Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thom Beanal hanya salah satu nama dari sejumlah tokoh Papua yang meruyak dari belahan paling timur Indonesia: Irianjaya, kini lebih populer dengan nama Papua. Ia juga menjadi salah satu tokoh sentral dalam Kongres Rakyat Papua yang telah melahirkan resolusi merdeka, lepas dari Republik Indonesia.
Nama Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) ini sebetulnya sudah lama beredar, jauh sebelum hasil kongres di atas diributkan orang. Namun, alumni Sekolah Tinggi Filsafat Teologi, Jayapura, ini mula-mula dikenal sebagai pejuang lingkungan. Selama bertahun-tahun ia menjadi penentang konsisten PT Freeport Indonesia. Bahkan, ayah lima anak ini boleh dikata tumbuh dewasa dalam kemarahan, melihat betapa entengnya perusahaan pertambangan Amerika itu menyedot emas dan tembaga dari gunung-gunung di pedalaman Papua.
Alhasil, pada 1978, bersama sejumlah anak muda Papua, ia meledakkan pipa PT Freeportsebuah tindakan yang membuat Thom diseret polisi dan dituding sebagai anggota GPK. "Freeport merusak lahan makanan dan masa depan orang Timika," ujarnya dalam suara meledak-ledak. Hampir dua dasawarsa kemudian, mantan anggota Presidium Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ini kembali menjadi "batu kerikil" bagi Freeport. Kali ini caranya lebih elegan: lewat jalur hukum.
Melalui Pengadilan New Orleans, Louisiana, ia menggugat Freeport-McMoRan Inc.induk PT Freeport Indonesiaagar membayar ganti rugi US$ 6 miliar (Rp 4,8 triliun pada kurs Rp 8.000). Alasannya? Perusahaan itu ditudingnya telah merusak lingkungan dan kebudayaan suku Amungme, komunitas asalnya. Perseteruannya dengan Freeport seakan mencapai antiklimaks tatkala ia menjadi komisaris perusahaan itu, tahun silam.
Tapi Thom menolak bahwa dirinya "terbeli" oleh jabatan itu. "Anda kira hebatkah menjadi komisaris Freeport? Itu bukan jabatan strategis," ujarnya kepada TEMPO. Apa pun alasannya, langkah ini telah membuatnya dicap oportunis. Lebih dari itu, ia dituding menyalurkan satu persen dana Freeportyang dianggarkan untuk orang Timika, pemilik tanah ulayat dari lokasi pertambanganke dalam kantong perjuangan Papua Merdeka. "Bagaimana caranya? Kan setiap sen dana itu diketahui pemerintah Indonesia?" ia balik bertanya kepada TEMPO.
Thom Beanal lahir pada 11 Juli 1947 di sebuah lembah di daerah Tsinga dan Waa dekat Tembagapura. Nama aslinya adalah Jongam Agaiyak, yang berarti asap abadi. Di balik semua kegiatannya, si Asap Abadi ini rupanya menyimpan sebuah agenda yang jauh lebih serius: kemerdekaan Papua.
Ditemui wartawan TEMPO, Wenseslaus Manggut, pekan lalu, Thom tampak bersemangat mengoar-ngoarkan angan-angan merdeka ini. Penampilannya mentereng, jauh dari stereotip pejuang kemerdekaan yang sederhana: hem garis-garis hitam, celana hitam, sepatu mengilap, jam tangan Rolex. "Perjuangan kami masih panjang. Tapi kami pasti merdeka," ujarnya dengan gagah. Berikut petikannya:
Ide Papua Merdeka itu apakah realistis?
Sangat. Kami punya kekayaan alam yang bisa diolah dengan baik. Kami punya semangat yang sama untuk hidup sebagai sebuah negara yang berdaulat. Jadi, kemerdekaan adalah hak kami yang harus diakui pemerintah Republik Indonesia (RI).
Kenapa pemerintah RI harus mengakui kemerdekaan sebuah provinsi yang sudah menjadi bagian yang sah dari republik ini sejak 1963?
Karena alasan kemanusiaan dan kebenaran sejarah. Baik pemerintah maupun kebanyakan masyarakat Indonesia menentang perjuangan ini karena mereka tidak memahami sejarah Papua. Pada 1961, kami sudah menyatakan kemerdekaan.Juga menyiapkan pemerintahan yang lengkap dan siap membentuk sebuah negara. Kemudian, tentara Indonesia menyerbu Papua (ketika itu masih di bawah otoritas Belanda). Karena kalah, Belanda lantas menyerahkan tanah kami kepada pemerintah Indonesia. Sejak itu kami berada di bawah penjajahan Indonesia.
Kok, Anda berani bilang begitu?
Kami bersedia membuka dokumen apa pun yang menyangkut kronologi kebenaran sejarah ini.
Bicara dokumen sejarah, bukankah masuknya Papua ke Indonesia diputuskan lewat Perjanjian New York (1962) dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) serta Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1969?
Pepera itu jelas manipulasi dan rekayasa Indonesia. Kami bersedia membuka dokumen-dokumen penting tentang rekayasa seputar Pepera. Pembukaan UUD Indonesia menentang kolonialisme. Tapi, nyatanya, kami sudah dijajah selama bertahun-tahun.
Kalau sudah bertahun-tahun, kok baru sekarang orang Papua meributkan catatan sejarah?
Anda harus ingat, Sukarno dan Soeharto bukan sekadar menjajah, tetapi membunuh orang Papua dengan kekuatan senjatanya. Kalau Anda berada di sana saat itu, Anda akan tahu bahwa pekerjaan utama tentara Indonesia di Papua adalah membunuh. Dalam keadaan seperti itu, siapa yang berani menyuarakan hak asasi dan kebenaran? Pagi, siang, malam, mereka membunuh.
Masa? Mana ada tentara yang pekerjaannya hanya membunuh dari pagi sampai malam?
Memang begitu. Masyarakat lari ke gunung-gunung. Dan orang kami hampir habis. Sejumlah lembaga swadaya asing menghitung korban pembunuhan tentara ini sekitar 600 ribu orang. Coba Anda bayangkan manusia sebanyak itu dibunuh. Jadi, Indonesia sebaiknya segera angkat kaki, dan biarkan kami mengatur hidup sendiri.
Bagaimana jika pemerintah Indonesia tidak mengizinkan niat tersebut dan terpaksa membuka konflik bersenjata?
Kami tidak akan melawan. Kami berjuang dengan kasih dan penuh kedamaian. Tetapi, apakah pemerintah Anda tidak malumengingat pengalaman di Tim-Tim? Jika tidak, silakan ulangi kasus Tim-Tim di tanah Papua. Silakan bantah keputusan kongres yang dihadiri wakil dari 250 suku dari seluruh pulau.
Kenapa menyamakan Timor Loro Sa'e dengan Papua? Lepasnya mereka dari Indonesia bukan ditentukan oleh hasil kongres, melainkan referendum (one man, one vote) .
Di Papua, faktor kesukuan masih sangat kuat. Jumlahnya sekitar 250 suku dan semua suku hadir dalam kongres itu.
Toh, hasil kongres itu tetap saja boleh diragukan lantaran dianggap tidak mengakomodasi keinginan penduduk Papua yang mau tetap menjadi warga Indonesia?
Tidak mengakomodasi bagaimana? Semuanya hadir di sana: orang dari pulau, dari darat, gunung, lembah, orang kota, orang desa, orang Kristen, Katolik, Islam. Semuanya sudah terwakili.
Tapi Anda mengabaikan orang-orang Papua perantauan?
Tidak benar itu. Lihat saja orang-orang yang sedang bernyanyi itu (telunjuk Thom mengarah ke sekelompok orang tua yang sedang menyanyikan I Surrender All). Mereka adalah mantan pejuang kemerdekaan di perantauan. Dan mereka datang dari Papua Nugini, Belanda, serta beberapa negara Eropa dan Asia, untuk menghadiri kongres dan memperjuangkan Papua yang merdeka.
Para pemimpin di Jakarta menolak dan mengecam hasil kongres ini. Apa komentar Anda?
Saya tidak bisa mengerti mengapa orang seperti Akbar Tandjung dan Amien Rais serta sejumlah fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menolak Papua merdeka, sembari terus berkoar-koar tentang demokrasi. Kalau mereka paham bahwa demokrasi adalah kehendak umum dan berujung pada suara rakyat, seharusnya mereka mendukung atau paling tidak menghargai keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Bahkan, Gus Dur pun menolak hasil kongres.
Bukankah absurd mengharapkan para pemimpin negara merestui setiap orang yang ingin membubarkan diri dari Indonesia?
Tapi kongres ini kan dilaksanakan atas restu Gus Dur juga. Bahkan, beliau menyumbang sebesar Rp 1 miliar. Saat kami bertemu di Jakarta, beliau berpesan: "Silakan bicara apa saja, semuanya bebas." Tapi mengapa beliau marah waktu rakyat bicara merdeka?
Seperti apa gambaran Papua merdeka dalam benak Anda?
Sederhana saja: mengatur hidup sendiri, dan menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis.
Bagaimana Anda mengklaim kemerdekaan dalam kepala rakyat Papua sama dengan apa yang Anda pikirkan?
Saat Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia (pada 1945), masih banyak juga rakyat Indonesia yang tidak paham apa arti merdeka. Jadi, masalah paham atau tidak jangan dijadikan inti persoalan. Memang, Papua terdiri dari ratusan suku. Betul, itu tantangan. Tapi dalam kongres kemarin, tantangan tersebut sudah bisa kami lewati. Langkah berikut adalah merdeka dan mencapai hidup lebih tenteramtanpa campur tangan orang lain.
Mestinya masyarakat Papua juga bisa hidup tanpa banyak campur tangan luar melalui mekanisme otonomi khusus, misalnya?
Kami sudah mendengar kata otonomi dengan segala tetek-bengeknya sejak 1962. Saat itu, Sukarno menjanjikan sistem pemerintahan yang otonom bagi rakyat Papua. Tapi janji itu tidak pernah direalisasikan hingga dia jatuh. Ketika Soeharto naik, ia melakukan represi besar-besaran di Papua. Kami berpikir, inikah otonomi yang dimaksudkan Sukarno dulu? Kata otonomi ini kami dengar lagi di era Habibie dan Gus Dur. Empat presiden sudah mengucapkan istilah otonomi, tapi tetap tidak pernah jelas apa artinya. Jadi, rupanya orang Indonesia sering menciptakan banyak kata baru tapi mereka sendiri tidak paham artinya.
Jika pemerintah memberikan otonomi, Anda sekalian akan menerimanya?
Sebaik apa pun otonomi, akan kami tolak. Silakan Anda berikan otonomi itu kepada orang yang belum pernah merdeka. Kami sendiri tidak memerlukannya karena sudah merdeka pada 1961. Kemerdekaan itu saja yang akan kami rebut.
Upaya merebutnya itu apa?
Kongres Papua Merdeka yang sukses kami selenggarakan kemarin adalah fondasi bagi kami untuk terus melangkah. Kami juga akan memperkuat semua lobi internasional.
Siapa yang akan Anda lobi? Amerika dan sejumlah negara lain sudah tegas-tegas menolak niat Papua untuk merdeka.
Tidak ada kebijakan yang bisa diambil serta-merta. Saya sangat yakin, keputusan Amerika itu bisa berubah kapan saja. Sebelum jajak pendapat di Tim-Tim (pada 1998), Amerika dan sejumlah negara lain masih mengakui kedaulatan Indonesia di sana. Tapi sikap mereka berubah setelah hasil jajak pendapat diumumkan.
Apa sumbangan Anda pribadi dalam perjuangan merebut kemerdekaan ?
Memang tidak banyak. Waktu, tenaga, uangsuatu hal yang juga akan dilakukan setiap orang Papua.
Tentang soal uang, benarkah Anda menjadi Komisaris PT Freeport Indonesia agar mendapatkan dana bagi Gerakan Papua Merdeka?
Siapa bilang? Perlu Anda ketahui, dana satu persen yang dikeluarkan Freeport (untuk masyarakat Timika) itu lewat pemerintah. Setiap sen dana keluar harus sepengetahuan pemerintah Indonesia. Jadi, lewat mana saya mencuri atau menggunakan dana ini untuk kepentingan pribadi? Orang berpikir, dengan menjadi komisaris Freeport, uang di saku saya sudah menumpuk dan saya sudah kaya.
Jadi, Anda tidak kaya karena Freeport?
Silakan, Anda bisa cek sendiri. Tapi ini memang cara berpikir lama orang Indonesia bahwa setiap orang yang punya jabatan pasti kaya.
Lalu, ke mana dana satu persen (yang diberikan Freeport kepada masyarakat Timika) itu?
Tanya, dong, sama pemerintah Indonesia. Kenapa Anda tanya saya? Saya juga baru masuk perusahaan itu pada 1999. Itu pun karena merekaFreeport dan pemerintah Indonesiamemaksa. Jadi, hal ini bukan atas keinginan saya sendiri.
Lo, Anda kan bisa menolak jika memang tidak berminat?
Itu cara saya membela rakyat Papua dari dalam (Freeport). You pikir hebatkah menjadi komisaris di Freeport? Dan perlu Anda ingat, saya masuk ke sana di saat gunung kami sudah habis dibabat oleh Freeport.
Dulu Anda begitu gigih menentang perusahaan ini. Bahkan, Anda pernah menuduh Freeport mendanai militer Indonesia untuk membantai orang Papua. Banyak orang menduga, sikap keras ini akan melumer.
Jangan pernah berpikir bahwa karena sudah di dalam, saya tidak akan lagi bersikap keras. Saya masuk karena terpaksa dan karena saya melihat tidak ada lagi jalan lain untuk membela rakyat.
Bisa ceritakan pasang surut hubungan Anda dengan PT Freeport Indonesia?
Saya sudah mempersoalkan kehadiran mereka di Timika, Papua, sejak 1970-an. Tapi, saat itu Freeport berlindung di balik pemerintah Indonesia dan ikut memperlakukan penduduk Papua seperti binatang. Dua pihak itu seolah bersatu membantai orang kami. Melawan kekuatan bersenjata, kami tidak dapat melakukan apa-apa.
Anda kan pernah juga berhasil meledakkan pipa Freeport, dan ditangkap aparat keamanan. Kapan kejadian itu berlangsung?
Pada 1978, saya lupa kapan persisnya. Orang-orang Timikasaya salah satu dari merekamemprotes keras berdirinya PT Freeport yang merusak lahan dan masa depan mereka. Saat itu, keadaannya seperti darurat perang.
Darurat perang?
Maksud saya, tentara boleh dan berhak memanggil siapa saja yang mereka mau. Nah, saya mereka panggil dengan tuduhan sebagai dalang GPK. Tuduhan ini membuat saya disel selama beberapa minggu.
Apa saja perlakuan yang Anda terima ketika itu?
Kasar sekali. Beberapa orang ditangkap, dipukul, dan dianiaya. Saya beruntung tidak dihajar tentara-tentara itu, tapi sakit betul melihat orang-orang Papua yang mereka perlakukan begitu buruk. Pokoknya, amat menyedihkan. Kami tak lagi dipandang sebagai manusia. Lawan kami saat itu berlapis-lapis.
Berlapis-lapis seperti apa?
Yang menentang kami bukan hanya Freeport, tapi juga pemerintah Indonesia, yang sangat berpihak pada mereka. Tapi saya tidak akan tinggal diam. Saya berpikir, kalah dalam soal senjata kan tidak membuat saya tak dapat menggunakan jalur hukum untuk mencari keadilan.
Lalu Anda menuntut mereka ke pengadilan New Orleans, Louisiana, pada April 1996?
Benar. Saya tidak mungkin mendapatkan keadilan itu dari mekanisme hukum Indonesia (karena pemerintah Indonesia adalah salah satu pemegang saham di PT Freeport Indonesia, sehingga Thom khawatir akan timbulnya konflik kepentingan). Karena itu, saya menggugat perusahaan ini melalui pengadilan Amerika, yang saya anggap cukup representatif. Tapi di sana saya "kalah" lagi (Thom Beanal menarik kembali gugatannya tak sampai sebulan kemudian. Alasannya, pengacaranya di New Orleans, Martin E. Regan, memasukkan gugatan itu tanpa konsultasi dengan dirinya ataupun masyarakat Amungme). Di situ saya berpikir, tak ada cara lain menolong orang Papua kecuali masuk ke dalam Freeport.
Lantas, apa yang sudah Anda lakukan untuk orang Papua setelah masuk ke dalam?
Saya memang belum melakukan apa-apa karena posisi komisaris bukanlah jabatan strategis. Yang melakukan setiap negosiasi adalah pihak Freeport dan pemerintah Indonesia. Kami hanya terima hasilnya.
Termasuk hasil satu persen dana dari keuntungan Freeport untuk orang Timika?
Ya, termasuk soal itu. Pemberian dana satu persen itu adalah kewajiban yang harus dilakukan PT Freeport kepada penduduk Papua karena yang memiliki harta kekayaan (pertambangan) itu adalah orang Papua. Gunung-gunung (tempat emas dan tembaga ditambang) adalah milik kami. Freeport datang mengambilnya. Jadi, sudah kewajiban mereka membagi hasilnya kepada kami. Dana satu persen itu bahkan masih kurang.
Betulkah setelah menjadi komisaris, Anda berbeda pandangan dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan?
Tidak betul. Hubungan saya dengan mereka baik-baik saja. Dan jangan berpikir bahwa jiwa dan pikiran saya telah terbeli. Saya tetap menjadi orang Papua yang terinjak-injak dan terus berjuang memulihkan hak kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo