RAKYAT Korea Selatan akan menegakkan salah satu tonggak demokrasi pada 16 Desember depan. Untuk pertama kalinya, sejak 16 tahun lalu, rakyat akan berbondong-bondong ke kotak suara, memilih tokoh yang dianggap layak menduduki kursi kepresidenan. Saat ini para kandidat presiden itu, seperti Roh Tae-Woo, Kim Dae-Jung, Kim Young-Sam, dan Kim Jong-Pil, sama-sama menjual gagasan dan melontar janji di podium kampanye. Tokoh oposisi Kim Dae-Jung, calon Partai Kedamaian dan Demokrasi (PDP), berkeliling ke kota-kota strategis, seperti Seoul, Pusan, Inchon, Taegu, dan Kwangju, menjual programnya di depan massa. Langkah yang sama dilakukan juga oleh Kim Young-Sam, kandidat Partai Demokrasi Reunifikasi (RDP), dan Roh Tae-Woo dan empat calon lainnya. Para calon presiden ini, selain berkampanye di depan rapat akbar, juga akan diberi kesempatan mempengaruhi calon pemilih lewat radio. Bahkan, kabarnya, acara debat di antara mereka bakal ditayangkan di layar televisi. Tapi kesempatan yang ditunggu rakyat Korea Selatan selama dua windu itu harus ditebus mereka dengan harga mahal. Baku hantam yang disertai lemparan batu, bom Molotov, dan gas air mata ikut mewarnai kampanye. Mereka seolah tak peduli dengan korban yang berjatuhan. Sementara itu, para mahasiswa, yang sejak semula tak percaya pada jaminan "Putra Makota" Roh Tae-Woo, akan menyelenggarakan pemilu yang tertib, bebas, dan rahasia, seakan tak pernah lelah berdemonstrasi. Mereka yang menyembunyikan identitas di balik sapu tangan penutup wajah tetap menuntut Roh Tae-Woo -- yang mereka anggap ternoda oleh peristiwa Kwangju, 1980, peristiwa "pengganyangan" aksi mahasiswa -- agar mengundurkan diri sebagai calon presiden. Roh Tae-Woo adalah satu-satunya calon yang "direstui" Presiden Chun Doo-Hwan, yang berkuasa sekarang. Sekalipun pemilihan umum ini kabarnya menelan dana US$ 200 juta, toh tekad rakyat Korea Selatan mewujudkan hari pemilihan, yang dikenal sebagai Hari Surat Merah, tetap tak tergoyahkan. Para pemilih, yang berjumlah sekitar 25,6 juta orang, telah menyatakan tekad akan berduyun-duyun ke tempat-tempat pemilihan. Dan ketika mereka bangun keesokan harinya, mereka sudah tahu siapa yang mendiami Rumah Biru istana kepresidenan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini