LAMPU sorot itu menghadirkan sesuatu yang mungkin baru terjadi dalam sejarah pewayangan abad ke-20. Di halaman yang menjelang gelap itu, tampak jajaran para dalang wayang kulit, 200 orang lebih. Sebagian besar mereka pria yang mengenakan pakaian resmi Jawa, dengan jas beskap, kain batik, dan kepala yang ditutupi blangkon serta sebilah keris yang terselip di pinggang. Sebagian kecil, tak sampai 10 orang, dalang wanita. Dengan khusyuk, Kamis malam pekan lalu itu, mereka mengikuti prosesi: melangkahkan kaki dari arah barat menuju ke pendopo yang jadi pusat Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. Mereka membawa rangkaian sesaji yang diletakkan di empat buah tandu, dengan sepotong kepala kerbau yang dibungkus kain putih sebagai unsur utama. Di antara mereka hadir sejumlah dalang tersohor, seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, Ki Sudarman Gondodarsono, Ki Subono, Ki Gito Purbocarito. Tercatat 218 dalang mengikuti acara yang disebut ''sesaji dalang'' ini, dari yang berusia di atas 60 tahun sampai yang masih belum lagi 30 tahun. Juga Dirjen Kebudayaan, Dr. Edi Sedyowaty, yang dulu dikenal sebagai penari Jawa dan penulis kritik tari yang terkenal. Sesampainya peserta prosesi di tengah pendopo, mereka kemudian melingkari sesaji yang dibawa. Dalang senior, Ki Sudarman Gondodarsono, yang dianggap unggul dalam pengetahuan kejawennya, memimpin upacara sesaji itu. Dengan mantra, Ki Sudarman mengutarakan permohonannya buat para dalang kepada penguasa alam, agar langgeng kesucian batin para dalang, bening pikiran mereka, dan matang jiwa mereka. Seorang dalang dari Nganjuk, Jawa Timur, melengkapi dengan doa secara Islam. Dalam suasana yang hening tadi, Suprapto Suryodarmo, penari asal Solo, beserta beberapa penari lainnya menarikan Mayasidhi, tarian yang melambangkan proses penyucian diri. Ini memang merupakan upacara ruwatan, upaya penyucian diri buat pribadi-pribadi yang khilaf. Dalam kata-kata Murtidjono, Ketua TBS sekaligus salah satu pencetus ide acara ini, ''untuk menyelamatkan para dalang dari godaan dan nafsu yang bisa mempengaruhi peran dalang dalam masyarakat dengan doa para dalang sendiri.'' Tambah Ki Anom Suroto, ketua penyelenggara acara, ''Kegiatan ini tujuan utamanya untuk mawas diri.'' Seni pewayangan tampaknya tengah galau. Kata Ki Subono, dalam zaman yang berubah ini, pakem (tertib) pewayangan juga mengikuti kemauan masyarakat. Tak selamanya mudah. Dalam arus itu, banyak dalang yang melakukan pembaruan, yang oleh sebagian dalang dinilai merusak tradisi. Dalam sarasehan yang berlangsung tengah hari sebelum upacara ruwatan itu, kritik memang dilontarkan, secara terbuka, tajam tapi fasih dan elegan -- sesuatu yang tak mengherankan, karena yang berbicara adalah para dalang. Ki Gito Purbocarito, misalnya, yang merasa sebagai dalang pinggiran (dalam konteks kebudayaan Jawa) karena berasal dari Banyumas, merasa limbung. Ketika ia merujuk ke kedung (pusat ilmu) pewayangan di Surakarta dan Yogyakarta, ia menemukan kedung itu sudah ''rusak''. Seorang dalang lain menunjukkan bahwa pertunjukan oleh dalang yang ''laris'' kadang-kadang menyimpang dari aturan, dan agaknya ia mencerminkan perasaan mereka yang ingin agar para dalang jangan hanya mengejar ukuran ''laris'' itu. Keresahan seperti itu ditanggapi oleh Dr. Koentoro Wiryomartono, ahli kesusastraan Jawa dari Universitas Gadjah Mada, yang jadi salah seorang pembicara dalam sarasehan tersebut. Dalam bahasa Jawa yang halus tapi kocak, ia menganjurkan agar para dalang berjalan dengan hati tetap, jangan menoleh ke kiri atau ke kanan. Ia mengakui adanya dilema antara mencari sega (nafkah) dan mencari suwarga (nilai yang luhur). Tak ada salahnya usaha mencari sega itu -- meskipun ditambahkannya: ''Tapi kapan ada waktu mencari suwarga''. Bagi Koentoro, ''Kiblat para dalang adalah dirinya sendiri''. Dengan kata lain, jika kedung-nya rusak, jadilah pusat sendiri. Untuk itu, menurut Goenawan Mohamad, penyair Asmaradana dan penulis lirik Jawa untuk tari Panji Sepuh, yang juga diundang untuk berbicara dalam sarasehan, seorang dalang harus selalu merenung dan memperkaya batin diri terus-menerus. Dengan cara itu, perubahan dan kreasi para dalang tak akan merusak dan dangkal. Yang dianggap Goenawan penting agaknya bukan hanya pembaruan teknik, tetapi pembaruan sikap. Dunia pedalangan dan wayang selama ini harus menerima baban menjadi alat penyampai pesan dari sponsor, yang berkuasa atau yang punya uang, atau penyampai wejangan dan ajaran. Dengan demikian, seakan-akan dalang mendapatkan peran sebagai tokoh yang ''memonopoli makna''. Goenawan menyarankan agar pertunjukan wayang dibebaskan dari hal itu. Katanya, ''Pertunjukan wayang kulit yang memikat bukan yang diberati petuah atau piwulang dan pesan sponsor yang diterima sebagai pengetahuan yang dihafalkan -- ibarat makanan kaleng yang disajikan tanpa diketahui proses jadinya.'' Wayang kulit bukan sekadar pembawa cerita, apalagi bukan sekadar pembawa ajaran. Ia merupakan suatu peristiwa yang ibarat ''anyaman'' atau ''rajutan'', yang majemuk, penuh keragaman, dan pelik, seperti jalan kehidupan ini sendiri. Itu harus ditempuh. Wejangan yang hadir begitu saja tanpa proses, seperti makanan kaleng, seakan-akan mengabaikan kemajemukan, keragaman, dan kepelikan itu. Padahal, ''Ngelmu iku kalakone kanti laku,'' kata Goenawan mengutip satu baris Serat Wedatama yang termasyhur. Bagi sebagian peserta, tampaknya sarasehan hari itu belum mencukupi. Masih banyak yang belum terjawab. Tapi umumnya para dalang yang hadir tampak berbahagia, bisa merasakan ada bersama-sama, terutama dengan para tokoh mereka yang mereka kenal dan ingin mereka tauladani.Rustam F. Mandayun dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini