DI puncak geram dan putus asa, Pak Kanjeng mendongak ke langit, ke Tuhan. Di tengah suara gemuruh -- suara para penggusur yang semakin mendekat -- lelaki renta itu meraung: ''Tuhan, kenapa Kau sembunyi dalam kesunyian, dan aku ketlingsut dalam kesunyian-Mu?'' Dan ia, dalam pakaian seragam tentara revolusi yang dibanggakannya, jatuh terduduk. Kalah. Itulah akhir kisah seseorang yang miskin tapi kelewat pintar melihat bagaimana kekuasaan bekerja. Seseorang yang harus tergusur dari tanahnya sampai tiga kali, demi pembangunan pabrik, bendungan, dan lapangan golf. Demikianlah, pentas di Purna Budaya Yogyakarta (16-17 November) itu memang sebuah hiperbola tentang hubungan antara rakyat dan negara. Sebuah esai dengan kata-kata yang meluncur deras, keras, tajam, pintar, sarkastis. Pak Kanjeng adalah seseorang yang kongkret: transmigran, veteran perang kemerdekaan. Tapi ia pun simbol yang menyatukan pelbagai nasib malang orang Indonesia. ''Jumlah saya berpuluh-puluh juta,'' katanya. Kemalangan itu terjadi justru karena negara menempuh pembangunan raya. Dan seorang seperti Pak Kanjeng harus terbelah: antara memahami ''kepentingan nasional'' dan menjadi korban yang sewenang-wenang. Itulah sebabnya Pak Kanjeng bukan hanya lakon (tentang) politik. Permainan kuasa itu niscaya terpantul juga di lubuk jiwa Pak Kanjeng. Maka, harus diakui adanya ide dasar yang sungguh cerdik: bahwa sebuah pribadi terpecah jadi tiga bagian, yang keras melawan, yang lunak-toleran, dan yang ragu-ragu. Dengan kata lain, yang ingin diceritakan adalah konflik batin Pak Kanjeng dalam menghadapi kekuasaan negara. Tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng itulah yang dimainkan oleh Butet Kertarajasa, Novi Budianto, dan Joko Kamto. Ketegangan segi tiga ini yang layaknya jadi dominan di pentas sepanjang 100 menit ini. Di panggung (dengan penata artistik Rudjito) yang menjorok ke penonton -- prosenium agak tinggi di belakang dan level rendah di depan -- tiga aktor berpostur sama itu mengenakan rias yang sama. Dan pakaian yang sama: pakaian sehari-hari pada satu jam pertama, dan pakaian serdadu zaman revolusi pada sisa waktu berikutnya. Pak Kanjeng, yang dalam mempersoalkan kekuasaan negara selalu membandingkan diri dengan dua alter ego. Yakni Begejil, pembantunya, mungkin simbol rakyat yang marah tapi membisu dan Den Bei, anak buahnya di zaman perang, dan kini bagian dari para penguasa dan penggusur yang korup. Naskah Emha Ainun Nadjib yang mula-mula ditulis sebagai monolog ini tidaklah memiliki perkembangan psikologi yang biasa. Pak Kanjeng ''hanyalah'' medium untuk menyampaikan pelbagai komentar, kritik, dan analisa tentang politik pembangunan. Butet, Novi, dan Joko tersengal-sengal menyandang ''keseriusan'' itu, sementara pada saat yang sama mereka harus mengorek psikologi Pak Kanjeng yang hanya samar-samar dalam naskah. Betapa keras mereka membagi ruang pertunjukan yang luas, demi menonjolkan tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng. Gerak, bloking, kor yang mereka bawakan baru terasa sebagai usaha mengatasi monotoni, belum mengentalkan panggung. Bahkan, mereka harus menggenggam pedang sepanjang pertunjukan, seakan kemarahan dan kesedihan Pak Kanjeng belum cukup jelas lewat kata-kata. Tapi masih ada kesegaran di bagian-bagian tertentu. Yakni ketika kespontanan para aktor -- warisan gaya sampakan teater Yogya yang jadi termasyhur itu -- bisa melejit bebas, sehingga jarak antara panggung dan kehidupan sehari-hari jadi amat tipis. Misalnya, ketika Pak Kanjeng meledek seniman yang ''cuma ngurusi pos-mo dan kalau puyeng pergi ke posyandu'' dan aktivis mahasiswa yang ''nodong teman untuk ongkos demonstrasi ke Jakarta''. Dalam guyonan semacam itu memang ada kecerdikan, juga ironi, sehingga penonton memiliki lagi pentas, bukan hanya pihak yang cuma mendengarkan petuah sang naskah. Pentas ini tak diarahkan oleh seorang sutradara, melainkan sebuah forum penyutradaraan (terdiri dari sembilan orang). Cara semacam ini, agaknya, merupakan pernyataan sikap bahwa posisi (seorang) sutradara tak penting lagi. Juga barangkali cara untuk tukar-menukar pikiran dan gaya pribadi. Jika demikian halnya, yang terpenting, pada hemat saya, adalah keseimbangan antara kemampuan para aktor dan pikiran penulis naskah. Dalam naskah yang berambisi membongkar kebobrokan sosial, para aktor juga layak ikut ''menulis'' naskah. Sebab, akibat kekuasaan yang kongkret itu tak dapat hanya dihadirkan lewat kata-kata, tetapi juga bahasa tubuh para aktor. Betapa sayang jika kita terlalu banyak mendapatkan pikiran- pikiran, tapi terlalu sedikit mendapatkan Pak Kanjeng sebagai manusia-darah-dan-daging. Setiap hari kita ditimbuni pelbagai soal politik, tetapi yang telah dipulas oleh surat kabar, televisi, dan para provokator. Itulah sebabnya, mungkin, teater tidak mati karena ia merenggutkan kita dari kenyataan sehari- hari, menajamkan mata kita terhadapnya, lalu mengembalikan kita lagi ke sana. Seperti Pak Kanjeng dalam saat-saat rileksnya penuh canda dan karena itu meyakinkan. ''Negara ini memang khas,'' kata Pak Kanjeng yang satu, pada suatu saat. ''Siapa dulu dong pemimpinnya!'' sahut Pak Kanjeng yang lain. Parodi semacam itulah agaknya yang menyelamatkan kita dari kemarahan yang sia-sia. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini