Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suatu malam di kishlak

Pengalaman wartawan mingguan ogonyok, artyom borovik, yang ikut ke medan tempur bersama serdadu-serdadu uni soviet melawan gerilyawan mujahidin di afghanistan. ia dilengkapi perlengkapan perang.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI menjanjikan hari bakal terik menyengat. Yang telah didaftar ikut penyergapan sore akus melahap dingin subuh. Kami berbaris di lapangan, bak sekumpulan anjing pemburu. Malam tadi kami semua kebagian beban 65 kg: senapan semiotomatis, selongsong tempat peluru, rompi antipeluru, tas tidur, jaket berlapis, kotak amunisi pelempar granat, ransum, dua botol air, tiga batu batere, sabuk enam pak peluru, roket suar, obor suar... Berminggu-minggu di Afghanistan, perlengkapanku menjadi luar biasa jorok, dan kini komposisinya bercap internasional. Ranselku, kuperoleh dari kaum Mujahidin, bercap US Anny. Tas tidur bulu angsaku bikinan Inggris, buatan tahun 1949. Entah tentara macam apa yang memanggulnya di punggung hampir 40 tahun silam, dan entah di mana kini tulangnya berserakan. Lalu jaket tebalku, berwarna khaki terbuat dari bulu imitasi, bikinan Pakistan. Sebelum berangkat ke tempat penyergapan 25 km jauhnya, kami berbincang bersama. Heavy Rock and Roll meledak-ledak dari Sharp Jepang itu. "Rock dan perang? Aku tak melihat hubungannya?" kata seorang letnan muda, Kolya Zubkov, sembari tertawa. Shap terus mengentak-entakkan suara serak Rod Steward. Senja menurunkan segala wama di pegunungan itu jadi satu, abu-abu gelap. Bumi bergetar perlahan di sepanjang jalan. Kami berpapasan dengan APC (kendaraan lapis baja pengangkut pasukan) dari unit lain yang kembali dari medan tempur. Debu mengepul, menempel perlahan di wajah para serdadu dan daun eucalyptus. Kendaraan beriringan bergerak perlahan, berjarak 15 meter tepatnya, dan aku melihat sopir bertelinga besar yang menonjol lubangnya. Wajah mereka, lantaran refleksi lampu panel peralatan di dashboard, seperti berfosfor dalam gelap. Menurut infommasi, satuan gerilyawan akan bergerak malam ini. Diduga, rombongan itu berkubu dekat Shomali, untuk menggempur helikopter kami kala subuh. Di detasemen kami ada seorang Afghanistan bertugas sebagai pemandu. Lelaki tegap berumur 40 tahun, berjenggot abu-abu kaku dengan mata lebar, berpandangan tajam. Ia penduduk asli setempat. Ia tahu semua jalan di wilayah itu. Gelap gulita. Aku hanya dapat melihat dua sorot merah dari APC yang menderu di depan. Wajahku beku oleh dingin angin kering, untung ada hangat semburan knalpot. Sekitar 5 menit kemudian kami turun, tiarap berjajar, lalu berbalik menuju arah lain, ke selatan, menyusur bantaran sungai kering. Bulan menyisihkan mendungnya langit, dan kini setiap koral tersinari cahayanya. Tiga kilo lebih jauh, kian sedikit batu, lalu kami terbenam semata kaki dalam pasir hangat. Peluh membanjir di balik topi bajaku. Akhirnya, kami bisa istirahat sebentar. Tak seorang pun menyentuh pelpesnya, kendati tenggorokan kami teramat kering. Itu sebenamya baik untuk membasahi mulutku yang penuh pasir. Tapi aku tak dapat melakukannya. Tak seorang pun tahu berapa lama kami harus menunggu saat penyergapan. Segala sesuatu, selain kelembapan, jadi tak berarti. Kami bangkit. Dan bergerak lagi. Bulan tepat di atas kepala, dan keletihan menarik-narik di belakang bersaing dengan bayangan yang kadang mengejar, kadang surut. Embusan angin membawa bau busuk, tajam, dari kampung tersembunyi yang tak jauh. Seiring jatuhnya suhu, kerongkonganku gatal. Kini, selain kebebasan untuk minum, kebebasan yang lain pun terpaksa kucampakkan, kebebasan batuk. Sialan, kediktatoran, di mana pun, kutemui. Kami berkomunikasi dengan isyarat dan bisikan. Niat merokok enyah jauh. Biarpun aku menutupi apinya dengan telapak tangan, seorang dukhi (singkatan dari dushmani, julukan yang diberikan tentara Soviet bagi Mujahidin) bisa melihatnya lewat teropong malamnya. Dalam grupku, kami bertujuh. Aku mengamati sekitar lewat teropong milikku. Teropong yang kekuatan lensanya amat mencengangkan - di sebuah jalan desa terlihat dua manusia. Gerombolan itu bergerak ke arah kami, dan punya depot amunisi di sana. "Dukhi biasanya melewatkan malam di kishlak (pedesaan Afghanistan), dan siang hari mereka menjadi petani setempat," kata Dzhabarov. "Siang hari kampung itu milik kita, malam hari milik mereka." Seekor kalajengking merangkak bandel, bak traktor, di batu tempat senapan ditaruh. "Jangan takut," kata Dzhabarov pula, membaca pikiranku. "Itu tidak terlalu berbisa." Saat itulah Vladik menggocohnya dengan gagang senapan. Pukul 3 dinihari sudah. Tapi tak ada tanda-tanda gerilyawan bergerak. Jauh di sana, hampir pada cakrawala, aku dapat melihat salju menyelimuti puncak pegunungan. "Suatu waktu setelah perang," Vladik pun berangan-angan, "mereka akan membangun tempat ski di sana, dan kita akan kembali ke sini bermain ski melintasi tempat bertempur .... Bukan ide buruk, kan?" "Dukhi," Zherevin tiba-tiba berteriak. Peluh bergulir-di punggungku. Aku melihat lewat binokuler. Di sana, di sekat bantaran parit, sekitar 20 orang bergerak gesit, semuanya bersenjata. Kami jadi beku, lebih diam daripada diam. Zherevin mendesiskan sesuatu kepada Kozlov lewat walkie-talkie. Kami membiarkan gerombolan mencapai tempat terlindung. Kozlov menutup bantaran sungai dari belakang, lalu mengepung rapat sekeliling mereka. Bila dukhi mencapai daerah hijau, mereka akan berlari mengarah pada kami. Tembakan sengit mulai terdengar di bawah. Sekitar 10 gerilyawan menghambur tunggang-langgang ke sisi kanan tanggul sungai. Lima atau enam dukhi menjatuhkan diri ke tanah, bersembunyi di belakang gundukan cadas. Sedetik kemudian mereka membuka tembakan gencar ke arah bukit, melindungi salah seorang yang berusaha menerobos antara kami dan bukit di dekatnya. Di kiri dan kananku, senapan mesin Skylar dan Dzhabarov menyalak. Mereka menembaki tiga dukhi yang menyerang sisi kiri kami. Pijar peluru melecut kegelapan. Beberapa peluru pembakar mengenai tanah, kobaran pun langsung mengerjap. Pertempuran usai sekitar 10 menit. Senapan mesin digeletakkan, dan tetesan keringat bertitik jatuh mengenai bagian logam senapan. Segalanya lalu tampak serupa dengan sebelum tembak-menembak. Hanya bulan di langit yang kian memucat. Semenit berlalu dalam senyap. Tampaknya memang begitu. Di kepalaku pikiran aneh pun berpusar. Apa yang telah kulakukan? Menembakkan senapan mesin kepada dukhi? Aku bertahan atau aku menyerang? Adakah aku ingin menghancurkan mereka, ataukah ingin melindungi diriku sendiri? Seandainya aku bertanya kepada seorang dukhi pun, agaknya tak bakal aku mendapat jawaban yang jelas - andainya dukhi itu masih hidup. Di tengah antara bantaran parit dan cadas halus, seorang Afghanistan terbaring tewas. Lututnya tertarik ke dagu. Matanya terbuka. Ia memandang takjub ke langit. Dahinya yang sempit, kehitaman, masih tertutupi bintik-bintik keringat. Tiap butir keringat di dahi itu diterangi cahaya bulan. Jadilah butir-butir keringat itu macam cahaya fosfor pada batu kubur. Di dada seorang dukhi yang lain tertoreh tato, surat 48, Quran (Baru kemudian aku tahu terjemahannya: "Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kami akan memberi kamu kemenangan nyata ...."). Gerilyawan ketiga tergeletak dengan wajah menelungkup di koral. Tangan kirinya memegang senapan mesin, dan untuk melepaskan senapan itu kami harus meregangkan jarinya. Sebutir peluru menembus kejantanannya. Di saku kanan tersimpan sebungkus plastik kismis dan buah kenari. Malam itu juga, berjalan sepanjang jalan setapak menuju arah berlawanan, aku bak robot, berbaris otomatis sekitar sejam tanpa memikirkan apa pun. Aku seolah tidur sambil berjalan, tidur dalam rahim malam. * * * Seorang lelaki membawa setumpuk lekatnya persahabatan keluar dari Afghanistan. Kesenyapan dinihari di Moskow tiba-tiba dikoyakkan hiruk-pikuk berondongan senapan mesin. Aku terbangun, aku akan pulang dari Afghanistan. Kukucek mataku, dan aku sadar - tenanglah wahai orang tua, itu bukan berondongan senapan mesin. Itu hanya pengendara motor memutar gas. Di sebuah pertokoan, kipas angin seret memutar udara di atas daging, dan kadang memutar kenanganku. Tapi baling-baling itu kurang raungan mesin helikopter. Label-label di toko itu - green spot, arbei, dan yoghurt - bagiku mempunyai arti lain kini. Green spot, itulah areal dedaunan tempat dukhi bersembunyi. Arbei, itulah orang-orang, sedang yoghurt adalah minyak disel. Dari Afghanistan yang selamanya tak akan terenggutkan dariku, adalah kata-kata sederhana macam lebah helikopter), gajah (tank), susu (minyak tanah), atau susu asam (bensin). Suatu malam aku terbangun seolah telunjukku siap menarik picu senapan. Dari rak di sisi tempat tidurku, kutarik sembarang buku yang teraih tangan. Ini Pushkin. Aku mulai membacanya: Kembali kuda-kuda itu terbang, lepas, Genta pun berdenting ding-ding-ding .. . Dukhi pun berkumpul di langit. Di antara dataran yang memutih ... Segera aku tertumbuk kata dukhi, yang maksudnya semangat. Tapi imajinasiku lalu menggantikan kuda dalam sajak Puskin dengan APC, lonceng dengan gemerincing tapak-tapak mereka, dataran memutih dengan kuning pasir. Kututup keras-keras buku itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus