Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua tersangka mengungkap peran makelar dalam penanganan perkara korupsi BTS.
Kejaksaan Agung tak mencantumkan kesaksian soal peran makelar itu dalam dakwaan.
Uang yang dikumpulkan untuk menutupi jejak perkara korupsi BTS sebanyak Rp 243 miliar.
KORUPSI proyek pengadaan menara pemancar Internet atau base transceiver station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika memancar kian jauh. Penyidik Kejaksaan Agung menemukan banyak fakta baru setelah memeriksa Irwan Hermawan pada Senin, 15 Mei lalu. Komisaris PT Solitechmedia Synergy itu mengaku mengumpulkan uang hingga Rp 119 miliar dari konsorsium dan subkontraktor proyek senilai Rp 28,3 triliun tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan pengumpulan uang adalah menyetop penyelidikan pembangunan menara Internet atau proyek BTS di daerah terpencil yang diperkirakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merugikan negara Rp 8,03 triliun tersebut. “Klien kami terpaksa melakukannya karena ada tekanan kebutuhan menyelesaikan persoalan hukum,” kata Handika Honggowongso, pengacara Irwan, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Handika, mengutip ucapan Irwan, uang dikumpulkan atas permintaan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Achmad Latif. Bakti adalah perusahaan yang dibentuk Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membangun sekitar 4.200 menara BTS di pelosok-pelosok. Direksi PT Solitechmedia menyatakan Irwan bertindak secara pribadi karena perusahaan itu tak bersangkut-paut dengan proyek tersebut.
Dalam pemeriksaan awal, Irwan menolak membeberkan perusahaan mana saja yang ia tarik uangnya dan kepada siapa saja uang itu diberikan. Namun, dalam pemeriksaan ketiga pada 15 Mei lalu itu, ia akhirnya merinci siapa saja penerimanya. Ada Sadikin, Setyo Joko Santosa, Latifah, dan Walbertus Wisang—nama-nama asing yang baru muncul. Bahkan Irwan, 52 tahun, sebelumnya hanya menyebut dengan kode X, Y, Z.
Baru dalam pemeriksaan keempat, pada pertengahan Juni, Irwan membeberkan identitas mereka. Ia bahkan mengaku mengutip uang lebih banyak. Tak lagi Rp 119 miliar, tapi melambung hingga Rp 243 miliar. Penerima uang itu adalah pejabat Kementerian Kominfo, politikus di Dewan Perwakilan Rakyat, hingga auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengaudit ulang proyek itu.
Kepada jaksa, Irwan mengaku uang itu ia terima, antara lain, dari Jemy Sutjiawan, sebesar Rp 37 miliar. Ia adalah Direktur Utama PT Sansaine Exindo, perusahaan subkontraktor proyek menara BTS ini. Jemy adalah orang pertama yang diperiksa jaksa pada November 2022 sebelum Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate menjadi tersangka.
Uang lebih besar diterima Irwan dari Muhammad Yusrizki Muliawan, Direktur Utama PT Basis Utama Prima, yang memasok semua panel surya dan baterai menara BTS. Sebanyak 99 persen saham perusahaan ini dimiliki Hapsoro Sukmonohadi alias Happy Hapsoro, suami Ketua DPR Puan Maharani. Dari Yusrizki, Irwan mengaku menerima Rp 60 miliar. Sisa uang ia kumpulkan di antaranya dari tiga perusahaan subkontraktor proyek BTS.
Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Muhammad Yusrizki (memakai rompi), di Kejaksaan Agung, Jakarta, 15 Juni 2023. Antara /Asprilla Dwi Adha
Selain nama-nama asing penerima besel Irwan, ia menyebutkan satu nama terkenal, yakni Dito. Kepadanya, Irwan memberikan Rp 27 miliar pada November-Desember 2022 untuk meredam pengusutan perkara proyek ini. Uang dalam pecahan dolar Amerika Serikat itu diserahkan dua kali ke rumah Dito di Jalan Denpasar, Jakarta Selatan.
Nama Dito yang disebut Irwan itu diduga Ario Bimo Nandito Ariotedjo atau Dito Ariotedjo. Ia kini Menteri Pemuda dan Olahraga yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 3 April lalu, menggantikan Zainuddin Amali yang mundur karena menjadi Wakil Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Sewaktu Irwan menyerahkan uang, Dito masih menjabat staf khusus Kementerian Koordinator Perekonomian. Dito memang politikus muda Partai Golkar. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto tak lain adalah ketua umum partai itu.
Saat dimintai konfirmasi, Dito mengaku bingung mendengar namanya disebut sebagai penerima uang korupsi proyek menara BTS di Kementerian Kominfo. Ia mengklaim tak tahu perkara tersebut. “Saya khawatir Dito yang disebut itu berbeda,” ucapnya kepada Tempo melalui WhatsApp. “Sudah beberapa kali kejadian seperti ini."
Nama lain yang lumayan populer adalah Windu Aji Sutanto. Irwan Hermawan mengaku menyerahkan uang hingga Rp 75 miliar kepada Windu. Uang untuk Windu diserahkan ke rumahnya di Perumahan Patraland, Kuningan, Jakarta Selatan, dalam tiga kali pengiriman. Yang pertama dikirim melalui kurir. Irwan yang menyerahkan langsung uang tersebut pada pengiriman kedua dan ketiga. Windu merupakan pengusaha yang pernah menjadi anggota tim sukses Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden 2014. Ia juga berbisnis tambang nikel di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, lewat PT Lawu Agung Mining. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan seorang pegawai PT Lawu Agung sebagai tersangka tambang nikel ilegal.
Windu dan orang kepercayaannya, Setyo Joko Santosa, tak merespons permintaan wawancara saat dihubungi lewat sambungan telepon dan WhatsApp. Surat permohonan wawancara sudah dikirim ke rumah Windu pada Sabtu, 24 Juni lalu. Seorang penjaga rumah yang mengaku bernama Iwan mengatakan Windu berada di luar rumah sejak pagi. Iwan meminta wartawan Tempo merekam lima pertanyaan yang diajukan dengan pesan suara untuk dikirim kepada Windu.
Pemeriksaan Windi Purnama, tersangka ketujuh dalam kasus korupsi proyek BTS, menguatkan keterangan Irwan. Windi mengaku menjadi kurir pengambilan uang dan penyerahan duit kepada banyak pihak atas perintah Irwan. Misalnya, ia menerima uang dari Yusrizki. Lalu, ia menyerahkan sejumlah uang kepada pihak lain yang mengklaim bisa menyetop penyelidikan kasus BTS di Kejaksaan Agung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan belum mengetahui peran dan keterlibatan nama-nama yang disebut Irwan dalam berkas pemeriksaannya. Ia memastikan para jaksa terus menelusuri keterangan para tersangka dan saksi untuk mengungkap secara terang perkara ini. Karena itu, ia membantah jika para jaksa dituduh menerima suap untuk menghentikan penyelidikannya. “Jangan bikin isu,” tuturnya. “Kalaupun ada, buka dalam persidangan.”
Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G Plate mengenakan rompi tahanan saat keluar dari Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, 17 Mei 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Nama-nama yang disebut Irwan Hermawan terlibat dalam pusaran suap telah menjadi tersangka. Mereka adalah Anang Latif, Galumbang, Yohan Suryanto yang menjadi tenaga ahli proyek ini, hingga Mukti Ali dari PT Huawei Technology Investment. Para tersangka sudah ditahan. Jaksa menyatakan berkas pemeriksaan Johnny, Irwan, Mukti, dan Galumbang telah lengkap sehingga persidangan akan dimulai pada 27 Juni 2023.
Tuduhan untuk Menteri Johnny, politikus Partai NasDem, adalah memerintahkan Anang Latif menyetor uang untuk keperluan pribadi, kegiatan amal, hingga gaji anak buahnya. Anang lalu menyisihkan uang kutipan dari para kontraktor menara BTS itu kepada Johnny sebesar Rp 17,8 miliar selama 2020-2022. “Semua buktinya bakal dibuka di persidangan,” ujar Ketut Sumedana.
***
KEJAKSAAN Agung mulai mengusut aroma tak sedap proyek menara BTS ini pada Juni 2022. Jaksa menduga nilai proyek yang digarap tiga konsorsium itu digelembungkan lantaran tak merujuk pada perkiraan harga barang di pasar. Pemerintah telah menggelontorkan anggaran Rp 10,8 triliun untuk pembangunan 4.200 menara sepanjang 2021-2023. Namun baru ratusan menara yang beroperasi.
Kabar Kejaksaan Agung menyelidiki proyek BTS langsung menyebar di kalangan para kontraktor proyek ini. Menurut keterangan para tersangka, para pemimpin perusahaan yang mengerjakan proyek paket 1-5 ini lalu menyusun skenario untuk meredamnya. Karena itu, Anang Achmad Latif meminta Irwan Hermawan mengumpulkan uang untuk menyuap jaksa dan mencari siapa saja yang punya koneksi ke Kejaksaan Agung.
Salah satunya dari PT Sarana Global Indonesia. Irwan mengutus Windi Purnama untuk menjemput Rp 25 miliar dari kantor perusahaan tersebut. Irwan kemudian mengambil sisanya, Rp 3 miliar, beberapa hari kemudian. Dari PT JIG Nusantara, Irwan mengambil Rp 26 miliar, Rp 37 miliar dari Jemy Sutjiawan, lalu Rp 26 miliar dari seseorang yang disebut berinisial S, seorang direktur PT Warana Yusa Abadi.
Jemy tak ada di kantornya pekan lalu. Rinaldi, staf personalia PT Sansaine Exindo, mengatakan bosnya tak berada di ruangannya. Surat permohonan wawancara tak berbalas hingga Sabtu, 24 Juni lalu. Kejaksaan Agung mencegah Jemy bepergian ke luar negeri setelah diperiksa sebagai saksi. Menurut Irwan, Jemy juga menambah uang setoran kepadanya sebesar Rp 57 miliar bersama PT Surya Energi Indotama.
Pengurus PT JIG Nusantara Persada juga tak mau memberikan konfirmasi. Alamat kantor yang tertera di Kompleks Ruko Tunas Plaza, Jakasampurna, Bekasi Barat, Jawa Barat, tak ditemukan. Begitu pula ketika Tempo menyambangi alamat di Cervino Village, Jalan KH Abdullah Syafe’i, Tebet, Jakarta Selatan. “Kemarin juga ada yang mau antar surat ke perusahaan itu, tapi kantor sudah kosong,” kata seorang petugas keamanan kompleks perkantoran.
Nama perusahaan lain yang disebut Irwan Hermawan adalah PT Aplikanusa Lintasarta. Dari perusahaan ini, Irwan mengaku menerima Rp 7 miliar. Menurut dia, dari akumulasi uang yang ia kumpulkan, Anang Latif menerima Rp 3 miliar dan Rp 10 miliar yang diteruskan kepada staf Menteri Kominfo selama April 2021-Oktober 2022.
PT Surya Energi Indotama, yang menyetor uang bersama Jemy Sutjiawan, merupakan anak usaha PT Len Industri yang bergabung dalam konsorsium bersama PT Lintasarta dan Huawei. Konsorsium ini bertugas membangun 954 unit menara di wilayah Papua Barat dengan nilai kontrak Rp 2,8 triliun.
Juru bicara PT Len Industri Tbk, Rully Adi Surya, membantah keterlibatan perusahaannya dalam suap-menyuap tersebut. “Kami melakukan pekerjaan sesuai dengan kontrak dan menerapkan kaidah tata kelola bisnis yang benar," tuturnya.
Kepada jaksa, Windi Purnama mengatakan, guna menutupi jejak penerimaan dan penyerahan uang serta mengaburkan sumber pendanaan, ia mengemasnya dalam bentuk kontrak pekerjaan. Dengan begitu, uang yang ia kumpulkan seolah-olah adalah biaya pekerjaan dari perusahaan konsorsium proyek menara BTS dan para subkontraktornya.
Windi mencontohkan pengiriman uang Rp 2 miliar tertanggal 31 Juni 2021 dari PT Lintasarta kepada PT Multimedia Berdikari Sejahtera. “Pekerjaan itu fiktif,” ucapnya. Vice President Corporate Communication PT Aplikanusa Lintasarta Lisa Andriana tidak memberikan konfirmasi mengenai keterangan Windi. “Saya belum berkoordinasi secara internal dan dengan atasan,” ucapnya, pekan lalu.
Selain Dito Ariotedjo dan Windu Aji, Irwan Hermawan dan Windi Purnama mengaku menyerahkan uang suap guna menutup pengusutan dugaan korupsi proyek menara BTS kepada seseorang bernama Edward Hutahean. Nilainya Rp 15 miliar. Ada juga seorang anggota direksi PT Pertamina bernama Erry Sugiharto yang diberi uang sebanyak Rp 10 miliar. Menurut keduanya, Edward dan Erry mengklaim memiliki koneksi di Kejaksaan Agung.
Tempo menemui Erry di kawasan Tebet. Ia tak mau berkomentar. Ia berjanji menjelaskan duduk perkara proyek BTS lewat telepon. Namun, hingga Sabtu, 24 Juni lalu, Erry tak kunjung menelepon.
Nama terakhir yang disebut Irwan Hermawan dan Windi Purnama adalah seorang bernama Nistra Yohan. Ia staf ahli Sugiono, anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Partai Gerindra. Di partai yang dipimpin Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu, Sugiono duduk sebagai Wakil Ketua Umum. Nilai uang yang diserahkan Irwan dan Windi kepada Nistra sebesar Rp 70 miliar.
Dalam pemeriksaan, Windi Purnama mengatakan uang tersebut diserahkannya kepada Nistra di rumahnya di kawasan Gandul, Depok, Jawa Barat. “Saya serahkan dalam koper,” tutur Windi. “Isinya pecahan dolar Singapura dan Amerika.” Penyerahan kedua dilakukan di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Tempo berusaha meminta konfirmasi mengenai cerita Windi kepada Nistra dan Sugiono. Keduanya tak kunjung terlihat di gedung DPR pada Jumat, 23 Juni lalu. Nistra tak merespons permintaan konfirmasi lewat sambungan telepon.
Lewat akun WhatsApp, Sugiono mengakui Nistra pernah menjadi asistennya namun berhenti sejak Januari lalu. Sugiono juga membantah menerima uang dari para kontraktor dan subkontraktor proyek BTS. "Saya tidak tahu soal aliran dana tersebut ke Komisi I," tulisnya pada Ahad, 25 Juni lalu.
Pengacara Anang Latif, Kresna Hutauruk, enggan menanggapi kesaksian Irwan ataupun Windi. Pengacara Galumbang Menak Simanjuntak, Maqdir Ismail, membantah dugaan mengenai peran kliennya dalam korupsi proyek BTS. Menurut Maqdir, Galumbang tak pernah memerintahkan Irwan ataupun Windi meredam pengusutan kasus ini. “Keterlibatan Galumbang dalam proyek tersebut sebatas kerja profesional sebagai pengusaha yang lama bergulat di bidang telekomunikasi,” katanya.
Adapun uang suap untuk auditor Badan Pemeriksa Keuangan dialirkan Irwan dan Windi melalui seseorang bernama Sadikin. Ia disebut-sebut sebagai orang kepercayaan salah seorang anggota BPK.
BPK memang pernah mengaudit proyek BTS sepanjang 2021-2022. Berbeda dengan BPKP, auditor lembaga negara ini memberikan status pelaksanaan proyek menara BTS wajar dengan pengecualian. Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK Yudi Ramdan enggan menanggapi informasi itu ketika dimintai konfirmasi.
Pengacara Irwan, Handika Honggowongso, tak menampik kesaksian kliennya. Ia mengklaim Irwan sudah mendetailkan semua aliran dan sumber uang. “Kala itu memang ada atensi dari pihak Kementerian untuk mengamankan proses hukum yang sedang berjalan, baik kantor yang di Senayan maupun di Slipi,” ujarnya, menunjuk kantor DPR dan BPK.
Handika berharap penyidik ikut memeriksa semua nama yang disebut Irwan dalam kesaksiannya. Namun jaksa tak menyertakan seluruh aliran uang berdasarkan pengakuan Irwan dalam dakwaannya. “Padahal kesaksian itu penting untuk mengungkap hal yang lebih besar,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Erwan Hermawan, Fajar Pebrianto, dan Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pancaran Korupsi BTS"
Catatan:
Redaksi merevisi naskah di atas pada Senin, 26 Juni 2023, pukul 08.30 WIB, meliputi:
1. Revisi jabatan anggota Komisi Pertahanan DPR, Sugiono. Sebelumnya ditulis Wakil Ketua Komisi Pertahanan.
2. Penambahan konfirmasi dari Sugiono yang diterima Tempo pada Ahad, 25 Juni 2023, sekitar pukul 04.20 WIB.
Terima kasih.