Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, menyatakan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 1 triliun untuk menekan defisit transaksi berjalan (CAD) dinilai terlalu kecil dan tidak efektif. Dengan dana terbatas, tak mudah mencari lapangan minyak dengan kapasitas sumur yang besar. "Investasi di teknologi enhanced oil recovery (EOR) untuk mengoptimalkan produksi pada sumur tua tidak murah," ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 1 triliun dalam bentuk PMN. Dana tersebut digunakan untuk mendanai akuisisi dan merger aset perusahaan minyak dan gas (migas) demi menambah lifting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu opsi penggunaan dana adalah menyalurkannya ke PT Pertamina (Persero) atau memberikan penugasan tambahan kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Opsi lainnya, membentuk badan layanan umum (BLU) baru untuk mengelola dana atau membentuk special mission vehicles (SMV) untuk mengakuisisi perusahaan migas di luar negeri.
Jika tugas akuisisi dan merger diserahkan kepada Pertamina, Bhima khawatir risikonya terlalu tinggi. Meski sudah memiliki anak usaha khusus untuk mengelola wilayah kerja di luar negeri, Pertamina juga dibebani sejumlah tugas, seperti penyaluran solar subsidi, LPG 3 kilogram, hingga menyediakan bahan bakar minyak satu harga.
Menurut dia, model penugasan akuisisi perusahaan akan lebih efektif dilimpahkan kepada LPEI. "LPEI sebagai lembaga keuangan diperkirakan lebih berhati-hati dalam melakukan akuisisi perusahaan di luar negeri dan fokusnya memang pembiayaan," ujar Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan PMN untuk menambah pasokan minyak tak akan terlalu mempengaruhi CAD. Kebutuhan migas terus meningkat, sementara suplai terus menurun. Untuk menutupi kebutuhan, pemerintah mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). "Selain meningkatkan suplai minyak, mestinya solusinya konsumsi minyak dikurangi," ucapnya.
Salah satu cara efektif mengurangi konsumsi adalah memanfaatkan bahan bakar nabati. Indonesia saat ini memiliki pasokan sawit yang melimpah dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar. "Selain itu, multiplier effect-nya bagi masyarakat dan perekonomian dalam negeri lebih luas," tutur Faisal.
Pengembangan bahan bakar nabati sebagai substitusi BBM di dalam negeri dianggap bakal lebih efektif mengatasi defisit neraca transaksi berjalan. Dengan catatan, pemerintah serius melaksanakannya dengan target yang jelas ke depan.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani, mengatakan suntikan modal untuk menekan CAD masih dalam tahap usulan. Pemerintah masih mengkaji opsi penyaluran PMN, baik itu melalui penugasan ke Pertamina, LPEI, BLU khusus, maupun special mission vehicle baru. "Masih harus kembali dibahas bersama DPR juga," kata dia.
Menurut Askolani, kebijakan tersebut disiapkan untuk menahan tren CAD yang terus meningkat. Hingga kuartal II 2019, CAD telah mencapai US$ 8,4 miliar atau 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Merujuk pada Nota Keuangan RAPBN 2020, kenaikan CAD akibat impor yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor. Impor migas melonjak dibarengi dengan kinerja ekspor nonmigas. Pembayaran bunga utang luar negeri, baik oleh pemerintah maupun swasta, serta adanya repatriasi dividen juga turut memicu kenaikan CAD. VINDRY FLORENTIN
Suntikan Modal untuk Menekan Defisit Dinilai Tak Efektif
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo