Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#CC0000>Krisis Ekonomi</font><br />Di Pedesaan Krisis Terhunjam Dalam

Sektor perkebunan sudah terkena dampak krisis global sejak pertengahan tahun lalu. Pedesaan menanggung beban lebih berat.

16 Februari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamis sore yang cerah pekan lalu tak membuat Amirulah, 46 tahun, merasa nyaman. Wajah warga Desa Mundungdarat, Kecamatan Muarosebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, ini justru gundah melihat tumpukan tandan buah sawit di samping rumah panggungnya masih sangat tinggi. Kelapa sawit segar itu dipanen dari kebun seluas lima hektare miliknya.

Sudah tiga hari komoditas itu belum juga terjual karena tak ada pedagang pengumpul (pengepul) yang mau membelinya. Jikapun ada, mereka menawarkan harga sangat rendah, Rp 400-500 per kilogram, jauh di bawah ongkos produksi, sekitar Rp 1.500-an per kilogram. ”Jadi malas merawat kebun. Hasilnya tak seimbang,” katanya sambil mengepulkan asap rokok kreteknya.

Nasib Mustofa Thalib lebih parah. Anjloknya harga kelapa sawit membuat warga Lubuk Ogung, Kecamatan Bandar Sikijang, Kabupaten Pelalawan, Riau, ini kehilangan pickup Mitsubishi. Lahan sawitnya seluas enam hektare tak bisa lagi menopang Pak Mus untuk membayar cicilan mobil Rp 3,4 juta sebulan. Uang cicilan selama 11 bulan dan uang muka Rp 15 juta yang sudah dibayarkannya hangus.

Saat ditemui Tempo, Kamis pekan lalu, lelaki kelahiran Bangkinang, Kampar, Riau, 57 tahun lalu ini sedang mengangkut brondongan (tandan buah sawit) dengan sepeda motor bebek ke tempat pengepul yang berjarak tiga kilometer dari kebun kelapa sawit miliknya. ”Repot sekali kalau tak memakai mobil,” ujar Mustofa.

Terpuruknya harga kelapa sawit di tingkat petani sudah berlangsung sejak Juni 2008, mengekor anjloknya harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) di pasar dunia. Tahun lalu, harga minyak kelapa sawit sempat mencapai US$ 1.400 per ton. Tapi resesi glo­bal perlahan-lahan menurunkan harganya hingga tinggal US$ 400-500 per ton pada awal tahun ini. ”Sekarang harganya hanya 700 rupiah sekilo,” kata Wahidin, petani penggarap di Desa Air Sebakul, Kecamatan Talang Empat, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, kepada Tempo pekan lalu.

Para petani kelapa sawit tak bisa lagi menikmati harga keemasan yang sempat mencapai Rp 2.100-3.500 per kilogram awal tahun lalu. Harga komoditas perkebunan lainnya, seperti kopi, karet, kakao, dan teh, sami mawon, meluncur tajam (lihat info grafis).

Hancurnya harga memukul petani di sektor perkebunan, yang umumnya berdomisili di pedesaan. Hasil peneli­tian International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, menguatkan indikasi ini.

Ekonom InterCAFE, Nunung Nuryar­tono, mengatakan beberapa desa di de­lapan provinsi yang intensitas perkebunannya tinggi telah merasakan dampak krisis global sejak Juni 2008. Kedelapan provinsi itu adalah Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. ”Mereka paling dulu terkena dampak krisis global,” katanya.

Saat Asia Tenggara, termasuk Indone­sia, terkena krisis ekonomi pada 1998, sektor perkebunan tidak terimbas krisis. Para petani, terutama di luar Jawa, justru hepi lantaran harga komoditas­ per­kebunan naik. Melemah­nya nilai tu­kar rupiah melewati 10 ribu per dolar­ Ame­rika Serikat juga menguntungkan­ peta­ni. Permintaan dari negara tujuan eks­por utama, seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Uni Eropa, masih ting­gi karena wilayah ini tak tersentuh krisis.

Tapi kondisi sekarang berbeda karena Amerika, Uni Eropa, dan Jepang sedang gering dihajar krisis. Permintaan komoditas perkebunan susut. Harganya di pasar dunia melorot tajam dan berimbas ke dalam negeri. ”Krisis sekarang langsung menghantam pedesaan dan mengakibatkan ribuan petani dan buruh tani menganggur,” ujar Nunung Nuryartono.

Krisis global, katanya, juga menghantam sektor manufaktur di perkotaan sejak awal 2009. Tapi beban desa lebih berat karena para penganggur dan se­tengah pengangguran di perkotaan ba­lik lagi ke pedesaan. Tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang kehilangan pekerjaan juga kembali ke kampung ha­lam­annya, yang umumnya di pedesaan.

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi dampak krisis global ini dengan menyiapkan stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun. Dana sti­mulus itu, menurut Menteri Ke­uangan Sri Mulyani, untuk mening­katkan daya beli masyarakat, daya saing dan daya tahan dunia usaha, serta pembangunan infrastruktur.

Sayangnya, menurut Direktur InterCAFE Iman Sugema, stimulus fis­kal itu kurang menyentuh langsung­ sektor pertanian dan perkebunan. Jum­lah stimulus yang mengarah ke sana sangat minim, hanya Rp 1,05 tri­liun dari total Rp 71,3 triliun. ”Itu tak­ cukup. Harus ditambah lagi,” ujarnya.

Iman menyarankan pemerintah berinvestasi membantu petani mere­ma­jakan kebunnya selama lima tahun ke depan. Bila tak ada peremaja­an, tanaman itu akan kehilangan produktivitasnya. Saat krisis pulih dan harga naik lagi, petani tak bisa menikmati keuntungan.

Iman juga khawatir, jika tak ada perubahan stimulus fiskal, enam provinsi, yakni Yogyakarta, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, akan menyusul terkena krisis.

Di mata Menteri Pertanian Anton Apriyantono, stimulus untuk sektor­ pertanian dan perkebunan sebenarnya sudah banyak. Salah satunya pajak ditanggung pemerintah. Untuk rencana stimulus terbaru, kata dia, ada dana Rp 10,5 triliun buat pe­ngembangan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur itu akan memberikan efek primer dan se­kunder ke multisektor, termasuk pertanian dan perkebunan. ”Departemen Pertanian sendiri membangunkan jalan untuk perkebunan.” Hanya, selama ini, realisasi anggaran pemerintah selalu terlambat. Duit pemerintah daerah pun lebih banyak ngendon di Bank Indonesia.

Padjar Iswara, Agung Sedayu, Jupernalis Samosir (Riau), Syaipul Bakhori (Jambi), Harri Pratama Aditya (Bengkulu)

Inilah Stimulus Itu Penghematan Pembayaran Pajak (Tax Saving)

  • Tarif pajak penghasilan (PPh) badan, orang pribadi, dan pendapatan tidak kena pajak sebesar Rp 43 triliun

    Subsidi Pajak dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah

  • Insentif pajak pertambahan nilai untuk eksplorasi migas dan minyak goreng Rp 3,5 triliun
  • Bea masuk bahan baku dan barang modal Rp 2,5 triliun
  • PPh karyawan Rp 6,5 triliun
  • PPh panas bumi Rp 0,8 triliun

    Subsidi dan Belanja Negara kepada Dunia Usaha dan Lapangan Kerja

  • Subsidi solar Rp 2,8 triliun
  • Diskon tarif beban puncak untuk industri Rp 1,4 triliun
  • Tambahan belanja infrastruktur Rp 10,2 triliun
  • Perluasan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Rp 0,6 triliun
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus