Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Strategi Membidik Nyonya Sosialita

Komisi Pemberantasan Korupsi masih membiarkan Nunun Nurbaetie dan Miranda Swaray Goeltom bebas dari sangkaan pelaku penyuapan. Cuma soal cari akal.

6 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGOMENTARI Nunun Nurbaetie, aktor di balik penyuapan anggota DPR dalam kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Gultom, sejumlah sosialita Jakarta hampir bersuara seragam. ”Ibu Nunun sehat, kok. Enggak sakit apa-apa. Kalau soal lupa, itu sih sudah sifatnya yang merasa enggak penting mengingat orang.” Sejumlah polisi aktif dan pensiunan, teman dekat mantan Wakil Kepala Polri Adang Dara-djatun, suami Nunun, pun berkomentar serupa. ”Ah, dia mah cuma ngumpet,” ujar seorang komisaris besar polisi di Mabes Polri.

Meninggalkan Jakarta menuju Singapura pada 23 Februari 2010—sebulan sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi mencekalnya pada 24 Maret 2010—wanita 60 tahun itu jadi tokoh kunci. Dialah orang yang membagikan cek pelawat ke sejumlah anggota DPR yang kini jadi tersangka. Serius mengungkap penerima suap, KPK kini diminta trengginas membongkar jaringan pemberi rasuah itu. Nunun adalah pintu masuk untuk mengungkap mereka.

Ihwal jaringan pemberi suap bisa ditelusuri dari peristiwa 8 Juni 2004 pukul delapan pagi. Ketika itu Kepala Divisi Treasury Bank Artha Graha Gregorius Suryo Wiarso baru saja mulai bekerja. Sesaat teleponnya berdering. Seorang ”pejabat” Bank Artha Graha Internasional minta disediakan cek pelawat Rp 24 miliar dalam pecahan Rp 50 juta per lembar. ”Saya lupa nama pejabat itu,” kata Gregorius Suryo ketika diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, September tahun lalu. Suryo lantas mencarikan cek pelawat dan mendapatkannya dari Bank Internasional Indonesia.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, cash officer Bank Artha Graha cabang Sudirman bernama Tutur kedatangan seorang perempuan yang berniat mentransfer uang Rp 24 miliar dari Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia menggunakan fasilitas real time gross settlement (RTGS). ”Saya lupa nama perempuan itu, tapi dia karyawan PT First Mujur Plantation & Industry,” ujar Tutur juga kepada penyidik KPK.

PT First Mujur, kata Tutur, adalah nasabah Bank Artha Graha. Pada pukul 08.26 uang terkirim dari Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia. Sebelum pengiriman, Tutur melakukan konfirmasi kepada Gregorius Suryo.

Setelah uang diterima, Kepala Seksi Traveller’s Cheque Bank Internasional Indonesia Krisna Pribadi mengirim ratusan lembar cek pelawat ke Bank Artha Graha cabang Sudirman. ”Pukul 10.00 saya sampai dan langsung diterima Ibu Tutur di meja teller,” ujar Krisna kepada penyidik.

Setelah semua cek diperiksa, menurut Krisna, Tutur berlalu. Rupanya ia mengantarkan cek pelawat itu kepada pemesannya, PT First Mujur, yang berkantor di lantai dua gedung Bank Artha Graha. Dua puluh menit kemudian, dokumen pembelian yang sudah disertai nama PT First Mujur sebagai pembeli plus tanda tangan tanpa nama diserahkan Tutur kepada Krisna. Tak lebih dari tiga jam, cek pelawat pun tersedia: 480 lembar dengan nomor seri 135 010 191 sampai 135 010 670.

KPK sempat mencekal Direktur Utama Bank Artha Graha Andi Kasih, Presiden Direktur PT First Mujur Hidayat Lukman, dan Direktur Keuangan Budi Santoso. Pengelola Bank Artha Graha dan First Mujur berulang kali membantah tuduhan terlibat kasus suap.

Menyangkal mendalangi rasuah itu, mereka yang ditengarai terlibat mengajukan alibi. Kepada penyidik, Budi mengaku pada 8 Juni 2004 diminta Hidayat Lukman—dikenal sebagai Teddy Uban—membayarkan biaya tahap pertama ekspansi perkebunan Rp 24 miliar kepada Suhardi Suparman alias Ferry Yen. Yang terakhir ini diklaim sebagai rekan Teddy Uban di bisnis perkebunan.

Semula, kata Budi, biaya itu akan dibayar dengan cek tunai. Tapi belakangan Ferry meminta dalam bentuk cek pelawat. ”Saya tidak tahu kenapa.” Belakangan Budi menyuruh stafnya untuk mencarikan cek pelawat. Menurut Budi, Ferry menunggu penukaran cek itu di kantor PT First Mujur di gedung Bank Artha Graha lantai dua dari pagi hingga menjelang siang.

Sekitar pukul 10.00—setelah dua jam Ferry menunggu—Budi menyerahkan cek pelawat yang dibeli dari Bank Internasional Indonesia. ”Cek itu saya serahkan di ruang rapat PT First Mujur dan Pak Suhardi membuat tanda terima,” kata Budi kepada penyidik. Jumlah cek pelawat itu adalah 480 lembar senilai Rp 50 juta per lembar. Total cek bernilai Rp 24 miliar dengan nomor seri yang persis sama dengan seri yang diterima anggota DPR. Ferry tak bisa diperiksa karena meninggal pada 2007.

Sumber Tempo di KPK meragukan kebenaran cerita tentang Ferry Yen itu. Mempercayai cek memutar ke Ferry Yen, sebelum entah bagaimana sampai ke anggota DPR, dianggap tak masuk akal karena mepet-nya waktu. Cerita tentang jual-beli bisnis perkebunan juga dianggap bualan karena faktanya nomor seri cek pelawat Ferry dengan cek yang diterima para legislator sama sekali serupa.

l l l

DARI empat tersangka penerima suap yang diadili lebih dulu—Dudhie Makmun Murod, Hamka Yandhu, Udju Djuhaeri, dan Endin Soefihara—nama Nunun muncul. Tapi, dengan ”sakit”-nya sang sosialita, alur penyelidikan ke hulu jadi terputus. Peran pemilik Bank Artha Graha, Tomy Winata, serta Miranda Goeltom belum bisa dibuktikan.

Kepada Tempo, Tomy berulang kali membantah keterlibatannya dengan kasus ini. ”Waduh, operasional saya nggak ikut campur,” katanya. Begitu pula Miranda Goeltom, yang berulang kali menolak memberikan tanggapan. ”Sudahlah, saya tidak akan menjawab apa pun,” kata Miranda.

KPK menyatakan belum menyerah. Wakil Ketua Komisi Bibit S. Rianto memastikan masih terus mendalami peran Nunun. ”Pengusutan kami akan sampai ke pemberi suap,” katanya. Sumber Tempo mengabarkan kesaksian Nunun sangat vital dalam pengungkapan kasus, karena itu diperlukan strategi jitu menghadapi sang nyonya.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menyatakan belum tersentuhnya Nunun dan Miranda semata masalah strategi KPK. Adnan meyakini bahwa pemeriksaan terhadap 26 tersangka akan menghasilkan bukti yang menguatkan peran Nunun dan Miranda. ”Saya yakin KPK sudah punya bahan. Kalau ditambah keterangan dari tersangka baru, tentu akan lebih kuat,” ujarnya.

Strategi ”ulur waktu” inilah yang membuat berang Amir Karyatin, bekas pengacara Dudhie Makmun Murod. ”Keempat terpidana mengaku bahwa cek pelawat itu mereka terima dari Nunun untuk memenangkan Miranda,” kata Amir. Petunjuk lain: pencairan cek pelawat Rp 1 miliar oleh Sumarni, sekretaris pribadi Nunun. Cek itu berasal dari Bank Internasional Indonesia—bank asal cek suap anggota Dewan. ”Kurang apa lagi, ada cek, ada pengakuan,” kata Amir.

Anne L. Handayani, Arif Zulkifli, Yuliawati, Amirullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus