Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Bangku Dan Denda Tak Bersekolah

Ribuan anak usia sekolah di banggai, sul-teng, belum kebagian tempat sekolah. di desa pering, bali, banyak anak tak mau sekolah, hingga lsd bikin peraturan, mendenda orang tua yang anaknya tak mau sekolah.

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKIPUN seluruh jumlah sekolah yang ada sudah dibuka pagi-sore Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah masih tetap memiliki hampir 8 ribu anak usia SD yang belum kebagian tempat duduk. Keadaan itu sudah menunjukkan tanda bahaya ujar drs Eddy Singgih, Bupati Banggai kepada TEMPO. Daerah yang kini sudah mempunyai 276 SD itu walaupun sudah ditambah dengan 48 SD Inpres memang baru menampung kurang dari 34.000 anak. Sehingga usaha untuk menambah sekolah merupakan pekerjaan yang nampaknya merepotkan bupati. Terbukti misalnya selain mempercepat penyelesaian SD Inpres yang belum rampung -- walaupun belum jadwal DIP Eddy Singgih juga merestui tindakan para camatnya yang menutup pasar subsidi desa yang dirubah menjadi SD darurat. Belum cukup dengan usaha menyulap pasar menjadi sekolah bupati pun masih berteriak minta kesediaan masyarakatnya berswadaya membangun SD-SD semi-permanen. Atau bangunan darurat saja katanya kalau perlu semen dan atapnya jadi beban kabupaten. Tapi tentu, tidak semua daerah seperti Banggai. Desa Pering Kecamatan Blahbatuh di Bali misalnya tidak perlu repot bikin sekolah banyak-banyak. Bukan karena tidak ada calon murid tapi yang sudah sekolah pun pada keluar. Desa yang sejak beberapa tahun terakhir ini cuma memiliki dua SD tahun ini bertambah dengan sebuah SD Inpres. Nah, karena takut tidak akan ada murid setelah SD Inpres itu selesai Lembaga Sosial Desa (LSD) jauh-jauh hari sudah siap-siap dengan membikin peraturan buat seluruh warganya: bahwa siapa saja yang mempunyai anak umur tujuh tahun ke atas dan tidak mau sekolah, maka orang tuanya didenda Rp 500. Peraturan yang juga berlaku bagi anak-anak yang meninggalkan bangku SD sebelum tamat kelas terakhir itu mula-mula disebarkan dalam sebuah rapat desa. Namun bagi masyarakat desa Pering peraturan tidak tertulis yang kemudian menyebar dari mulut ke mulut itu dipatuhi juga. Terbukti ketika SD Inpres itu selesai bersamaan dengan tahun ajaran baru ini gedung yang hanya terdiri dari tiga lokal itu terpaksa menerima murid untuk empat kelas dengan masing-masing kelas berisi 40 orang. Protes Bagaimanakah status hukum peraturan denda itu? Peraturan denda yang sebenarnya tidak terdapat dalam LSD itu juga tidak tertulis dalam peraturan desa mana pun. Dan menurut I Ketut Widnyana Ketua LSD (juga komandan Sektor Kepolisian Blahbatuh) peraturan denda itu maksudnya memang buat gertak saja. Namun bagi masyarakat desa Pering yang sudah terbiasa dengan awig-awig -- peraturan desa yang tidak perlu tertulis -- ketentuan denda yang diumumkan lewat LSD itu dianggap cukup memiliki wewenang. Tidak perduli apakah peraturan itu dibikin secara betul atau bohong-bohongan selama peraturan itu pernah diucapkan dalam sebuah rapat desa masyarakat selalu akan menganggap syah dan menghormatinya. Tentu saja kasus peraturan denda itu bukan yang pertama kali terjadi di desa Pering. Menurut penuturan Juru Tulis desa Dewa Kt Kantor ceritanya mulai ketika desa yang memiliki enam Banjar Dinas itu (Pering, Patolan, Toyan Kanginan, Toyan Tegal dan Peran Sada) tahun 1972 yang lalu baru memliki dua SD. Tahun itu ketik SPP dilaksanakan bukan saja banyak orang tua tidak mau menyekolahkan anaknya bahkan anak-anak yang sudah sekolah pun ramai-ramai minta berhenti. Banyak yang membantu orang tuanya bekerja di sawah atau memelihara itik. Akibatnya seperti terjadi di Pering Sema dan Patolan yang paling parah sekolah nyaris kosong. Ada kelas yang cuma berisi lima orang murid. Untuk mengatasi kemunduran itu Badan Pemhina Desa Pering I (yang meliputi tiga banjar itu) terpaksa membuat awig-awig yang menyebutkan: orang tua yang menyuruh berhenti sekolah atau tidak mau menyekolahkan anaknya didenda Rp 1000. Peraturan kemudian dilaksanakan dan berhasil menindak lima orang tua yang melanggar. Pada mulanya memang menimbulkan heboh tapi karena Badan Pembina Desa merangkul erat lembaga-lembaga adat protes yang datang tidak sampai keterlaluan. Masyarakat akhirnya menerima peraturan itu tanpa mempertanyakan apakah denda itu syah menurut hukum atau tidak. Jadi sebenarnya apa yang dilakukan LSD Pering sekarang ini merupakan iangan dari kejadian hampir empat tahun yang lalu. Karena itu I Ketut Widnyana merasa tidak membikin peraturan baru tapi cuma sekedar mengingatkan warganya terhadap ketentuan yang dianggap masih berlaku. Memang tidak ada dasar hukumnya. Tapi sepanjang maksudnya baik untuk memajukan dunia pendidikan tidak bertentangan dengan hukum ucap drs. Wayan Warna Kepala Dinas Pengajaran Bali yang rupanya mendukung adanya peraturan denda itu. Menurutnya lagi, UU yang mengatur kewajiban belajar di negeri ini belum ada. Karena itu awig-awig yang berlaku di desa mendanai pendidikan bisa dibenarkan ujar Wayan Warna. Diakuinya masyarakat pedalaman harus banyak digertak dan ditakut-takuti agar mereka sadar dan mengerti pentingnya pendidikan. Karena itu denda di Pering juga bukan yang pertama kalinya di Bali tambah Wayan lagi. Disebutkannya contoh daerah Buleleng dan Karangasem. Bahkan katanya di kedua daerah itu selain dicantumkan dalam bentuk tertulis peraturan denda di sana bisa dibayar dengan beras Di Karangasem misalnya pernah seorang anak yang berhenti sekolah kena denda dua kwintal beras. Memang bagi masyarakat Bali barangkali besarnya denda bukan persoalan. Tapi sikap menyalahi kebiasaan adat misalnya melanggar awig-awig itu tadi bisa berakibat dikucilkannya dari masyarakat lebih menakutkannya. Apalagi peraturan denda di desa Pering yang cuma Rp 500 itu jauh lebih murah dibandingkan dengan denda dalam peraturan lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus