Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI banyak perkara korupsi lain, proyek pengadaan menara base transceiver station (BTS) 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika adalah kejahatan berlapis yang melibatkan banyak pemain. Mulanya adalah upaya menggasak Rp 28,3 triliun uang pengadaan menara pemancar sinyal seluler. Ini uang besar yang disiapkan pemerintah untuk membangun 7.904 menara pemancar di daerah tertinggal pada 2021-2022. Jika selesai sesuai dengan rencana, proyek ini akan membuat sinyal Internet di tempat yang jauh dan tertinggal lancar jaya dan pelbagai program berbasis digital bisa dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate dan Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Anang Achmad Latif yang ditengarai mengatur agar proyek dimenangi oleh perusahaan-perusahaan yang dekat dengan mereka. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), negara diperkirakan rugi Rp 8 triliun lebih dan jumlah menara yang dibangun jauh di bawah rencana.
Ketika Kejaksaan Agung mengusut dan menemukan nama-nama baru, mereka yang diusut menutup kejahatan lama dengan kejahatan baru melalui suap kepada jaksa. Lebih dari Rp 100 miliar disiapkan para pemenang proyek untuk membekap perkara ini. Komisaris PT Solitechmedia Synergy, Irwan Hermawan, salah seorang tersangka, menjadi pengepul saweran durjana itu untuk disebar lewat sejumlah perantara. Satu di antaranya adalah politikus Partai Golkar, Ario Bimo Nandito Ariotedjo atau Dito Ariotedjo. Ia ditengarai menerima Rp 27 miliar pada November-Desember 2022, beberapa bulan sebelum menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga.
Penyidik Kejaksaan Agung tak boleh ragu meski pengusutan nanti melibatkan kawan-kawan mereka sendiri. Pengakuan Irwan harus ditelusuri untuk mengungkap siapa jaksa penerima besel. Resik-resik ini juga harus dilakukan agar Kejaksaan Agung tidak dituduh bekerja sesuai dengan pesanan. Sejak awal beredar spekulasi: perkara menara pemancar diusut untuk menekan mereka yang berseberangan secara politik dengan pemerintah. Johnny G. Plate, kader Partai NasDem, menjadi tersangka setelah partainya mendeklarasikan Anies Baswedan, kandidat yang tak didukung pemerintah, sebagai calon presiden.
Dito yang politikus Golkar kini masuk pusaran. Saat ini Partai Golkar belum mengambil sikap terhadap rencana pencalonan tiga besar kandidat presiden: Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Ganjar merupakan kandidat yang disorongkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Prabowo merupakan Ketua Umum Partai Gerindra.
Jokowi memberi sinyal kuat tidak mendukung Anies, tapi mendukung Ganjar dan terutama Prabowo. Meski berelektabilitas rendah, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto masih diusung partainya sebagai calon presiden. Kejaksaan harus membuktikan bahwa kerja lembaganya tak berkaitan dengan politik elektoral 2024.
Selain mengejar pelaku dan penerima suap jaksa, Kejaksaan Agung harus membuka siapa penikmat korupsi menara BTS, inti kasus yang tengah diusut. Nama-nama penerima tertera dalam surat dakwaan. Johnny Plate, misalnya, disebut menerima Rp 13,8 miliar; Anang Latif mendapat Rp 5 miliar; serta Muhammad Yusrizki, Direktur Utama PT Basis Prima, menerima Rp 50 miliar dan US$ 2,5 juta. PT Basis adalah perusahaan milik pengusaha Hapsoro Sukmonohadi atau Happy Hapsoro, suami ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan kader PDI Perjuangan, Puan Maharani. Lapis berikutnya aliran fulus ini belum terungkap.
Disebutnya nama Hapsoro memunculkan fakta dan spekulasi lain. Faktanya, politik Indonesia telah jatuh ke titik yang paling rendah ketika kekuasaan tak lagi dipahami sebagai upaya untuk meraih kemaslahatan buat orang ramai. Politik dengan “p” kecil telah menjadi yang utama: siapa mendapatkan apa dan untuk mengenyangkan perut elite yang mana.
Baca liputannya:
- Untuk Siapa Suap Korupsi Menara BTS?
- Peran Muhammad Yusrizki dalam Korupsi Menara BTS. Siapa dia?
- Jemy Sutjiawan dalam Pusaran Korupsi Menara BTS. Perannya penting
Spekulasinya, hukum menjadi alat penekan untuk mencapai kepentingan politik penguasa. Lebih dari sekadar upaya agar partai para tersangka atau calon tersangka manut pada pilihan politik pemerintah, tak banyak yang menyadari bahwa partai yang kadernya terseret kasus korupsi akan kesulitan mendapat dukungan logistik menjelang perhelatan 2024. Setiap gobang uang yang disalurkan kepada partai bermasalah mudah “dipotret” sebagai transaksi bermasalah pula.
Guna menjernihkan sengkarut, Kejaksaan Agung tidak boleh setengah-setengah mengungkap perkara ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lapis Kejahatan Proyek Menara Pemancar"