Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mengilhami Solusi Kemanusiaan

Dari Jakarta, Ali Sadikin memelopori beberapa kebijakan nasional. Ia peduli terhadap ledakan populasi dan pendidikan anak.

26 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELAR yang tertera dalam situs resmi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Rabu pekan lalu, itu cukup mengejutkan. Ali Sadikin, gubernur paling populer dalam sejarah Jakarta, yang baru saja wafat, ditahbiskan sebagai Pendekar Keluarga Berencana.

Memang, tak banyak orang tahu, Bang Ali merupakan pelopor gerakan keluarga berencana di Tanah Air. Selama menjadi Gubernur Jakarta, 1966–1977, ia tak hanya memikirkan pembenahan infrastruktur kota, tapi juga keadaan penduduk yang tinggal di dalamnya.

Sejak awal memimpin Ibu Kota, ia sudah memperkirakan akan terjadi ledakan populasi. Daya pikat Jakarta sebagai metropolitan membuat orang datang berbondong-bondong, tak peduli sekalipun harus hidup berimpitan di perkampungan kumuh.

Menurut sensus Badan Pusat Statistik 1971, penduduk Jakarta periode 1961-1971 tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun, terutama akibat urbanisasi. Sementara pada 1961 jumlah penduduk baru 2,9 juta, sepuluh tahun kemudian meledak menjadi 4,6 juta.

Pada tahun pertama pemerintahan Bang Ali, penduduk Jakarta sudah 3,6 juta jiwa. ”Pertumbuhannya sangat tinggi,” kata mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional 1983-1993 Haryono Suyono. Laju pertumbuhan di tingkat nasional cuma dua persen.

Kondisi itu membuat Ali prihatin, terutama lantaran kota yang dibangun penjajah Belanda tersebut awalnya dirancang hanya untuk menampung 600 ribu penduduk. Tak mau dipusingkan oleh jumlah penduduk yang kian padat, tepat setahun setelah dilantik Presiden Soekarno menjadi gubernur, ia mencanangkan dimulainya proyek keluarga berencana.

Ketika program ini mulai dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi, seperti kondom dan intra-uterine device atau alat kontrasepsi dalam rahim (spiral), Ali Sadikin tak segan ikut berkampanye. Ia, antara lain, memperagakan cara penggunaan kondom di depan warga.

Program keluarga berencana sesungguhnya merupakan ide beberapa dokter ahli kandungan yang kemudian membentuk Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Namun, gagasan itu kandas ketika dibawa ke Presiden Soekarno, karena Presiden waktu itu menginginkan jumlah penduduk yang besar.

Kendati Soekarno tak setuju, ide tetap dijalankan. Jakarta dijadikan proyek percontohan. Penjabat Presiden Soeharto juga tidak mempermasalahkan sepak terjang Ali Sadikin menekan laju pertumbuhan penduduk di Ibu Kota.

Proyek percontohan di Jakarta menjadi embrio lahirnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional pada 1970. Waktu itu Soeharto sudah menjabat presiden. Keluarga berencana diadopsi menjadi program nasional. Jadi, menurut Haryono, Ali Sadikin bisa disebut pelopor. Dia pejabat resmi pertama yang melaksanakan keluarga berencana di daerahnya, tiga tahun sebelum proyek itu menjadi program nasional.

Bang Ali juga amat memperhatikan soal pendidikan. Ia tak tahan melihat banyak anak berkeliaran di jalan karena sekolah tak mampu menampung mereka. ”Tolol saya kalau membiarkan anak-anak yang masih patut sekolah keluyuran,” ujarnya, seperti dikutip penulis Ramadhan K.H.

Untuk membangun sekolah, ia menggunakan dana hasil judi Lotto Jaya yang dinilai kontroversial. Tak hanya membangun gedung sekolah dasar yang memang menjadi kewajiban pemerintah daerah, ia juga mendirikan gedung sekolah menengah pertama dan atas. Padahal dua jenis sekolah terakhir merupakan kewajiban pemerintah pusat.

Jauh sebelum anggaran pendidikan ditetapkan 20 persen, ia sudah menggenjot anggaran pendidikan di Jakarta 31 persen. Hasilnya, sementara pada 1966 jumlah gedung sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai lanjutan atas masih 1.100, saat ia berhenti menjadi gubernur sudah dibangun lebih dari 2.000 gedung. Perinciannya, 1.140 gedung baru dan 860 gedung hasil rehabilitasi.

Ide pendirian sekolah secara besar-besaran itu, menurut Haryono, mempengaruhi kebijakan Soeharto menerbitkan program SD Inpres—instruksi presiden untuk membangun gedung sekolah dasar atas biaya negara. ”Banyak hal yang dilakukan Ali Sadikin memberikan ilham bagi penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan,” kata Haryono.

Grace S. Gandhi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus