Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah tumpeng berwarna unik: biru dan putih, melengkapi keceriaan kecil di rumah dinas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Senin 9 Oktober lalu. Hari itu ada acara buka puasa sekaligus perayaan ulang tahun. "Baru kali ini saya tahu ada tumpeng berwarna seperti itu," ujar sang tuan rumah yang hari itu genap berusia 54 tahun.
Mengenakan kemeja batik warna cokelat, Bambang terlihat berseri menerima ucapan selamat ulang tahun dari keluarga dan para tamu. Setelah memotong tumpeng dan berbuka puasa, acara dilanjutkan salat magrib, isya, dan tarawih bersama.
Berlatar belakang akademisi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bambang lebih dikenal sebagai ahli manajemen keuangan ketimbang ahli pendidikan. Semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ia pernah menjadi Menteri Keuangan.
Tak mengherankan, setelah dua tahun menduduki kursi menteri, banyak pihak masih meragukan kecakapan ayah dua anak ini memajukan dunia pendidikan nasional. Di banyak tempat masih sering ditemukan gedung sekolah yang roboh. Bocah-bocah kecil kerap dijumpai tak bisa mencicipi bangku sekolah, dan angka buta huruf masih tinggi.
Tapi bukan itu saja yang mengundang polemik dalam setahun terakhir. Belakangan, ternyata ada kebijakan voucher bantuan pendidikan ke sekolah-sekolah di daerah yang bikin gempar.
Masalah ini mencuat ketika Ketua DPR Agung Laksono membagikan voucher ke empat sekolah dalam safari ramadhan lalu. Nilai totalnya Rp 470 juta. Langkah Agung menuai protes. Selain dianggap bukan tugas Ketua DPR, pembagian voucher itu sarat kepentingan politik dan berbau KKN.
Agung menampik tudingan itu dengan mengatakan, voucher ini didapatkan dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo, bukan dalam kapasitas sebagai Ketua DPR, tetapi selaku Ketua Umum Kosgoro 1957. Sekolah yang diberi voucher pun disebutnya binaan Kosgoro 1957.
Yang mengejutkan, ternyata bukan Agung seorang yang ikut membagikan voucher. Pembagian ini juga bukan yang pertama. Banyak lagi tokoh dan politisi DPR yang ikut menyalurkan voucher bantuan itu.
Bambang sendiri memilih berhati-hati bicara. Setelah beberapa pekan memilih diam, Menteri Pendidikan itu akhirnya menerima Widiarsi Agustina dan Adek Media Roza dari Tempo usai acara berbuka puasa di rumah dinasnya, pertengahan Oktober lalu. Berikutnya dilanjutkan Selasa pagi, pekan lalu di kantornya.
Banyak kalangan mempertanyakan kebijakan Anda memberikan voucher pendidikan melalui sejumlah politisi di DPR. Bisa dijelaskan mengenai hal ini?
Selama ini ada anggapan yang keliru soal voucher itu, dan dipikirnya seperti voucher belanja ke mal. Bukan begitu. Voucher ini semacam pemberitahuan ke sekolah kalau mereka akan mendapat bantuan.
Maksudnya?
Kami memiliki kebijakan penyaluran dana yang disebut block grant atau program hibah langsung. Program ini ada tiga tingkatan. Pertama, dana dekonsentrasi yang diberikan kepada pemerintah provinsi. Kedua, penyaluran dana langsung ke pemerintah kabupaten atau kota berdasarkan pengajuan usulan mereka, dan ketiga adalah pemberian langsung ke sekolah atau perguruan tinggi. Bentuknya sertifikat bantuan. Mekanisme yang ketiga itulah yang dinamakan voucher.
Tujuannya memotong rantai jenjang birokrasi. Kalau memang bantuan untuk pemerintah kabupaten dan kota, ya langsung diberikan, tak perlu lagi lewat provinsi. Apalagi kalau itu bantuan buat sekolah. Kalau lewat provinsi dulu, biasanya dipotong-potong.
Dana itu diperuntukkan untuk apa saja?
Umumnya rehabilitasi gedung sekolah, penambahan kelas baru, peningkatan mutu pendidikan, pembangunan laboratorium bahasa dan lain-lain. Karena jumlahnya sangat banyak dan memerlukan proses evaluasi, kami memberikan semacam pemberitahuan formal ke tiap sekolah yang dituju kalau mereka akan mendapat dana.
Tapi dana belum tentu langsung cair karena mereka harus mengajukan proposal. Proposal yang masuk akan diverifikasi habis-habisan oleh tim verifikasi. Jika hasilnya pantas, dana akan dicairkan Departemen Keuangan, dan dikirim langsung ke rekening sekolah. Sama sekali tak lewat departemen pendidikan. Mekanisme ini memangkas tiga birokrasi sekaligus: Departemen Pendidikan, provinsi, dan kabupaten atau kota.
Kemungkinan adanya "pengutipan" dana setelah cair oleh pihak ketiga?
Ngutip-nya di mana? Dana dikirimkan Departemen Keuangan langsung ke rekening sekolah. Nggak tahu kalau setelah dicairkan, mereka minta ke sekolah. Tapi apa iya tega? Uang yang dicairkan itu kecil sekali. Untuk SD, misalnya, besarnya hanya Rp 20 juta. Itu kan recehan.
Sebenarnya sejak kapan kebijakan voucher pendidikan itu dilaksanakan?
Sejak saya masuk departemen ini program itu sebenarnya sudah ada. Sejauh ini, hal itu merupakan mekanisme kelembagaan yang berjalan dengan baik. Ada panduan yang jelas, termasuk ada review proposal dan verifikasi kepada pihak calon penerima dan disalurkan langsung ke rekening lembaga pendidikan berbadan hukum. Bahkan, oleh World Bank, voucher ini dinilai sebagai sebuah terobosan penyaluran dana yang efektif.
Yang jadi masalah, kenapa anggota DPR ikut menyalurkan?
Mekanisme pemberian voucher secara resmi dilakukan Depdiknas ke sekolah. Hanya sebagian kecil saja penyalurannya melalui DPR. Mereka bermaksud membantu menyalurkan ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah.
Belakangan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan sistem ini akan dihapus?
Saya telah berkonsultasi dengan presiden dan wakil presiden mengenai masalah ini dan diputuskan kami tetap mempertahankan sistem penyaluran langsung. Hanya, kami tak menyalurkannya lagi melalui DPR karena ini sepenuhnya kewenangan eksekutif. Pemerintah kabupaten dan kota nantinya dilibatkan dengan memberikan masukan, sekolah mana saja yang sebaiknya diberi bantuan.
Karena ini masuk anggaran, apa mungkin DPR diam saja?
DPR bisa saja memberikan masukan sekolah mana saja yang perlu dibantu. Tapi kami tak akan titip voucher itu ke DPR. Karena sebenarnya semuanya itu merupakan kehendak DPR, bukan kehendak kami. Jadi, sekali lagi, bukan kebijakan departemen kami menitipkan voucher itu ke DPR.
Artinya Diknas yang menitipkan atau DPR yang minta?
Itu kehendak mereka. Sudahlah, saya tak mau berbenturan dengan mereka.
Bagaimana dengan pembagian voucher itu ke sejumlah gubernur?
Saya memang menitipkan beberapa voucher ke sejumlah gubernur, di antaranya Jambi, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Saya titip ke mereka karena saya tak sempat ke sekolah-sekolah yang rusak. Itu tak jadi masalah karena ini jalur eksekutif.
Bicara soal sekolah rusak, bagaimana hasil program renovasi?
Pada 2005, pemerintah telah merehabilitasi 24.430 ruang kelas. Tahun ini kami merehabilitasi lagi 43 ribu ruang kelas dari 2.919 sekolah. Mulai tahun ini kami mengubah sistem rehabilitasi dengan sharing bersama pemerintah daerah, masing-masing menanggung 50 persen. Diharapkan lebih banyak lagi rehabilitasi pada 2007.
Mengapa alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007 yang disahkan DPR Oktober lalu hanya 10,2 persen?
Sebenarnya kami menginginkan anggaran pendidikan bisa terealisasi 20 persen dari anggaran negara sesuai amanat konstitusi. Tapi ada beberapa faktor yang tidak bisa dihindari sehingga baru terealisasi 10,2 persen.
Ini terkait kondisi keuangan negara kita. Akibat harga minyak naik, subsidi bahan bakar minyak (BBM) pun terpaksa naik. Padahal jika harga minyak tak naik, duitnya bisa dipakai untuk pendidikan. Masalahnya, rakyat siap tidak jika harga minyak dinaikkan lagi? Pada kenyataannya mereka tidak siap.
Selain minyak, kondisi keuangan kita juga terbebani bunga utang yang harus dibayar sebesar Rp 80 triliun. Belum lagi subsidi listrik Rp 10,9 triliun. Bisa saja pemerintah memberikan seluruh dana ke sektor pendidikan, tapi itu artinya ruang bagi pengeluaran lain tidak ada. Konsekuensinya, bukan cuma harga minyak naik, tapi juga tarif dasar listrik. Tapi, DPR kan sudah menolak kenaikan tarif dasar listrik.
Pemerintah terkesan tak serius memenuhi ketentuan 20 persen itu?
Pemerintah serius betul mencoba memenuhi ketentuan Undang-undang itu. Masalahnya, pemerintah dihadapkan pada dua kenyataan, mana yang lebih dulu: urusan pendidikan atau urusan perut? Undang-undang Dasar memang mengamanatkan agar negara mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi konstitusi juga mengamanatkan negara memakmurkan bangsa.
Bukankah sudah ada kesepakatan pemerintah dan DPR kalau anggaran pendidikan dinaikkan bertahap?
Kesepakatan itu dibuat pemerintah dan DPR. Kalau ternyata tidak memenuhi, dua-duanya bisa juga sepakat melanggar.
Kabarnya, salah satu penyebab ketentuan itu tidak dipenuhi pemerintah karena ketidaksiapan Depdiknas?
Itu tidak betul. Kami siap. Daya serap departemen pendidikan terhadap program terbaik di antara semua departemen. Depdiknas dikasih minum berapa saja, kami bisa meminumnya.
Berapa persisnya nilai anggaran pendidikan kalau dipenuhi 20 persen?
Sekitar Rp 98 triliun. Kenyataannya, pemerintah mengalokasikan Rp 53 triliun-Rp 54 triliun, itu gabungan antara anggaran Depdiknas dengan Departemen Agama. Kami sendiri menerima sekitar Rp 43 triliun.
Rencananya digunakan untuk apa saja?
Ada sejumlah program yang direncanakan. Program terbesar adalah penyelenggaraan wajib belajar sembilan tahun senilai Rp 17,76 triliun. Porsi program pendidikan dasar lebih banyak karena murid terbanyak yang harus dibina ada di level sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Lalu juga pemberantasan buta huruf, biaya operasional sekolah (BOS), rehabilitasi gedung sekolah, peningkatan kualifikasi dan kesejahteraan guru.
Prof Dr Bambang Sudibyo MBA
Lahir:
- Temanggung, 8 Oktober 1952
Pendidikan
- 1985 Doktor dalam Administrasi Bisnis dari University of Kentucky, AS
- 1980 Master of Business Administration, University of North Carolina- Greensboro, AS
- 1977 Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Karier
- 2004- sekarangMenteri Pendidikan Nasional
- 2001 Ketua Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal
- 1999-2000 Menteri Keuangan
- 1999 Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan
- 1993-1999 Direktur Program MM Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo