Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sulitnya Memburu Harta Koruptor

Beberapa negara mengalami kesulitan memburu harta hasil jarahan para diktator. Kendala utama adalah faktor legalitas.

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika benar, kabar mantan presiden Soeharto akan menyerahkan harta senilai US$ 25 miliar patut disyukuri. Bukan persoalan mudah memburu harta mantan penguasa Orde Baru itu. Semasa Presiden B.J. Habibie hingga kini, Kejaksaan Agung belum juga menemukan di mana harta yang diduga hasil jarahan itu disimpan, apalagi mengambilnya.

Kesulitan itu juga dialami oleh negara lain. Filipina, misalnya, selama 16 tahun memburu harta hasil korupsi Ferdinand Marcos bisa dibilang gagal. Padahal, komisi kepresidenan khusus, Presidential Commission on Good Governance (PCGG), sudah dibentuk.

Komisi beranggotakan 5 orang dan didukung 100 pengacara itu memperkirakan sedikitnya ada US$ 10 miliar uang negara yang nyangkut di kantong keluarga Marcos. Harta itu tersebar di berbagi negara dalam bentuk deposito, saham, dan properti. Meski berhasil mengidentifikasi di mana saja harta itu disimpan, PCGG belum mampu menariknya.

Rekening atas nama Irene—putri Marcos—senilai US$ 13,2 miliar di sebuah bank Swiss dan emas ratusan ton milik keluarga Marcos yang disimpan di sebuah gudang di Zurich telah mereka ketahui. Namun, upaya merebut kembali gagal karena minimnya bukti.

Komisi yang dibentuk semasa Presiden Corazon Aquino itu juga sering terpental di pengadilan. Dari 21 gugatan yang diajukan PCGG—sampai tahun 1998—kepada perusahaan yang terkait dengan Marcos, belum satu pun yang dimenangi pemerintah. Beberapa kasus di antaranya bahkan sudah gugur demi hukum karena batas waktu penyidikan telah lewat.

Belakangan, ketua komisi PCGG justru dipecat oleh Presiden Eric Estrada karena dianggap tidak berhasil menjalankan misi. Beberapa senator juga mengancam akan membubarkan komisi karena dianggap memboroskan uang negara saja. Tidak kurang dari US$ 10 juta telah dikeluarkan pemerintah Filipina untuk membayar para pengacara.

Penggunaan detektif swasta juga pernah dicoba. Pemerintah Filipina pernah menyewa jasa penyelidik swasta bernama Kroll Associates. Penyedia jasa intelijen dan investigasi yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, itu pun tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. "Kami hanya melakukan penyelidikan di New York, dan kami pikir sukses," kata Kroll kepada TEMPO, Juli tahun lalu.

Bantuan negara lain bukanlah tidak ada. Swiss, misalnya, secara terbuka pernah mengumumkan bahwa harta Marcos yang disimpan di negeri itu berjumlah US$ 365 juta. Namun, pemerintah tersebut mau menyerahkan harta itu kepada rakyat Filipina jika sudah dilakukan proses pengadilan yang bersih untuk memastikan bahwa uang itu hasil korupsi.

Rupanya, faktor itulah yang sulit dilakukan pemerintah Filipina hingga kini. Kelihaian Marcos dan keluarganya menyimpan uang hasil korupsi belum dapat dikalahkan oleh hukum. Melihat upaya yang dilakukan sering kandas, Presiden Estrada akhirnya angkat tangan. Ia sepakat dengan Imelda Marcos. Jika 75 persen harta milik keluarga Marcos dikembalikan ke negara, proses hukum terhadap mereka akan dihapus.

Imelda sendiri pada 1993 sempat divonis 12 tahun penjara karena dianggap membantu usaha korupsi suaminya. Namun, ketika banding, keputusan itu justru dibatalkan Mahkamah Agung Filipina.

Kisah pemburuan harta hasil korupsi juga pernah dialami Kongo—dulu bernama Zaire. Mobutu Sese Seko, mantan presiden negeri itu, ditengarai menilap uang negara US$ 4 miliar. Mei 1997, ketika Laurent Desire Kabila menggantikannya, secara resmi pemerintah Kongo minta kepada Swiss agar kekayaan Mobutu yang disimpan di negeri itu dibekukan.

Permintaan tersebut dikabulkan. Namun, ketika Kabila mendesak agar dana itu segera ditransfer, pihak perbankan Swiss menolak. Alasannya, belum ada keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa harta itu diperoleh dari hasil korupsi. Sebelum proses pengadilan selesai, Mobutu keburu tewas di pengasingan September 1997. Tidak jelas bagaimana nasib harta jarahan itu.

Pemburuan harta hasil korupsi juga dilakukan pemerintah Haiti. Jean-Claude Duvalier atau Baby Doc, presiden Haiti yang terguling 7 Februari 1986, ketika lari ke Prancis juga membawa uang jarahan miliaran dolar. Pemerintah Haiti kemudian menyewa jasa Kroll Associates untuk mengusut "harta terpendam" itu.

Pemerintah Pakistan juga minta bantuan Swiss untuk membekukan harta Benazir Bhutto yang diduga hasil korupsi. Nilainya US$ 50-80 juta. Permintaan tersebut dikabulkan. Aset enam perusahaan atas nama Benazir dan suaminya yang ada di Swiss dibekukan.

Namun, yang perlu ditiru oleh Soeharto adalah tindakan mantan presiden Korea Selatan, Chun Doo Hwan. Di hadapan Majelis Nasional Korea Selatan, Februari 1988, ia mengaku mengkorup US$ 23 juta. Ia bersedia mengembalikan. Hukum tetap berlaku untuknya. Presiden Kim Dae Jung akhirnya memberi amnesti kepadanya. Dan vonis mati pun tidak jadi dijalani Chun.

Johan Budi S.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus