Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suatu Pagi Di Bor Panas

Perintah bongkar sendiri rumah-rumah di bor panas, kemayoran, tak diindahkan penduduk. pihak berwajib yang langsung turun membongkar disambut dengan lemparan batu. (kt)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG fajar 22 Maret yang lalu 4000 jiwa penduduk Bor Panas Kelurahan Harapan Mulia, Kecamatan Kemayoran nyaris terbangun semua. Anak-anak yang sedang lelap tidur juga dibangunkan orang tuanya. Karena sekitar jam 2 pagi itu terdengar kabar bahwa pelaksanaan pembongkaran rumah-rumah di kawasan itu akan berlangsung hari itu juga. Tak sekedar itu desas-desus tentang akan adanya pembakaran menjalar dari mulut ke mulut. Suasana panik mencekam hampir seluruh penduduk. Sementara para Kepala Keluarga berunding dengan tetangga tentang apa yang akan mereka lakukan para ibu sibuk membungkusi pakaian-pakaian atau barang-barang yang mudah diangkut. Dan di sela-sela kesibukan itu tak sedikit pula orang tua mulai mengungsikan barang dan keluarganya ke bawah pohon. Khawatir kalau terbakar tutur Supratman Pegawai Kantor Pos. Tapi dugaan akan adanya pembakaran ternyata tak benar. Tepat jam 5.30 Team Pelaksana Operasi Pembebasan Tanah Jakarta Pusat -- dengan iringan kendaraan sekitar 60 buah -- tiba di tempat tersebut. Kegelisahan penduduk semakin bertambah terutama setelah mendengar perintah-perlutah yang disampaikan melalui mobil unit penerangan yang mengharuskan mereka untuk membongkar rumahnya dengan batas waktu sampai jam 12 siang. Ternyata penduduk mencoba melawan. Melalui pengeras suara yang sudah mereka siapkan sebelumnya, aksi menjawab ajakan Pemerintah DKI itu berlangsung bagai perang mulut. Sementara itu anak-anak dan pemuda kampung juga tak tinggal diam, mereka berdiri mengitari tepi kali Sunter dan Bendungan Dempet yang memisahkan wilayah perumahan itu dengan tempat siaganya petugas-petugas. Mereka memutuskan jembatan yang menghubungkan Jalan Sunter dan sebagian wilayah yang sudah dibebaskan tahun lalu di pojok jalan Jos Sudarso dengan Jalan Cempaka Putih. Keadaan serupa ini tentu saja menyulitkan para petugas yang terdiri dari Skogar Kamtib Jakarta Pusat dan Hansip -- dengan jumlah ratusan orang -- untuk memasuki wilayah itu. Tepat jam 12 siang pasukan yang dipimpin Kapten Albert mulai berusaha memasuki wilayah tersebut. Di bawah hujan lemparan batu mereka berhasil masuk walaupun di antaranya ada yang harus segera digotong PMI karena kena lemparan batu. Untungnya sebelum memasuki wilayah itu Kapten Albert sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan peluru-peluru yang ada dalam persenjataan mereka. Maksudnya tentu saja menghindarkan kemungkinan timbulnya hati panas sebagai akibat lemparan-lemparan itu. Kemudian beberapa orang yang dianggap penghasut perlawanan itu mulai diamankan sementara petugas-petugas yang lain mulai merontokkan beberapa bangunan. Dan penduduk yang mulai sadar akan adanya hasutan mulai pula membongkar sendiri rumahnya. Sebenarnya dari kemarin saya ingin membongkar sendiri rumah saya, tapi karena teman-teman belum membongkar rumahnya saya ya solider kata Prawiro Widagdo pensiunan Departemen Nakertranskop salah seorang penghuni di sana. Dia rupanya tak banyak cingcong sebulan sebelum terjadi peristiwa pembongkaran itu dia sudah mengambil uang pindah yang disediakan Walikota Jakarta Pusat sebanyak Rp 217.500. Bahkan untuk tempat tinggalnya yang baru dia sudah membeli sebidang tanah di Pulo Kecil. Lain halnya dengan Supratman Pegawai Kantor Pos menurut penuturannya dia menempati rumahnya itu sejak tahun 71. Tanahnya saya beli dengan sepengetahuan Rr dan RW malah setiap tahun saya membayar Ireda tuturnya menjelaskan seakan-akan tanah yang ditempatinya sudah syah. Apaagi tambahnya, saya masih ingat anjuran Bung Kamo "manfaatkanlah tanah-tanah yang ada". Nah tentang mengapa dia tak mau segera membongkar rumahnya ketika ditawarkan uang pindah dan tempat penampungan "bukan tidak mau yang disebut penampungan itu masih belum dibebaskan dari penduduk yang mendiaminya, sedang uang pindah yang ditawarkan kurang sesuai kami masih berusaha minta tambahan dari DKI tambahnya pula. Tapi malang baginya kerugian yang lebih besar hari itu terpaksa diterimanya dengan rasa sedih, rumahnya termasuk di antara 20 rumah yang dibongkar massa. Memang bagi penduduk yang mendiami tanah -- bakal perumahan Sekneg seluas 12 Ha itu maksud untuk menetap terus di situ juga tak ada. Di sekitarnya sudah berdiri fabrik-fabrik, di belahan utara perakitan Honda, di barat Hitachi. Cuma seperti biasanya bila akan diadakan pembebasan tanah antara penduduk dan Pemerintah DKI jarang terjadi kesepakatan terutama dalam penggantian ongkos pindah. Prinsipnya penggantian uang bagi pemindahan penduduk-penduduk yang mendiami tanah bukan haknya tak ada kata Syariful Alam Jubir DKI. Dan kalaupun disediakan ongkos pindah itu sekedar kebijaksanaan karena pertimbangan kemanusiaan tambahnya pula. Namun apa yang disebut ongkos pindah tak jarang pula jadi bahan permainan. Seorang penduduk menceritakan, sehari sebelum pembongkaran dia mau mengambil uang pindah itu ternyata uangnya sudah diambil atas nama orang lain. Maka tak heran bila pengambilan uang pindah itu juga berlangsung pada hari-hari pembongkaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus