Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para sineas muda merindukan festival secara luring yang bisa melihat langsung reaksi penonton.
Mereka juga harus pintar mengatur bujet untuk memproduksi film di tengah pandemi.
Masing-masing punya cara sendiri untuk memenuhi biaya produksi, termasuk dengan crowdfunding.
HANYA dalam waktu semalam, seluruh tiket pemutaran tiga film pendek hasil Short Film Pitching Project (SFPP) Europe on Screen 2020 laris dipesan pada Kamis lalu. Hal ini jelas menjadi kabar gembira bagi para sineas muda yang karyanya diputar secara daring di situs Festivalscope.com itu. Tapi di sisi lain, mereka juga merasa ada hal yang kurang pada sistem festival film daring ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya sangat penasaran melihat reaksi penonton yang menyaksikan film saya,” kata Patrick Warmanda, sutradara film Marta, I’m Home, yang menjadi salah satu pemenang SFPP Europe on Screen, kepada Tempo, Jumat lalu. Ini pertama kalinya Patrick bersama kawan-kawannya dari rumah produksi Selenophile Project menayangkan film mereka di festival daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, beberapa karya Patrick pernah tampil di layar-layar festival film, seperti Bella, Perempuan di Kamar No. 2 yang tayang di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dan Festival Film 100% Manusia, pada 2019. “Kalau di acara festival begitu, senang bisa ketemu banyak orang baru dan bisa melihat langsung reaksi penonton atas film kita,” ujar sutradara berusia 28 tahun itu.
Reaksi penonton atau ulasan dan penilaian orang lain, bagi Patrick, menjadi semacam penghargaan atas karya-karyanya. Nah, karena film terbarunya hanya ditayangkan daring, ia pun tak bisa langsung tahu apakah penonton suka atau tidak atas karyanya.
Sejak penayangan di situs Festivalscope.com, Patrick dan kawan-kawannya di Selenophile Project sebetulnya sudah menerima respons penonton. “Tapi baru dari orang-orang sekitar yang memang kami kenal.” Para penonton kenalan mereka itu, kata Patrick, merasa tersentuh dan terhubung dengan kisah yang ditampilkan di Marta, I’m Home.
Adegan film Kepada Istriku yang tayang di Europe On Screen 2021. Dok. Europe On Screen/Selenophile Project
Hal serupa diungkapkan Steven Vicky Sumbodo, sutradara Tour de Serpong. Film dia juga salah satu pemenang program SFPP Europe on Screen. “Tanggapan dan komentar saat ini baru dari teman-teman sekitar saja,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat sore.
Vicky juga mengaku rindu akan suasana festival film luring. Sebab, acara-acara semacam ini justru menjadi ajang menjalin koneksi dengan sineas lain, menyaksikan film-film baru yang segar, dan melihat langsung penilaian penonton atas karya sendiri. Sebelum pandemi, Vicky juga punya beberapa pengalaman mengikutkan karyanya di sejumlah festival, seperti Festival Film Indonesia 2018, Minikino, dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 2020.
Di luar itu, situasi pandemi juga cukup menyulitkan para sineas saat memproduksi film. Vicky bercerita, demi menjaga protokol kesehatan selama syuting Tour de Serpong beberapa waktu lalu, tim produksi harus menyiapkan bujet tambahan untuk prosedur swab bagi kru dan pemain film. “Akibatnya, biaya produksi jadi lebih besar.”
Lalu, karena mereka harus mengambil gambar di sejumlah lokasi publik di kawasan Serpong, kru dan pemain juga harus kucing-kucingan dengan petugas patroli. “Kami sempat diusir petugas satpam, jadi harus pindah ke tempat sepi.”
Mereka juga harus menyewa jasa pawang hujan secara jarak jauh agar, saat syuting, cuaca tetap cerah. “Pawang hujannya ada di Yogyakarta, sementara kami syuting di Serpong, Tangerang Selatan.” Rupanya cara ini tak efektif karena, saat mengambil adegan, mereka tetap terganggu hujan.
Sutradata flm pendek Tour de Serpong, Steven Vicky Sumbodo saat pengambila gambar film tersebut beberapa waktu lalu. Dok. Kelompok Kongsi Kecil
Meski mereka harus keluar lebih banyak biaya, tim produksi Tour de Serpong, yang merupakan kelompok pertemanan para mahasiswa lulusan Universitas Multimedia Nusantara, cukup beruntung. Mereka mendapatkan modal tambahan dari sponsor dan kampus mereka, selain uang hadiah dari panitia Europe on Screen sebesar Rp 8 juta.
Adapun tim Selenophile Project juga punya cara sendiri dalam mengumpulkan dana produksi untuk film Marta I’m Home. Sebagai pemenang dalam SFPP Europe on Screen, tim ini mendapat hadiah uang sebesar Rp 6 juta. Jumlah ini jelas kurang untuk sebuah produksi film. “Kami mengadakan crowdfunding untuk mendapatkan dana,” kata Robert Darmawan, produser film ini, dalam sesi tanya-jawab para sineas yang digelar Europe on Screen, Kamis lalu.
Patrick menambahkan, saat mereka berniat mengikutkan naskah Marta I’m Home ke SFPP Europe on Screen, anggota Selenophile Project memang sudah membahas soal biaya. “Karena kami tahu bahwa kami pasti harus menyiapkan dana lebih untuk produksi.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo