Sudah lima bulan terakhir ini, Bernadetta tak lagi berkunjung ke rumah keluarga kakak sepupunya, Hubertus Ehok. Padahal, selama ini Hubertus sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri. Belum setahun lalu, ketika Bernadetta dilamar, Hubertuslah yang mengurus segala keperluannya. Bahkan calon tua golo atau pemimpin kampung itu pula yang sibuk berunding dengan keluarga Anton Bongkok, si calon besan, untuk membicarakan jumlah belis. Waktu itu belis atau maskawin yang ditentukan adalah kerbau dan sejumlah uang. Kini, hubungan kekeluargaan itu tampaknya tinggal kenangan. ''Kalau ketemu Bernadetta di pasar, kami cuma bisa saling rangkul sambil menangis,'' kata istri Hubertus. Ada apa? Kendati berbesanan, Hubertus Ehok dan Anton Bongkok kini berada di pihak yang berseteru. Hubertus adalah anak tua golo Kampung Dalo dan Anton, tua tana (tuan tanah) kaya dari Kampung Golo Nderu. Keduanya memimpin orang-orang di kampungnya masing-masing memperebutkan dua lingko -- tanah milik adat -- yang mereka klaim sebagai hak mereka. Dalam bentrokan berdarah akhir Juli lalu, keduanya tewas. Tali saudara yang menghubungkan Berdanetta dengan keluarga yang ditinggalkan Hubertus terus menegang. Semua itu berakar pada tanah semata. Tanah, bagi orang-orang Manggarai, memang lebih dari soal-soal hubungan kekerabatan antarkeluarga. Jilis A.J. Verheijen, seorang ahli bahasa dan etnolog Flores yang tinggal di pulau itu sejak enam puluh tahun lalu, menulis bahwa dasar kebudayaan orang Manggarai bersifat agraris. Hanya kadang-kadang -- mereka mengusahakan keahlian berburu dan menangkap ikan di sungai. Namun, keahlian itu pun sangat sederhana karena bukan lagi merupakan bagian dari tradisi kehidupan mereka saat ini. Mereka adalah penanam jagung -- makanan pokok orang Manggarai -- yang lihai. Belakangan ini mereka juga mengolah tanah untuk padi lahan kering, ubi jalar, ubi kepala, ubi manis, dan kemudian kopi. Begitu besar ketergantungan hidup mereka atas tanah, hingga sumpah setia pada tanah leluhur mereka gumamkan sebagai mantra dalam upacara adat. Kalimat sakti ''Andai benar tanah itu milik mereka, biarlah darahku bersimbah di atasnya,'' merupakan jampi-jampi yang menjadi sumber kekuatan magis. Dengan mantra ini mereka siap menebus tanah, yang berarti juga harga diri dan kehormatan, hingga mati. Menurut Paulus Haribaik, seorang pemuka adat di Kecamatan Ruteng, pada zaman kerajaan dulu, sumpah suci itu diucapkan bersamaan dengan upacara pemanggilan roh-roh leluhur. Kepada para arwah ini, mereka mohon kekuatan, perlindungan, dan kalau perlu turut terjun ke medan laga sebagai ''prajurit garis depan yang tak tampak''. Mereka yakin, roh nenek moyangnya memiliki kekuatan melebihi kedahsyatan manusia biasa. ''Walaupun tak nampak, kami percaya, mereka turun membantu kami,'' kata Domi Ndego, 60 tahun, tua golo Kampung Dalo. Kesetiaan orang Manggarai pada tanahnya agaknya disebabkan pengalaman buruk yang dialami nenek moyang mereka. Pada awalnya, penduduk asli Manggarai adalah orang-orang pesisir. Tapi pada abad ke-17, daerah yang gonta-ganti jadi taklukan Bima dan Goa itu diserbu para pendatang dan bajak laut. Para penyerbu ini -- orang-orang Illano, Sulu, Bajo dan Tobelo -- merampok dan menangkapi penduduk asli untuk dijadikan budak belian. Seperti badai utara, gerombolan ini terus mendesak orang Manggarai hingga mundur ke pedalaman. Mereka membabat hutan dan membangun perkampungan yang terisolasi, bahkan hingga ke lembah-lembah. Pemerintahan pusat di Bima tampaknya sama sekali tak memberi perlindungan kepada penduduk asli ini. Bima seperti sengaja memukul mundur orang Manggarai jauh ke hutan-hutan pedalaman, lewat tangan para perompak. Ini tergambar dari surat bertanggal 17 April 1784, yang ditulis Sultan Bima, ''Orang-orang Manggarai itu merusakkan adat tanah Bima.'' Karena itu, orang-orang Manggarai tersebut, untuk rentang waktu yang cukup lama, hidup terisolasi dari dunia perdagangan ramai. Termasuk juga luput dari pengaruh budaya dan agama yang dibawa para pedagang. Verheijen melaporkan hanya sebagian kecil orang Manggarai, itu pun dalam kelompok-kelompok besar, yang sekali- sekali berani turun ke pantai untuk mencari garam atau ikan asin. Di pedalaman, mereka hidup menyatu dalam rumah-rumah gendang yang besar. Disebut rumah gendang karena di dalamnya terdapat beberapa gendang untuk upacara adat. Sampai tahun 1926, masih banyak dijumpai rumah yang biasanya didiami 50 sampai 400 orang. Bersama-sama mereka membuka hutan untuk dijadikan ladang yang kemudian dinamakan lingko. Semua anggota kampung mendapat bagian atas ladang itu, sesuai dengan kedudukannya dalam kekerabatan adat dan jumlah tanggungan keluarganya. Pembagian lingko biasanya dilakukan oleh tua teno, pemimpin adat yang dianggap bijaksana dan punya kekuatan magis. Caranya, sebuah tongkat dari kayu teno, yang disebut juga kayu senu (Melochia arborea), yang merupakan lambang kesuburan di daerah Manggarai, ditancapkan di tengah-tengah ladang. Dari titik itu, ditarik jari-jari melalui lade (kayu yang ditanamkan melingkari teno dalam jarak sejengkal) sampai ke pinggir ladang. Jarak antar-lade, yang menentukan luasnya bagian, diukur dengan lebarnya jari yang disebut moso. Dengan penentuan luas tanah seperti itu, akan diperoleh kesatuan ladang yang kalau dilihat dari atas pesawat berbentuk seperti sarang laba-laba. Sebuah rumah tangga kecil biasanya mendapat dua moso, sedangkan yang besar tiga hingga empat moso. Pada moso-moso itulah keluarga Manggarai menggantungkan hidupnya. Pengalaman pahit terdesak orang-orang pendatang di masa lalu agaknya menjadikan mereka begitu bersikukuh pada tanah yang didiami. Dalam konflik perebutan tanah, kendati kalah di pengadilan, mereka tidak akan langsung menyerah begitu saja. Bahkan, tak sedikit orang Manggarai yang karena dibakar emosi siap terlibat dalam bentrokan fisik. Seolah-olah ada kepercayaan: yang tidak berhak atas bidang tanah yang disengketakan bakal terluka dan tumpah darahnya. Jadi, ''perang tanding'' semacam itu agaknya menjadi cara untuk melegitimasi pemilikan atas sebidang tanah. Celakanya, tak semua bentrokan itu melibatkan ''orang luar''. Komuni-komuni sosial yang bersatu dalam satu kampung besar toh tak selamanya rukun. Itulah yang terjadi pada Kampung Dalo dan Golo Nderu. Tadinya, setidaknya sampai tahun 1939, mereka hidup dalam satu kekerabatan besar di Kampung Randong, di bawah kekuasaan Gelarang (pemimpin beberapa kampung) Lao. Kedua kerabat besar itu menggarap enam lingko bersama-sama. Mereka bergotong-royong: membagi lingko ke dalam moso-moso, membalik tanah dengan sekop, dan menghancurkannya dengan injakan puluhan kerbau. Ketika jumlah keluarga makin lama makin banyak, luas lingko semakin terasa sempit. Karena itu, pada tahun 1940, Gelarang Lao merampas 15 lingko yang dikuasai Gelarang Weol. Serbuan itu dibantu orang Ngkor dan orang Kusu. Sebagai imbalan, Ngkor dan Kusu mendapat bagian masing-masing lima lingko. Orang Lao di Randong (cikal bakal orang-orang Dalo dan Golo Nderu) juga kebagian lima lingko. Tapi orang Kusu kampungnya agak jauh. Mereka tak punya waktu buat menggarap lahan bonus tadi. Cukup lama menelantarkan lima lingko bagian mereka itu hingga akhirnya sepakat menyerahkan kebun tersebut untuk orang Lao. Ketika itulah orang Lao terpecah. Sebagian menyempal dari Randong dan mendirikan Kampung Dalo sekarang. Mereka menyabet dua lingko hadiah orang Kusu, yaitu Hembet dan Lanteng Mese. Kecuali itu, mereka tetap menanami enam lingko yang semula digarap bersama-sama di Randong. Namun, pemberian orang Kusu kepada warga Kampung Dalo ini rupanya tak direlakan oleh orang Lao yang bertahan di Randong. Mereka telanjur menggarap kelima lingko bekas Kusu yang ditelantarkan itu. Pecahlah bentrokan antar ''dua saudara'' itu. Konflik pertama ini memakan korban di Randong, yakni Nagur, seorang tetua yang masih anak Gelarang Lao. Ia luka parah. Versi lain menyebut Nagur bukan cuma luka, tapi tewas. Entah mana yang benar. Konflik berkepanjangan. Pernah ada yang mencoba mendamaikan, yakni Raja Bagung. Bagung mengajak orang Lao di Randong itu pindah ke tempat yang lebih jauh dari pusat kerusuhan, ke desa baru bernama Golo Nderu, sekitar 2 km dari Dalo. Tentu, dengan catatan, orang Lao di Randong tadi menyerahkan lingko hak orang Dalo. Waktu itu, mereka sudah sepakat. Tapi, entah mengapa, nyatanya hak orang Dalo itu tak kunjung diserahkan. Berkali- kali orang Dalo menuntut, baik secara adat maupun secara hukum. Puncaknya, bentrokan berdarah akhir Juli lalu itu. Kini, kebersamaan dan tali keluarga ketika masih bersama-sama menggarap lingko di Kampung Randong punah sudah. Istri Hubertus Ehok, korban dari Kampung Dalo, kini dirundung kesedihan. Ia memang tak dendam terhadap pembunuh suaminya. ''Kematian itu urusan Tuhan,'' katanya dengan mata berkaca-kaca. Namun, jelas tak mudah baginya untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil, sendirian. Anaknya yang sulung, Sonimus Joneo, kelas I SMPN Ruteng, kini harus menghentikan sekolahnya karena tak ada biaya. Lagi pula, setelah ayahnya meninggal, tak ada lagi yang menggarap sawah. Sonimus kecil harus menggantikan peran itu. Dari pihak Golo Nderu, bukan tak ada kerugian. Kecuali tiga warganya meninggal, ada juga impitan ekonomis dalam bentuk lain. Pabrik penyosohan gabah milik Anton Bongkok, yang tadinya ada di Dalo, kini terpaksa dipindah ke Kusu. Anak-anak Golo Nderu yang semula sekolah di SD Randong bersama-sama anak-anak Dalo, dipindahkan ke SD Inpres Tiil, sehari setelah bentrokan. Kedua kampung kini terpenjara dalam kecemasan masing-masing. Ada pos keamanan dengan dua polisi dan satu tentara di pinggir desa. Ketakutan dan saling curiga bagai hantu yang mengintip ke dasar perasaan mereka. Apalagi sumber konflik itu sendiri belum terpecahkan. Orang Dalo jelas tidak akan mundur dari tanah yang sudah mengambil korban empat nyawa itu. ''Kami tetap mau menggarap tanah milik kami,'' kata Domi Ndego. Untuk itu, ia mengaku sudah minta Polres Manggarai agar mengamankan warga Dalo yang akan bekerja di tanah itu. Bahkan orang tua itu masih tetap mengancam, andai orang-orang Golo Nderu terus merongrong, mereka akan diadukan sebagai penyerobot tanah. Sebenarnya ada harapan untuk menyelesaikan sengketa tanah seperti yang dihadapi orang Dalo dan Golo Nderu tadi. Menurut Frans Sales Lega, bekas Bupati Manggarai, sebenarnya moso-moso yang dibagi oleh tua teno hanya terbatas untuk hak garap. Sedangkan kepemilikan tetap bukan pada keluarga yang menggarap moso itu. Jadi, kalau suatu saat gelarang memerlukan tanah itu, dia boleh memintanya kembali dari petani penggarap. Melihat kebiasaan adat ini, Lega yakin, untuk menyelesaikan masalah sengketa tanah, mantan-mantan gelarang atau keturunannya bisa dijadikan saksi ahli. ''Kalau mereka sudah bicara, rakyat pasti menurut. Tak akan ada perang tanding,'' katanya. Saran Lega agaknya perlu didengar. Soalnya, di masa depan, potensi konflik perebutan makin besar. Menurut Camat Cancar, Michael Weko, hanya seperlima tanah di Manggarai yang bukan milik komunal. Selain itu, ribuan hektare tanah milik Pemda, seperti tanah untuk bangunan-bangunan Inpres, merupakan sumbangan sukarela masyarakat yang sampai kini belum disertifikatkan. Dengan semakin tingginya nilai tanah, sementara yang butuh makin banyak, bisa jadi masyarakat bakal menuntut tanah-tanah ''hibahan'' itu. Contoh yang paling hangat adalah kasus pembangunan Bandar Udara Satar Tacik, tahun 1989. Tanah yang sudah dikuasai pemerintah itu diklaim sebagai milik petani. Mereka protes dengan cara tidur di lapangan, hingga pesawat tak bisa mendarat. Mereka menuntut hak garapnya dikembalikan. Tampaknya, kebiasaan untuk menyelesaikan sengketa lewat bentrok fisik akan masih berulang kembali. Dwi S. Irawanto (Jakarta) dan Putu Wirata (Ruteng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini