Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis sore yang cerah pekan lalu tak membuat Amirulah, 46 tahun, merasa nyaman. Wajah warga Desa Mundungdarat, Kecamatan Muarosebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, ini justru gundah melihat tumpukan tandan buah sawit di samping rumah panggungnya masih sangat tinggi. Kelapa sawit segar itu dipanen dari kebun seluas lima hektare miliknya.
Sudah tiga hari komoditas itu belum juga terjual karena tak ada pedagang pengumpul (pengepul) yang mau membelinya. Jikapun ada, mereka menawarkan harga sangat rendah, Rp 400-500 per kilogram, jauh di bawah ongkos produksi, sekitar Rp 1.500-an per kilogram. ”Jadi malas merawat kebun. Hasilnya tak seimbang,” katanya sambil mengepulkan asap rokok kreteknya.
Nasib Mustofa Thalib lebih parah. Anjloknya harga kelapa sawit membuat warga Lubuk Ogung, Kecamatan Bandar Sikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau, ini kehilangan pickup Mitsubishi. Lahan sawitnya seluas enam hektare tak bisa lagi menopang Pak Mus untuk membayar cicilan mobil Rp 3,4 juta sebulan. Uang cicilan selama 11 bulan dan uang muka Rp 15 juta yang sudah dibayarkannya hangus.
Saat ditemui Tempo, Kamis pekan lalu, lelaki kelahiran Bangkinang, Kampar, Riau, 57 tahun lalu ini sedang mengangkut brondongan (tandan buah sawit) dengan sepeda motor bebek ke tempat pengepul yang berjarak tiga kilometer dari kebun kelapa sawit miliknya. ”Repot sekali kalau tak memakai mobil,” ujar Mustofa.
Terpuruknya harga kelapa sawit di tingkat petani sudah berlangsung sejak Juni 2008, mengekor anjloknya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) di pasar dunia. Tahun lalu, harga minyak kelapa sawit sempat mencapai US$ 1.400 per ton. Tapi resesi global perlahan-lahan menurunkan harganya hingga tinggal US$ 400-500 per ton pada awal tahun ini. ”Sekarang harganya hanya 700 rupiah sekilo,” kata Wahidin, petani penggarap di Desa Air Sebakul, Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, kepada Tempo pekan lalu.
Para petani kelapa sawit tak bisa lagi menikmati harga keemasan yang sempat mencapai Rp 2.100-3.500 per kilogram awal tahun lalu. Harga komoditas perkebunan lainnya, seperti kopi, karet, kakao, dan teh, sami mawon, meluncur tajam (lihat info grafis).
Hancurnya harga memukul petani di sektor perkebunan, yang umumnya berdomisili di pedesaan. Hasil penelitian International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, menguatkan indikasi ini.
Ekonom InterCAFE, Nunung Nuryartono, mengatakan beberapa desa di delapan provinsi yang intensitas perkebunannya tinggi telah merasakan dampak krisis global sejak Juni 2008. Kedelapan provinsi itu adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. ”Mereka paling dulu terkena dampak krisis global,” katanya.
Saat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terkena krisis ekonomi pada 1998, sektor perkebunan tidak terimbas krisis. Para petani, terutama di luar Jawa, justru hepi lantaran harga komoditas perkebunan naik. Melemahnya nilai tukar rupiah melewati 10 ribu per dolar Amerika Serikat juga menguntungkan petani. Permintaan dari negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa, masih tinggi karena wilayah ini tak tersentuh krisis.
Tapi kondisi sekarang berbeda karena Amerika, Uni Eropa, dan Jepang sedang gering dihajar krisis. Permintaan komoditas perkebunan susut. Harganya di pasar dunia melorot tajam dan berimbas ke dalam negeri. ”Krisis sekarang langsung menghantam pedesaan dan mengakibatkan ribuan petani dan buruh tani menganggur,” ujar Nunung Nuryartono.
Krisis global, katanya, juga menghantam sektor manufaktur di perkotaan sejak awal 2009. Tapi beban desa lebih berat karena para penganggur dan setengah pengangguran di perkotaan balik lagi ke pedesaan. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kehilangan pekerjaan juga kembali ke kampung halamannya, yang umumnya di pedesaan.
Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi dampak krisis global ini dengan menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun. Dana stimulus itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk meningkatkan daya beli masyarakat, daya saing dan daya tahan dunia usaha, serta pembangunan infrastruktur.
Sayangnya, menurut Direktur InterCAFE Iman Sugema, stimulus fiskal itu kurang menyentuh langsung sektor pertanian dan perkebunan. Jumlah stimulus yang mengarah ke sana sangat minim, hanya Rp 1,05 triliun dari total Rp 71,3 triliun. ”Itu tak cukup. Harus ditambah lagi,” ujarnya.
Iman menyarankan pemerintah berinvestasi membantu petani meremajakan kebunnya selama lima tahun ke depan. Bila tak ada peremajaan, tanaman itu akan kehilangan produktivitasnya. Saat krisis pulih dan harga naik lagi, petani tak bisa menikmati keuntungan.
Iman juga khawatir, jika tak ada perubahan stimulus fiskal, enam provinsi, yakni Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, akan menyusul terkena krisis.
Di mata Menteri Pertanian Anton Apriyantono, stimulus untuk sektor pertanian dan perkebunan sebenarnya sudah banyak. Salah satunya pajak ditanggung pemerintah. Untuk rencana stimulus terbaru, kata dia, ada dana Rp 10,5 triliun buat pengembangan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur itu akan memberikan efek primer dan sekunder ke multisektor, termasuk pertanian dan perkebunan. ”Departemen Pertanian sendiri membangunkan jalan untuk perkebunan.” Hanya, selama ini, realisasi anggaran pemerintah selalu terlambat. Duit pemerintah daerah pun lebih banyak ngendon di Bank Indonesia.
Padjar Iswara, Agung Sedayu, Jupernalis Samosir (Riau), Syaipul Bakhori (Jambi), Harri Pratama Aditya (Bengkulu)
Inilah Stimulus Itu Penghematan Pembayaran Pajak (Tax Saving)
Subsidi Pajak dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah
Subsidi dan Belanja Negara kepada Dunia Usaha dan Lapangan Kerja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo