Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah revolusi, menghafal slogan sekolah revolusi, menghafal slogan

Laporan koresponden tempo di new delhi, richard s. erlich, yang sempat meninjau kabul di afghanistan. sekolah di kabul sarat dengan pelajaran yang memuja uni soviet dan mencerca musuh-musuhnya.

16 April 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dinding, Lenin dan Gorbachev tersenyum. Dua potret itu serasa mengawasi 1.100 sisw-a yang belajar di "Sekolah Revolusi", sebuah kampus terbaru di Kabul, ibu kota Afghanistan. Di Afghanistan bau Soviet memang keras, menyengat. Seperti terhadap kaum Mujahidin, pemerintah Kabll dukungan Soviet kini tengah melakukan perang besar-besaran melawan buta huruf. Tapi yang terutama diajarkan dalam kursus buta huruf itu, sikap pro-Soviet dan politik kekiri-kirian. "Uni Soviet negara asing terbaik, sebab kondisi pekerjanya lebih baik," kata Abdul Nazer, 16 tahun, siswa Sekolah Revolusi. Dosen llmu Politik Noorullha Banars menjelaskan, "Kami mengajarkan bahwa Uni Soviet negeri damai, dan saya tak melihat sedikit pun keburukannya." Sewaktu para siswa diminta mengangkat tangan jika mereka tahu keburukan Amerika Serikat, 29 dari 31 siswa dalam sebuah kelas melakukannya. Keburukan yang mereka daftar: pengangguran, kriminalitas, persenjataan nuklir, dan dukungan Washington kepada gerilyawan yang menggempur 115.000 pasukan Soviet dan pemerintah Kabul. "Pelajaran kesukaanku bahasa Rusia," kata Mohammad Homian, yang juga berusia 16 tahun. "Saya ingin melanjutkan sekolah insinyur di Uni Soviet." Para siswa sangat berambisi ingin jadi dokter, ahli hukum, guru, arsitek, wartawan, dan pilot. Kapten Abdul Gafar yang mengajar "ketentaraan' tetap mengenakan seragam militemya di sekolah, lengkap dengan dua medali berbentuk tank tersemat di dada. Menurut Gafar, setiap sekolah di Afghanistan memberikan pelajaran kemiliteran, di samping matematika, sejarah, kepustakaan, bahasa, dan berbagai mata pelajaran lain. Dan pelajaran tak sebatas dinding kelas. Poster politik dan slogan-slogan terpampang di sepanjang jalanan dan dinding bangunan di Kabul dan kota-kota lain. Di tembok luar Sekolah Revolusi, sebuah poster bertuliskan "Mampuslah Para Pemeras". Di situ sebuah sekop, pensil, palu, dan roda penggilas besar sedang menguber-uber Paman Sam, seorang Cina, dan seorang berjanggut - mereka itulah Amerika Serikat, Cina, dan Pakistan. Seorang bocah Afghan bisa memulai sekolah dasamya dari "Sekolah Kedamaian" - serupa play group. Sekolah yang namanya berbau politik, dibangun setelah revolusi pecah, April 1978. Revolusi yang menumpahkan darah, yang menjadikan kaum kiri pegang kuasa. Kini banyak siswa telah menjadi anggota partai berkuasa Partai Demokrasi Rakyat Afghanistan (PDRA), yang membutuhkan dukungan militer Moskow untuk mempertahankan diri. Di sebuah SMA Putri Fatma Balkhi di Maza-iSharif, di utara Afghanistan, Farshta Alemi mengaku telah 6 tahun menjadi anggota partai. Padahal, ia baru 18 tahun. Cewek ini sangat yakin bahwa masyarakat Amerika kacau balau, banyak tindak kriminal terjadi, sementara di Soviet aman dan tenteram. Bagi kaum buta huruf yang ingin membaca, pelajaran pertama yang diberikan pemerintah adalah menjadikan mereka mengenal kalimat: "Pemerintahan kita bergantung pada seluruh pekerja." Sebuah gambar orang yang diberi nama Yasin berdiri di tengah sepasang tank bertuliskan: "Yasin bahagia, selama hari-hari revolusi." Dekan Pendidikan Afghanistan, Sayeed Karim, menyatakan sudah 2 juta rakyat masuk sekolah pemberantasan buta huruf, sejak revolusi 1978. "Sebelum revolusi, 95% pendudukmasih buta huruf. Kini berkurang, tinggal 75%," kata arim. Di sekolah macam itu, mereka juga menyediakan buku khusus buat wanita. Misalnya tentang bagaimana mengasuh anak, soal ASI, dan bagaimana seharusnya seorang gadis menikah. "Bukan menikah pada usia 11 atau 12 tahun seperti sebelum masa revolusi, tapi 16 tahun atau lebih seperti sekarang ini." Pemerintah juga mengajarkan keterampilan tukang kayu, logam dan kulit, pembuatan karpet, merajut, dan mengetik. Lalu tambahnya, "Kami tidak mengajarkan konsep politik secara langsung, tapi dengan tidak langsung kami ajarkan cita-cita revolusi." Dan cita-cita revolusi itu antara lain pengembangan ekonomi pedesaan, irigasi, industri, dan pendidikan. Tapi penyebaran sekolah berjalan lambat. Gerilyawan, menurut Karim, telah meng,, hancurkan 1.800 sekolah. Sekolah memang sering menjadi incaran kaum Mujahidin yang menuding tempat itu hanya dipakai buat mengn ajarkan propaganda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus