari Pelindo, Lino berkarier solo—dari berbisnis ekspor mebel sampai menjadi penasihat di sejumlah perusahaan—hingga datang tawaran Sabirin Saiman menggarap pelabuhan sungai di Guigang. Seperti Lino, Sabirin terpental dari Pelindo II pada 1990. Ia mengaku satu sikap dengan Lino soal Bojonegara.
Selepas dari Pelindo II, Sabirin menjadi Komisaris AKR. Ketika AKR mengakuisisi Pelabuhan Guigang, nama Lino yang diingatnya. "Daripada pakai orang sana," katanya. Lino tak mengelak kabar tentang kedekatannya dengan Sabirin, yang disebutnya bos sekaligus mentor.
Direktur Utama Pelindo III (Persero) Djarwo Surjanto tak heran Sabirin menganakemaskan Lino. Sebab, Richard—sapaan akrab Lino—orang cerdas dan menguasai detail urusan teknik pelabuhan. Djarwo, teman seangkatannya di Teknik Sipil ITB 1972, menyebut pria asal Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, itu sebagai kutu buku. "Dia lulus duluan. Dia juga yang mengajak saya jadi PNS Departemen Perhubungan," ujar Djarwo, teman satu kos Lino di Ciumbuleuit, Bandung.
Setelah berkelana 19 tahun di luar Pelindo II, Lino kembali ke Tanjung Priok pada 2009. Kali itu ia menjadi orang nomor satu di perusahaan. Seorang mantan pengawas internal Pelindo II mengatakan, sebagai bekas mentor, Sabirinlah yang menyodorkan nama Lino ke Sofyan Djalil sebagai calon Direktur Utama Pelindo II. Sabirin dibantu Admi Umar, Direktur Komersial Perusahaan Umum Pelabuhan Tanjung Priok di masa Sabirin.
Sofyan tak menampik kabar tentang kedekatannya dengan Sabirin dan Admi. Ketiganya sama-sama perantau dari Aceh. "Ya, di antara dua orang itu yang mengenalkan Lino. Saya lupa," kata Sofyan. Namun Sofyan buru-buru menegaskan, Lino terpilih sebagai orang nomor satu di Pelindo II karena prestasi dan kemampuannya mengelola pelabuhan.
Selain dengan Sofyan, Lino berkawan lama dengan Achmad Kalla, adik Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pendiri PT Bukaka Teknik Utama. Mereka sama-sama kuliah di ITB. "Saya baru tahu belakangan bahwa mereka berkawan," ujar Sofyan, menepis anggapan ada pengaruh Achmad Kalla dalam penunjukan Lino.
Segera setelah menjabat Direktur Utama Pelindo II, Lino bergerak cepat membenahi Pelabuhan Tanjung Priok. Ratusan pegawai dikirimnya mengikuti studi ke luar negeri. Teknologi mutakhir diserap dan tata kelola perusahaan direformasi. Lino juga menghapus sistem penguasaan kaveling lapangan peti kemas oleh segelintir pegawai Pelindo II. Tak ada lagi pegawai berbisnis di pelabuhan. "Semua lapangan peti kemas di Tanjung Priok milik Pelindo II dan penghasilannya masuk kas Pelindo II," ucapnya.
Ia bermimpi membuat Pelindo II tak ubahnya Pelabuhan Rotterdam, Belanda. Tanpa sungkan, dibukanya pintu bagi operator asing untuk ikut mengelola pelabuhan. Dengan syarat, kata Lino, kontrol berada di bawah Merah Putih. "Jadi keuntungan tetap untuk Indonesia," ujarnya.
Tak butuh waktu lama bagi Lino untuk menunjukkan prestasi. Kinerja Pelindo II makin kinclong. Daya tampung Pelabuhan Tanjung Priok melesat dari 3,5 juta twenty-foot equivalent unit (TEU) per tahun menjadi 7 juta TEU. Bahkan kapasitas itu kini sudah di limit maksimum. Lino membangun tiga terminal baru di Kalibaru dan merancang pembangunan Pelabuhan Sorong, Papua, seluas 7.500 hektare.
Di tangannya, aset perusahaan melimpah. Pada 1999, kata Lino, aset Pelindo II cuma Rp 7 triliun. Kini nilainya berlipat menjadi Rp 21,9 triliun. "Kalau di Malaysia, saya ini sudah diberi gelar Tun Sri," ujarnya.
Namanya sempat masuk barisan calon menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia gagal masuk kabinet setelah mendapat "stabilo merah" dalam daftar rekomendasi calon menteri oleh KPK. Kini status tersangka dari KPK pula yang menamatkan mimpi Lino membangun Rotterdam di Tanjung Priok.
Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo