Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gie dan Surat-surat yang Tersembunyi

Soe Hok-gie dikenang sebagai tokoh gerakan mahasiswa 1966. Mengapa dia berpisah jalan dari tokoh mahasiswa lain? Mengapa dia menggugat pembantaian anggota PKI, organisasi yang dia tuntut dibubarkan?

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT-surat yang sudah menguning itu terlipat di antara tumpukan dokumen Yosep Adi Prasetyo, anggota Dewan Pers yang akrab disapa Stanley. Itulah surat-surat yang ditulis Soe Hok-gie, aktivis mahasiswa 1966 yang tewas di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969—pada usia 27 tahun.

Semua surat itu berupa ketikan rapi di atas kertas ukuran kuarto. Sebagian belum pernah dipublikasikan karena Arief Budiman, abang Gie, melarang Stanley menerbitkannya. "Kalau dikeluarkan, ini akan menimbulkan masalah untuk teman-teman yang masih hidup," kata Stanley.

Dalam surat-surat tersebutlah pemuda kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942, itu menumpahkan perasaan dan analisisnya terhadap situasi sosial-politik. Beberapa surat melukiskan hubungannya dengan teman-temannya sesama pendaki gunung dan kritiknya terhadap para pemimpin mahasiswa yang berebut jabatan di pemerintahan setelah Presiden Sukarno jatuh.

Ada pula soal pembantaian massal anggota Partai Komunis Indonesia. Ini adalah keresahan lain Gie, yang berbeda dengan tulisan-tulisannya yang diterbitkan dalam Catatan Seorang Demonstran (1983) dan Zaman Peralihan (1995).

Dalam sepucuk surat kepada kawannya, Boediono, bertarikh 26 November 1967, Gie menulis, "Dua tahun yang lalu, terjadi pembunuhan massal di Jawa Timur dan Tengah. Rasa hormat manusia Indonesia terhadap hidup begitu turun dan menganggap bahwa membunuh manusia-manusia yang berbeda pendapatnya dengan 'pribadi'-nya adalah sesuatu yang wajar."

Buku-buku yang ada belum banyak mengungkap peran Gie dalam mendesak pemerintah agar menghentikan pembantaian kaum komunis dan merehabilitasi kehidupan para korban. Tapi di surat-surat ini tampak jelas kerisauan Gie terhadap nasib kaum komunis yang diburu dan dibunuh, khususnya di Purwodadi, Jawa Tengah, dan Bali, dua daerah yang diamatinya dengan tekun.

Kepada Herbert Feith, peneliti politik dari Australian National University, Gie menulis surat bertanggal 20 Maret 1968: "Saya telah menulis sebuah karangan untuk KAMI (surat kabar KAMI—Red.) menganjurkan pada Pemerintah untuk membebaskan tawanan-tawanan politik ini pada akhir 1969 jika Pemerintah tidak sanggup membuktikan kesalahan mereka di muka pengadilan. Juga saya meminta agar surat tidak terlibat G-30-S dihapus."

Dengan nama samaran "Dewa", Gie menulis laporan tentang pembantaian di Bali. Tulisan itu kemudian diterbitkan dalam buku Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990). Menurut Cribb, artikel itu tidak jadi diterbitkan di surat kabar mingguan Mahasiswa Indonesia. Tapi dua kliping yang ada di arsip Hok-gie menunjukkan bahwa ia benar-benar menulis dua laporan bersambung soal Bali di surat kabar itu dengan judul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali" pada edisi minggu II dan minggu III Desember 1967.

Ben Anderson, sahabat Gie dan peneliti dari Cornell University, mengkritik kebungkaman para tokoh dan intelektual Indonesia atas pembantaian massal yang terjadi. "Saya ingat hanya seorang kolega muda yang begitu saya rindukan, Soe Hok-gie, memiliki keberanian itu, sejak 1967, untuk berbicara soal masalah ini," kata Ben dalam sebuah kuliah umum di Jakarta, 4 Maret 1999.

* * *

DIA adalah demonstran, pendaki gunung—dan mati muda. Mengapa namanya terus dikenang hingga kini dan para aktivis mahasiswa membaca tulisan-tulisannya? Mengapa banyak gadis yang jatuh hati padanya? Mengapa dia berpisah jalan dari pemimpin mahasiswa Angkatan 1966? Mengapa dia getol menggugat pembantaian PKI?

Tempo kali ini menyusuri jejak-jejak perjalanan dan pemikiran sang Demonstran, dari bekas rumahnya di Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta, hingga wafatnya di puncak Gunung Semeru. Tapi tak mudah menuliskan kembali sosok seorang tokoh yang sudah dibahas di berbagai media massa dan diulas di beberapa buku.

Kami berusaha menggali berbagai sumber, termasuk buku-buku yang sudah terbit dan sejumlah surat Gie yang belum dipublikasikan. Kami merekonstruksi kehidupan Gie dari cerita Jeanne Sumual, adik bungsu Gie yang kini berusia 68 tahun. Sayang, karena kesehatannya, Arief Budiman, sang kakak, tidak bisa diwawancarai.

Kami juga menemui tokoh-tokoh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada masa itu, seperti Marsillam Simanjuntak dan Fahmi Idris; juga tokoh pers mahasiswa, seperti Rahman Tolleng dan Ismid Hadad. Dari mereka tergambarkan bagaimana situasi gerakan mahasiswa pada 1965-1966 dan seberapa jauh peran Gie dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Kehidupan Gie semasa kuliah di Universitas Indonesia dan kegandrungannya pada pendakian gunung dikisahkan sejumlah sahabatnya, seperti Herman Onesimus Lantang, Rudy Badil, dan Cornelis Joost Katoppo.

Di mata para sahabatnya, Soe Hok-gie adalah pemuda yang selalu gelisah melihat kenyataan yang dinilainya tidak benar. Rudy Badil menyebut koleganya sesama pendaki gunung itu "the angry young man". Dia marah kepada para penjilat di sekitar Presiden Sukarno. Dia marah kepada para koruptor dan mahasiswa munafik. Kemarahan itu, menurut Ben, muncul karena dia menekankan pentingnya peran moral mahasiswa dalam politik Indonesia.

Dalam catatan harian bertanggal 10 Desember 1959, Gie mengisahkan pertemuannya dengan seorang pengemis: "Siang tadi aku bertemu dengan seseorang tengah memakan kulit mangga…. Dua kilometer dari sini 'Paduka' (Presiden Sukarno) kita mungkin sedang tertawa dan makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik." Ketidakberesan ini mengguncangnya.

Remaja yang baru duduk di bangku sekolah menengah atas itu menyimpulkan, "Generasiku ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, yaitu koruptor-koruptor tua seperti Iskak, Djodi, Dadjar, dan Ibnu Sutowo."

Sikap kritis Gie terus tumbuh hingga dia kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dia masuk pada masa situasi sosial-politik negeri ini memanas dan berpuncak pada meletusnya peristiwa 30 September 1965.

Ketegangan politik menjalar ke kampus. Atas dukungan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-royong Sjarif Thajeb, organisasi-organisasi mahasiswa membentuk KAMI. Unjuk rasa mahasiswa menuntut pembubaran PKI dan penurunan harga barang yang meroket hingga lima kali lipat terjadi di mana-mana. Gie memimpin salah satu demonstrasi mahasiswa yang bergerak dari kampus Universitas Indonesia di Salemba ke kampus Rawamangun.

Tapi Gie bukan tokoh utama dalam aksi-aksi itu. Dia turut berdemonstrasi, ikut merancangnya, tapi para pemimpin KAMI dan pemimpin organisasi kampuslah yang sebenarnya berada di depan. "Di mana dari semua ini peran Gie? Enggak di mana-mana, dalam arti kata resmi berorganisasi, revolusi, bergerak," ujar Marsillam Simanjuntak, Ketua Presidium KAMI Jaya pada masa itu, pada awal September lalu.

Tapi mengapa Gie begitu dikenang? Barangkali karena ia mewariskan dua hal penting: catatan harian di seputar masa itu yang terhimpun dalam Catatan Seorang Demonstran (1983) dan sejumlah artikel kritisnya dalam Zaman Peralihan (1995). Para aktivis mahasiswa 1980-an dan 1990-an membaca buku-buku itu untuk memahami gerakan mahasiswa, seperti dipaparkan Budiman Sudjatmiko.

Kematiannya pada usia muda di puncak gunung menambah kesan getir pada sosok Gie. Itu pula yang tampaknya membuat dia jadi legenda. "Kalau dia tidak mati muda, dia tidak mungkin terkenal," kata Rahman Tolleng.

Dalam kenyataannya, teman-temannya sendiri kaget ketika menyaksikan begitu banyak pelayat yang datang saat Gie dimakamkan. Berbagai surat kabar menulis khusus soal kematiannya. Ben Anderson menulis sebuah obituari di jurnal Indonesia terbitan Cornell University.


TIM LIPUTAN KHUSUS SOE HOK-GIE

Penanggung Jawab: Kurniawan

Kepala Proyek: Istiqomatul Hayati

Penulis: Abdul Manan, Ananda Teresia, Anton Septian, Ayu Prima Sandi, Erwan Hermawan, Gadi Makitan, Istiqomatul Hayati, Kurniawan, Linda Trianita, Mitra Tarigan, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Sunudyantoro, Syailendra Persada, Tri Artining Putri

Penyunting: Amarzan Loebis, Anton Aprianto, Bagja Hidayat, Budi Setyarso, Burhan Solihin, Dody Hidayat, Idrus F. Shahab, Jajang Jamaludin, Kurniawan, Nurdin Kalim, Seno Joko Suyono, Setri Yasra

Periset Foto: Jati Mahatmaji, Ratih Purnama, Ijar Karim

Video: Ngarto Februana, Ridian Eka Saputra

Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Desain: Djunaedi (koordinator), Eko Punto Pambudi, Fitra Moerat Sitompul, Rudi Asrori, Tri Watno Widodo

Pengolah Foto: Hindrawan

PDAT: Evan Koesoemah, Danni Muhadiansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus