Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHEKTARE tanah di Desa Batok, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu ditanami pohon jati dan ditumbuhi semak belukar lebat. Penduduk setempat menyebutnya tanah milik "Pak Jenderal". Menurut Sopyan, Sekretaris Desa Batok, dulu tanah itu dimiliki tiga warga kampungnya. Pada 1992, seorang pengusaha asal Ciputat, Banten, membelinya.
Tiga tahun kemudian, kepemilikan tanah beralih lagi kepada seseorang bernama Redi Hartanto. Nama itulah yang hingga kini masih tercatat dalam dokumen pengurusan pajak bumi dan bangunan. Menurut Sopyan, empat tahun lalu, sepuluh rumah toko hendak dibangun di situ. "Baru setengah jadi, proyek tidak dilanjutkan," katanya kepada Tempo, yang datang ke perbatasan Bogor dan Tangerang itu.
Beberapa bulan kemudian, datang puluhan anggota Tentara Nasional Indonesia berseragam. Mereka menyatakan tanah dengan nomor persil 00172 itu telah berganti pemilik kepada "seorang jenderal". Aparat desa tak bisa menjelaskan detail transaksinya. Yang pasti, tanah itu kini tercantum dalam laporan harta kekayaan Jenderal Moeldoko, yang pekan lalu resmi menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia.
Dalam laporan yang disetor ke Komisi Pemberantasan Korupsi, April tahun lalu, Moeldoko menyatakan tanah itu diperoleh dari "hasil sendiri" pada 2009. Ia mencantumkan nilai aset itu Rp 800 juta atas nama anaknya, Joanina R. Novinda. "Nama itu tidak ada dalam daftar wajib pajak di desa kami," ujar Sopyan.
Harta Moeldoko menjadi sorotan ketika ia menjalani uji kelayakan calon Panglima TNI di Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin dua pekan lalu. Dalam laporan kekayaan yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, tahun lalu, ketika ia menjadi Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, total hartanya bernilai Rp 36 miliar. Jumlah itu sepuluh kali lipat nilai kekayaan Laksamana Agus Suhartono, pendahulunya, yang dilaporkan pada 2010.
Sebagian besar asetnya berupa tanah, rumah, apartemen, peternakan ikan arwana, emas, batu mulia, hingga simpanan dolar sebanyak US$ 450 ribu. Tanahnya tersebar di banyak tempat, seperti mengikuti perjalanan karier militer sang Jenderal: dari Jakarta, Bandung, Bogor, Pasuruan, hingga Pontianak. Hampir semua dicatat sebagai "hasil sendiri". Dalam format komisi antikorupsi, sumber harta pejabat negara berasal dari hasil sendiri, hibah, warisan, atau gabungan ketiganya. Hanya sebagian kecil dicatatkan Moeldoko sebagai warisan. Padahal, kepada anggota Dewan, ia menyatakan kekayaannya berasal dari mertuanya yang kaya raya.
Moeldoko juga mencantumkan tanah seluas hampir dua hektare di Mempawah Timur, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Diperoleh pada 2009, tanah itu dilaporkan bernilai Rp 709 juta dari "hasil sendiri". Tapi tanah yang dijadikan perkebunan sawit ini belum terdata di kantor Badan Pertanahan Nasional kabupaten itu. "Sejak menjabat kepala pada 2010, saya tidak pernah menandatangani sertifikat atas nama Moeldoko," kata Iswan, kepala kantor itu.
Iswan mengatakan mendengar Moeldoko memang memiliki tanah di Mempawah. Beberapa pejabat setingkat komandan distrik militer juga memiliki tanah di sana. Menurut dia, itu karena tanah di Mempawah masih tergolong murah.
Data di Kecamatan Mempawah Timur malah membingungkan. Menurut Junaidi Ali Umar, petugas seksi pemerintahan, alamat yang diterakan pada laporan harta kekayaan Moeldoko tidak jelas. "Alamat itu rancu," ujarnya. Moeldoko mengatakan membeli tanah itu ketika menjadi Panglima Komando Daerah Militer Tanjungpura pada 2010—bukan 2009 seperti yang ia catatkan dalam laporan kekayaan. "Jangan lihat luasnya, karena saya beli murah, hanya Rp 400 juta," katanya.
NERACA keuangan Moeldoko, sesuai dengan yang dia laporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, sebenarnya tidak cukup berimbang. Ia menerakan penghasilan per bulan sekitar Rp 62 juta—terdiri atas gaji pokok sekitar Rp 10 juta, tunjangan jabatan Rp 11 juta, dan tunjangan lain-lain Rp 40 juta. Jumlah itu tidak cukup untuk menopang pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 68 juta per bulan. Ditambah aneka anggaran lain, Moeldoko melaporkan total pengeluaran bulanannya sekitar Rp 150 juta.
Toh, harta Moeldoko bisa menggembung. Alumnus Akademi Militer 1981 ini mengatakan sebagian besar hartanya berasal dari warisan mertua. Ahmad Abu Kasim, mertua Moeldoko, memang terkenal sebagai pengusaha kaya di Pandaan, Jawa Timur. Koesni Harningsih, istri Moeldoko, adalah putri pertama dari lima anaknya. Adapun Wiwik Hayati, putri keduanya, istri mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Moekhlas Sidik.
Sucipto Hadi, anak ketiga Kasim, mengatakan ayahnya memulai usahanya sebagai kuli proyek pembangunan. Meningkat menjadi mandor, ia mampu membeli truk pengangkut bahan bangunan. Bisnisnya semakin mulus hingga ia mendirikan perusahaan pengembang perumahan, PT Batu Mas Putra Agung, dan kontraktor, CV Batu Mas.
Dari usahanya, Kasim bisa membeli tanah di mana-mana, khususnya di Pandaan. "Dulu tanahnya mungkin sampai 200-300 hektare," kata Sucipto. Namun, sejak Kasim sakit-sakitan pada 2008, banyak tanah yang dijual untuk biaya berobat. Kini tersisa sekitar 50 hektare. Kasim meninggal pada 2010 dalam usia 83 tahun. Jenis usaha bisnisnya pun menyusut dan kini tinggal proyek perumahan, bangunan, jalan, dan jasa sewa truk, yang dikelola anak-anaknya.
Moeldoko juga mengatakan kaya dengan mengumpulkan uang dinas ke luar negeri, US$ 125 per hari. Selain itu, ia tak memungkiri pernah menerima pemberian dari "hasil pergaulannya yang luas". Sebagai lulusan terbaik di angkatannya, Moeldoko menempati sejumlah pos yang bisa mendekatkannya dengan pejabat tinggi militer. Dari situlah pergaulannya merembet ke pengusaha yang sering berhubungan dengan TNI.
Tanah seluas 750 meter persegi di Cilangkap, yang jadi rumah pertamanya, menurut Moeldoko, pemberian seorang pengusaha teman A.M. Hendropriyono pada 1996. Moeldoko merupakan sekretaris pribadi Hendro ketika menjadi Panglima Kodam Jaya. Ia mengatakan ditawari tanah itu karena belum punya rumah sepulang dari dinas di Irak. "Waktu itu saya cuma punya uang Rp 15 juta," ujarnya.
Dikuliti kekayaannya di muka umum membuat Moeldoko risi juga. Ia berniat menjual satu unit apartemennya di Denpasar Residence, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, senilai Rp 3 miliar lebih karena tak ingin dicap negatif sebagai pejabat yang punya apartemen mewah. Rumahnya di Tebet juga sudah ia jual. Dua rumah lain di Cipayung hanya ditinggali penjaga. Sedangkan tanah-tanah yang lain akan ia pecah karena sudah diberikan kepada dua anaknya. "Meski norak, saya harus bilang, saya kaya karena mertua saya kaya," katanya.
Dari pergaulannya yang luwes itu, Moeldoko kerap mendapat bantuan dari banyak pengusaha untuk membangun barak, kantor, atau perumahan tentara. Dalam silaturahmi dengan pengusaha beberapa waktu lalu, ia mengumpulkan Rp 120 miliar sumbangan yang akan dibagikan ke semua komando daerah militer untuk membangun perumahan. "Dulu belum ada aturan gratifikasi. Kalau ada yang memberi, saya terima. Kalau sekarang, saya takut juga," katanya.
Tanah, peternakan, dan aset lain kemudian berbiak mendatangkan untung. Seperti tertera dalam laporan kekayaannya, tanah di Mempawah yang ditanami sawit dalam setahun menghasilkan pemasukan Rp 4,8 miliar pada 2012, peternakan arwana Rp 150 juta setahun, dan peternakan sapi di Kediri Rp 200 juta setahun. "Tapi sapi ini habis, dijualin keponakan-keponakanku, jancuk tenan," ujar Moeldoko, tertawa.
Moeldoko tak takut asetnya yang rimbun itu dicurigai sebagai hasil korupsi. Ia ingin tindakannya yang berterus terang ke publik tentang kekayaannya ditiru pejabat lain. "Tak bisa saya sembunyikan. Wong, kenyataannya seperti itu," tuturnya. Ini pula, kata Moeldoko, modal dia memimpin TNI dalam dua tahun ke depan sebelum pensiun: terbuka dan komunikatif.
Ketika menerima Tempo, Kamis malam pekan lalu, setelah membicarakan kekayaannya, dia mengatakan berniat membenahi kesejahteraan prajurit. Bagi Moeldoko, penurunan kemanusiaan tentara dimulai dari kemiskinan. Akibatnya, banyak prajurit berkeliaran di jalan menjadi anggota satpam atau centeng, lalu bertindak brutal, karena punya keahlian bela diri dan memegang senjata.
Menurut dia, idealnya gaji prajurit minimal Rp 4,5 juta. "Jika sudah mencapai angka ini, psikologi tentara tak terganggu, sehingga kasus seperti di Cebongan mudah-mudahan tak ada lagi," ujarnya.
Bagi Moeldoko, menjadi Panglima TNI bukan takdir, melainkan pilihan. Itu sebabnya ia mengaku sengaja membangun rumah pertamanya di Cilangkap, Jakarta Timur, tak jauh dari Markas Besar TNI. Alasannya: biar dekat kalau pada akhirnya ia menjadi panglima. "Mungkin ini terdengar sombong, tapi saya sudah menduganya sejak berpangkat letnan kolonel," katanya. Ia pun kini bersiap mengayuh sepeda ke Markas Besar dari rumahnya, yang berjarak tempuh sekitar lima menit.
BS/Bagja Hidayat, Indra Wijaya, Afrilia Suryani (Jakarta), Sidik Permana (Bogor), Ishomuddin (Pasuruan), Hari Tri Wasono (Kediri), Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo