BOCAH laki-laki kecil itu duduk tenang di punggung kerbau. Perawan kecil bertudung anyaman pandan berjalan membuntuti. Hamparan ladang dengan gerumbul semak di sana-sini. Senja mulai turun. Beberapa ekor kerbau perlahan menyusuri daerah rerumputan subur. Kadang melenguh sambil memamah biak. Meski tak ada burung melintas, alam tetap menyajikan kisah. Dan dua bocah kecil itu bergurau di antara apiknya jagat. Itulah negeri Saijah dan Adinda, di perbatasan Serang dan Lebak, suatu hari di pekan lalu November 1987 -- 127 tahun setelah novel yang antara lain menceritakan Saijah dan Adinda terbit. Saijah dan Adinda zaman sekarang tak lagi bertelanjang dada. Meski kerbaunya masih seperti dulu juga, ketika Douwes Dekker menjadi asisten residen di daerah ini. Memang zaman sudah berubah. Lihat saja jalan raya ke Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, tempat Dekker bertugas, mulus sudah tidak seperti yang digambarkan Multatuli. Waktu itu, "saban sebentar kereta masuk ke dalam lumpur." Waktu itu, tulis Multatuli, setiap kali terpaksa penduduk desa dikerahkan untuk mengangkat kereta kuda yang rodanya terperosok ke kubangan. Dulu, Rangkasbitung adalah ibu kota Kabupaten Lebak di selatan Serang, di kawasan Banten Selatan. Didirikan oleh Bupati Kartanatanagara pada 1849, meliputi wilayah kekuasaan empat kademangan: Lebak Parahiyang, Sajira, Parungkujang, dan Madhoor. Menurut Multatuli, waktu itu jumlah penduduknya hanya 70.000 jiwa. Sekarang, Kabupaten Lebak terbagi dalam 15 kecamatan, dengan luas hampir 3.300 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk hampir 800.000 jiwa. Padahal, ketika daerah ini masih dipimpin Bupati Pangeran Senjaya (1816-1830), Rangkasbitung hanyalah sebuah desa kecil yang tidak begitu terkenal. Pangeran Senjaya digeser oleh Belanda lantaran tidak mampu menghalau pemberontakan Balaraja di bawah pimpinan Nyi Gamparan. Muncullah tokoh Kartanatanagara atau Raden Tumenggung Adipati Kartanagara alias Regen Sepuh, yang sanggup menangkap Nyi Gamparan. Sebagai imbalan, ia diangkat jadi bupati Lebak, 1830- 1865. Dialah yang memindahkan ibu kota dari Lebak Parahiyang, yang dilingkungi perbukitan, ke Warung Gunung, yang terlalu ke utara dan belakangan ke daratan luas di delta tiga sungai, Ciujung, Ciberang, dan Cisimeut. Ya, Rangkasbitung itu. Ketika Multatuli pertama kali datang ke Rangkasbitung 22 Januari 1856, ia menyaksikan alun-alun beserta gedung kabupaten dengan rumah-rumah kerabat bupati di sekelilingnya, mirip kompleks keraton. Sebagaimana arsitektur kediaman pejabat-pejabat penting di Jawa zaman dulu, kayu merupakan unsur penting. Kantor karesidenan Multatuli sendiri meniru arsitektur Belanda dengan pilar tinggi. Kompleks kabupaten dan kantor asisten residen waktu itu dihubungkan oleh hamparan tanah luas sepanjang 500 meter lebih, tanpa terhalang bangunan-bangunan lain. Kini alun-alun itu masih ada. Seluas lapangan sepak bola, dan memang berfungsi juga sebagai lapangan sepak bola. Tetapi gedung kabupaten buatan Bupati Kartanatanagara tahun 1843 tak lagi tersisa. Begitu juga dengan kantor Multatuli. Semuanya lenyap, kecuali sebidang tembok selebar kira-kira 6,5 meter dan tinggi 5 meter, di salah satu dinding gedung milik Departemen Kesehatan yang belum ditempati. Warna "dinding Multatuli" itu telah menguning. Tampak batu bata merah berukuran 30 dan lebar 8 sentimeter menyembul lewat pelur geligir atas yang koyak. Cuma itulah sisa rumah dinas Multatuli. Persisnya terletak tepat di belakang Rumah Sakit Umum Lebak. Tak jelas, mengapa dinding ini tak sekalian diruntuhkan, diganti baru. Kini dinding itu seolah mencerminkan anggapan yang hidup tentang Multatuli di Lebak. Yakni, warga Lebak sebenarnya tak begitu mengagung-agungkan, justru cenderung meniadakan nama bekas asisten residen itu. "Ia tidak melakukan apa-apa di sini, selain membuka-buka arsip peninggalan asisten residen sebelumnya. Apa, sih, yang bisa dia lakukan selama dua setengah bulan menjabat?" kata Kodrat Soebagio. Pendapat guru SMAN I dan dosen Universitas Tirtayasa Lebak lulusan IKIP Bandung itu didukung oleh Syamsul Achmad, Kepala Kantor Sospol, Andi Aziz, Kepala Humas Kabupaten, dan sejumlah aparat Pemda. Ternyata, sampai 100 tahun meninggalnya Douwes Dekker, di Lebak penduduk lebih menghormati Bupati Kartanagara daripada Multatuli. Itu pula yang menyebabkan mereka menyulap wilayah situs kantor dan kediamannya jadi rumah sakit. Sementara itu bekas kompleks kabupaten zaman Natanagara tetap dijadikan kompleks kantor kabupaten. Orang Lebak tentunya tidak sembarangan bicara. Mereka punya alasan kuat berkat penelitian Kodrat Soebagio, lelaki kelahiran Banyumas berusia 60 tahun yang telah tinggal di Lebak lebih dari 30 tahun itu. Sarjana IKIP Bandung Jurusan Sejarah ini, yang telah menyusun sebuah buku yang menetapkan waktu resmi berdirinya Kabupaten Lebak, tahu persis bahwa Multatuli sangat tidak populer di kalangan rakyat Lebak. Baginya, yang tertera dalam buku Max Havelaar hanyalah fiktif. Bahwa tokoh Max Havelaar yang identik dengan Multatuli pernah melakukan perjalan ke berbagai wilayah Lebak adalah rekaan sang pengarang. "Mana mungkin," kata Kodrat, "ia melakukan perjalanan pulang-pergi ke daerah Badur di ujung Parungkujang selama tujuh jam, yang jaraknya lebih dari 50 kilometer?" Itu setelah dia mempertimbangkan tradisi perjalanan para pembesar di abad ke-19. Biasanya, kepergian pembesar ke suatu daerah diiringi sejumlah pengawal yang berjalan kaki, sementara dia sendiri duduk di dalam kereta kuda. Dengan cara ini, mustahil Multatuli mampu menempuh perjalanan hanya dalam waktu tujuh jam pulang-pergi. Kodrat pun meragukan pengetahuan Multatuli tentang nama-nama orang Lebak. Tokoh Adinda, gadis desa Badur, bukanlah nama yang lazim dipergunakan di Lebak. Sedangkan nama Saijah adakalanya memang dipergunakan untuk nama seorang lelaki, tetapi mestinya Saija (tanpa "h"). "Jadi, nama Adinda itu fiktif," ujarnya. Kemudian, menurut guru itu, berita tentang aktivitas Multatuli membela rakyat Lebak dari tanam paksa atau dari ulah bupati yang memakai tenaga mereka tanpa membayar adalah isapan jempol belaka. "Bahwa bupati memakai tenaga rakyat untuk membangun jalan atau rumah pembesar, misalnya, adalah tradisi yang berlaku di berbagai wilayah Indonesia zaman silam. Umpama betul dia seorang pembela rakyat, tentulah ia menentang penjajahan. Nyatanya Multatuli tidak bicara soal itu." Itu pendapat Kodrat. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini