Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMILIH puisi—bukan novel, apalagi biografi—untuk menulis seorang tokoh sejarah, Triyanto Triwikromo telah menempuh jalan yang tak mudah. Dalam sastra Indonesia modern, puisi naratif adalah bentuk sastra yang jarang digunakan untuk melukiskan tokoh, apalagi tokoh sejarah yang telanjur dikenal orang banyak. Namun, dalam buku puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Januari 2015), Triyanto berhasil membangun kembali sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin pemberontakan Darul Islam itu.
Pembaca yang mencoba menemukan sosok historis Kartosoewirjo yang utuh harus bersiap kecewa. Lima puluh dua puisi naratif dalam buku ini telah membuat sosok Kartosoewirjo terpecah ke dalam banyak fragmen dan itu pun hanya berpusat pada masa terakhir hidupnya di hadapan regu tembak. Namun di sinilah kemahiran penyair dalam memaksimalkan bentuk senandika (monolog). Dengan tuturan gaya akuan itu, lukisan watak Kartosoewirjo menjadi sangat pribadi dan berdaulat dari campur tangan narator. Kalaupun ia berkompromi dengan tuntutan pembaca, itulah saat ia berkilas balik tentang masa kecilnya serta saat ia berkawan sekaligus berseteru dengan Sukarno dan berguru kepada H O.S. Tjokroaminoto.
Buku puisi ini adalah cara baru dalam membaca seorang tokoh sejarah. Fakta-fakta historis tentang Kartosoewirjo yang selama ini telanjur dikenal sebaiknya hanya menjadi catatan kaki. Kita mesti masuk ke "sejarah kecil", ke gema "suara batin" sang tokoh, yang secara meyakinkan dihadirkan Triyanto. Dengan "suara batin" itu, penyair tak sekadar mengajak pembaca menghayati sejarah, tapi juga menghayatinya dengan cara baru, dengan perspektif orang pertama. Di sini puisi menggenapkan sejarah, jika bukan merongrongnya.
Misalnya puisi "Aku Tak Mendengar Letusan Itu", yang menampilkan "suara batin" Kartosoewirjo setelah ia mati. Pengakuan post-mortem ini tentu saja tak ada dalam sejarah pribadi sang tokoh, tapi penyair membikinnya karena ia sadar hanya puisi atau fiksi yang bisa begini: memungkinkan apa-apa yang mustahil di dunia nyata, dalam sejarah.
Namun pengakuan ini juga digunakan penyair untuk menegaskan paradoks perjuangan "sang rusa hijau" Kartosoewirjo—dengan kata lain, ia bersikap cukup kritis terhadap sang tokoh. Bahwa Kartosoewirjo sangat mencintai Allah dan Nabi Muhammad SAW, itu hal yang tidak bisa dibantah lagi. Tapi proyek Negara Islam Indonesia yang lahir dari kecintaan itu menjelma menjadi jihad yang penuh darah dan teror. Dua bait terakhir:
Aku tak mendengar letusan itu. Aku juga tidak mendengar oditur, dua perwira, dan seorang dokter meratapi kematian kecilku. Aku justru mendengar Nabi memberi nasihat kepada para sahabat. Kata Nabi, "Aku akan pergi dan menjadi saksi bagi kalian. Kutunggu di surga Allah."
Ampunilah, hamba-Mu, ya Allah. Aku memilih mendapatkan Kunci Kasih Sayang-Mu. Kunci Surga-Mu.
Triyanto Triwikromo lahir di Salatiga, 15 September 1964. Setelah lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Semarang (kini Universitas Negeri Semarang), dia melanjutkan studi di Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro, Semarang. Ia kini bekerja sebagai pengajar Universitas Diponegoro dan Redaktur Pelaksana Harian Suara Merdeka.
Pada mulanya Triyanto menulis puisi, yang dimulai sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama dan baru pada 1980-an aktif menulis prosa. Dari tangannya telah lahir buku kumpulan cerita pendek Ular di Mangkuk Nabi, Surga Sungsang, Ragaula, Sayap Anjing, dan Anak-anak Mengasah Pisau. Kumpulan puisinya yang telah terbit adalah Pertempuran Rahasia dan Kematian Kecil Kartosoewirjo.
"Saya menulis tentang Kartosoewirjo karena dia adalah salah satu manusia tragik yang ada di Indonesia. Dia adalah orang yang berjuang untuk orang banyak, tapi dimakan sendiri oleh revolusi. Kisahnya, saya kira, relevan bagi masyarakat Indonesia masa kini," kata Triyanto pada Rabu pekan lalu.
Puisi-puisi naratif Triyanto dalam Kematian Kecil Kartosoewirjo dibangun dalam struktur kalimat yang kokoh. Tampak jelas penyair merupakan pengguna bahasa Indonesia yang cermat dan menguasai peranti puitik yang diperlukan. Sementara itu, sebagai himpunan, buku puisi ini menampilkan bentuknya yang bulat dan, tentu saja, tersunting dengan baik.
Lebih ke dalam lagi, kita akan menemukan permainan citraan dan permajasan yang menyegarkan—sesekali mengejutkan. Artinya, masih tampak upaya penyair untuk berjuang melawan klise, memperbesar kadar kebetahan pembaca dalam membaca puisi Indonesia mutakhir. "Pemburu Kabar", salah satu puisi terbaik dalam kumpulan ini, membuktikannya. Dua bait pertama:
Kabar itu begitu kabur seperti bendera-bendera perang dipandang dari kota-kota yang jauh dari Badar. Kabar itu hanya berupa kias: 12 unta mati, 12 sumur tanpa air, 12 masjid dibakar, 12 malaikat ketakutan, 12 laba-laba buta melindungi 12 kuda tuli.
Aku telah mengutus sepasang mataku melihat kota penuh kabut itu dari dekat dan mereka mengatakan kepadaku, "Tak terlihat apa-apa di jalan-jalan. Rumah-rumah ditinggalkan. Beranda-beranda kehilangan pepohonan. Semua orang jadi pengembara buta."
Triyanto juga memberi kita puisi suasana yang mampu merangsang pengindraan. Dengan jukstaposisi dan paralelisme, puisi-puisinya tak hanya membuat kita memasuki panorama alam benda, tapi juga dunia asing, bahkan lanskap politik Indonesia kontemporer, yang tak jarang mengambil ilham dari aneka tamsil kitab suci. Rangkaian yang kompleks ini sangat bisa jadi akan menggelap-meruwet di tangan penyair yang kurang piawai, tapi Triyanto bisa keluar dari jebakan ini. Di tangannya yang profan dan yang sakral, yang lampau dan yang kini, yang ide dan yang suasana, saling menjalin dan padu. Dua bait pertama puisi "Interogasi":
Pulau. Kapal. Laut. Kaki. Mata. Telinga. Ganggang kuning. Kuburan di atas bukit. Dermaga biru di atas gunung. Neraka pertama. Ding ding ding. Dung dung dung dung. Apa yang menghubungkan semua itu denganmu, Kartosoewirjo?
Tak ada. Mula-mula sebagaimana Ibrahim, aku hanya memandang langit dan bintang-bintang dan kukatakan kepada diri sendiri, "Pada usiaku yang ke-2098 anak-anakku akan menjadi raja di kekhalifahan penuh angin."
Memang masih cukup banyak lukisan surealistik—lebih-lebih dalam puisi "Tukang Tenung". Namun, sekali lagi, lukisan surealistik dalam puisi ini bukan sekadar perkara menampilkan dunia ajaib. Ia menuntun pembaca dengan pelbagai alusi dan alegori—kitab suci salah satunya. Sementara itu, puisi "Aku Tak Mengajarimu Bunuh Diri" menampilkan surealisme yang mau tak mau harus dibaca dari sisi kiri. Ini sejenis puisi perlawanan yang di masa lalu pernah ditulis dengan cara yang dangkal dan menghindari keindahan—sebatas propaganda belaka.
Kematian Kecil Kartosoewirjo menandai pencapaian terbaik Triyanto Triwikromo dalam perpuisian Indonesia dalam setahun terakhir ini. Dalam kompleks kekaryaan Triyanto, buku ini juga menandai kematangannya sebagai juru cerita. Ia kini mampu meredam keinginan menampilkan dunia ajaib yang berlebihan sebagaimana dalam sejumlah cerita pendeknya selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo