Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Moeldoko, 56 tahun, risi juga membicarakan asal-usul kekayaannya yang melimpah. Namun ia tak bisa mengelak atas pertanyaan Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat dalam uji kelayakannya sebagai calon Panglima Tentara Nasional Indonesia, Senin dua pekan lalu. Ia pun harus menyampaikan asal-usul hartanya, yang total bernilai Rp 36 miliar—jumlah fantastis untuk ukuran tentara.
Perwira tinggi alumnus Akademi Militer 1981 ini mengatakan tak nyaman membicarakan kekayaan, sementara kondisi sebagian besar prajurit yang akan segera dia pimpin masih mengenaskan. Gaji mereka kecil. Banyak yang berada di jalan menjadi anggota satuan pengamanan atau centeng. Ada pula yang bertindak brutal. Karena itu, ia lebih suka membicarakan program yang akan dijalankannya untuk memimpin TNI. Di antaranya mengubah kultur prajurit. "Saya tak mau prajurit ugal-ugalan," ujarnya.
Kamis malam pekan lalu, sekitar 14 jam sebelum dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Moeldoko menerima tim wartawan Tempo untuk wawancara. Di rumah dinas Kepala Staf Angkatan Darat, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, ia menjawab aneka pertanyaan, termasuk soal pundi-pundi kekayaannya.
Dari mana asal kekayaan Anda?
Terus terang, saya risi berbicara soal kekayaan. Tapi harus saya jelaskan kalau ada yang bertanya soal ini. Saya tak ingin ada suudzon (prasangka buruk). Di DPR, saya jelaskan semua meski saya merasa, kok, jawabannya norak banget. Tapi mau bagaimana lagi? Wong kenyataannya hidup saya dibantu mertua. Beliau memang sugih.
Seberapa kaya mertua Anda?
Mertua saya kontraktor dan punya usaha bangunan di Jawa Timur. Dia juga punya angkutan dan usahanya melimpah. Setiap anaknya yang menikah dikasih mobil. Istri saya anak pertama. Ketika kami menikah pada 1985, mertua sudah mewanti-wanti agar saya jadi prajurit yang bener saja. Enggak usah mikir macam-macam, karena untuk hidup sudah disiapkan mertua.
Anda menyebut kebanyakan adalah hibah. Bisa dibuktikan?
Banyak tanah saya dari mertua. Belum lagi warisan uang. Itulah mengapa saya hanya memikirkan bagaimana saya bekerja baik. Mungkin Anda tak percaya, ketika menjadi panglima divisi (Kostrad), saya tidak punya duit. Tapi saya membangun divisi itu dengan dana Rp 5 miliar. Begitu juga saya membangun markas Kodam Tanjungpura di Kalimantan. Memang ada dana dari Markas Besar Angkatan Darat, tapi sedikit, hanya separuh. Sisanya, kalau ada yang bisa dibantu dari kocek pribadi, dibantu. Ada juga dari pergaulan.
Pergaulan? Bagaimana Anda bisa menjaga konflik kepentingan?
Semua ada prosesnya. Pada akhirnya kita akan tahu mana yang tulus dan mana yang memanfaatkan. Kalau urusan bisnis dan pasok-memasok di tentara, saya enggak mau terima. Sebab, ini bisa menyandera bawahan saya. Jadi tak ada orang Moeldoko, orang istri Moeldoko, atau anak Moeldoko. Catat itu.
Apakah dari pergaulan ada juga yang memberi Anda?
Jujur, saya tak munafik. Saat saya masih bersekolah, ada teman yang mau membantu saya untuk urusan administrasi. Saya terima karena orang itu tak punya kepentingan apa-apa. Itu dulu, ketika saya belum tahu gratifikasi. Sekarang? Ya, enggak berani.
Soal kekayaan, Anda kenapa "jujur" melaporkan?
Saya bukan sok jujur. Warisan itu kan barang dari Tuhan. Nah, kalau saya menipu, saya punya kekayaan terus pura-pura menyebut sedikit, itu kan namanya menipu Tuhan. Kalau Tuhan marah dan kekayaan saya diambil, gimana? Ya, enggak mau. Toh, bisa dibuktikan.
Bagaimana soal kesejahteraan prajurit?
Di DPR, saya sampaikan kalau boleh ada kenaikan 20 persen lagi. Sebab, tambahan itu tak sampai Rp 5 triliun. Saat ini take home pay prajurit terendah Rp 3,4 juta. Itu sudah bersih. Itu juga belum cukup karena kalau tinggal di luar asrama, kos misalnya, harus bayar listrik, air, transportasi. Itu biasanya jadi sumber masalah dan konflik. Idealnya gaji prajurit Rp 4,5 juta.
Apa saja yang akan segera Anda lakukan sebagai panglima?
Tentu, hal pertama adalah soal konsolidasi organisasi. Namun ada tiga hal utama yang hendak saya benahi. Pertama, soal penguatan sumber daya manusia bagi seluruh prajurit TNI, termasuk perubahan kultur prajurit. Kedua, proses modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang selama ini ada. Ketiga, mengawal tahun politik. Kami ingin mengawal proses ini dengan menjaga netralitas TNI.
Soal perubahan kultur prajurit, seberapa penting dilakukan?
Penting sekali karena ini soal bagaimana man behind the gun. TNI sedang memodernisasi peralatannya dan saya tak ingin prajurit gelagapan mengoperasikan peralatan baru. Bagaimana menyiapkan itu? Kemarin saya membuat paparan soal prajurit profesional dan prajurit pejuang. Saya tidak ingin hadirnya alat yang semakin canggih membuat prajuritnya jadi enggak militan. Di banyak negara, prajurit menganggap alat persenjataan itu segalanya. Alat boleh modern, tapi militansi prajurit kita enggak boleh kurang. Selain itu, kultur prajurit harus dibenahi. Kami ingin prajurit memahami kebutuhan rakyat, lebih profesional, rendah hati, santun, bermartabat, dan tidak ugal-ugalan. Ini adalah residu reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah bersama.
Konkretnya?
Begini. Selama ini ada proses dehumanisasi prajurit. Saya berangkat dari tiga hal: sumur, dapur, dan tempat tidur. Kondisi sumur alias kamar mandi di banyak fasilitas prajurit jauh dari standar. Begitu pula dapurnya. Juga kasur para prajurit di barak, yang hanya dua sentimeter tebalnya. Ini tentu berpengaruh pada kondisi kesehatan dan psikologis prajurit. Belum lagi, pelatih memperlakukan calon prajurit seenaknya. Akibatnya, begitu masuk kesatuan, prajurit itu mudah marah. Anda bayangkan saja, misalnya, satu prajurit mau long march, oleh pelatihnya air minum di veldfles-nya dibuang. Prajurit disuruh minum air comberan, ya ngawur. Di negara lain tidak begitu.
Bisa dilakukan dalam dua tahun kepemimpinan Anda?
Harus bisa. Ini bisa dimulai dari seluruh pusat pendidikan karena sumbernya di situ. Untuk komandannya juga ada pembinaan khusus. Mereka harus diajari menjadi prajurit pejuang dan profesional. Termasuk diajari bertanggung jawab mencegah prajuritnya bertindak melanggar hukum supaya tidak terjadi kasus-kasus seperti di Cebongan.
Dalam kasus kriminal, apakah sidangnya akan tetap di peradilan militer dan bukan umum?
Tetap akan di peradilan militer seperti yang terjadi di banyak negara. Apalagi saya melihat belum ada kesiapan psikologis jika prajurit diperiksa polisi. Menurut saya, proses di peradilan militer juga sudah cukup keras. Masalahnya, selama ini tertutup dan baru kasus Cebongan yang dibuka. Yang dituntut masyarakat itu soal keterbukaan. Proses persidangan bisa diikuti dan tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Sudah saya perintahkan, tak ada prajurit yang menjaga kecuali polisi dan polisi militer. Yang penting bukan soal pidana umum atau militer, melainkan tekad TNI terbuka memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apa yang membuat Anda berpikir seperti itu?
Menurut saya, kondisi masyarakat kita berubah. TNI banyak melakukan blunder di masa lalu. Banyak masalah ditutupin dan tak mau jujur. Saatnya TNI belajar dari masa lalu dan punya kesadaran mengubah dirinya menjadi lebih baik dan menyatu dengan rakyat. Daripada semu, kemudian meledak menjadi banyak kasus seperti yang sudah-sudah.
Belakangan Anda sering menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh. Enggak takut disebut berpolitik?
Saya selalu menempatkan komunikasi sebagai senjata untuk memperbaiki keadaan. Saya membuka dialog dengan senior, untuk mendapatkan masukan, untuk perbaikan kondisi prajurit kita. Masukan itu saya pakai jadi agenda saya untuk membenahi organisasi. Budaya bertemu dan menjalin komunikasi akan tetap saya teruskan di Markas Besar, Cilangkap.
Senior Anda kan banyak yang maju menjadi presiden. Apa tidak ada titipan?
Ha-ha-ha…, mau dititipin apa? Kalau dititipin, saya malah bingung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo